Toko Kelontong Bu Narsih: Bagian 1

 


Bulir-bulir keringat Bu Narsih yang sejak pagi sibuk di toko kelontong miliknya yang tak seberapa besar terus menetes dari dahinya. Sejak pagi memang ramai orang-orang yang berbelanja kebutuhan dapur maupun sumur, tetapi begitu melongok ke dalam laci yang sering dia gunakan untuk menyimpan uang, lembaran-lembaran rupiah itu tak seberapa banyak. Satu warna merah, tiga lembar warna biru, dan beberapa lembar uang dua ribuan. 

Wanita usia empat puluhan itu mendesah panjang sebelum meneguk air putih yang sejak tadi bertengger di atas meja. Seakan tahu keresahan istrinya, Pak Ahmad yang sedang menimbang tepung terigu pun bertanya pada istrinya,"Gak ada uang buat kulakan ya, Bu?" 

Bu Narsih mendudukkan dirinya di atas kursi plastik yang sudah menemaninya selama lima tahun sejak toko kelontong miliknya buka. "Iya, Pak. Padahal besok mesti bayar listrik, air, dan harus transfer Via uang semesteran, tapi uangnya ...." Bu Narsih menengok lagi ke dalam laci. Beras tinggal sedikit, minyak goreng tinggal dua liter, telur tinggal beberapa biji, dan banyak lagi yang harus dibelinya, tetapi uang segini mana cukup? 

"Namanya orang jualan, Bu. Kan dulu sebelum Ibu buka toko, bakalan tahu kalau akan ada yang ngutang."

"Iya, Pak. Tapi gak pernah kebayang sampai segini parahnya," kata Bu Narsih mengambil buku utang-piutang di dalam laci.

Di halaman pertama ada tulisan sebuah nama. Bu Dona yang rumahnya ada di depan gang. "Bu Dona itu kemarin Ibu lihat dia ke toko perhiasan lho, Pak. Kok utangnya yang tiga ratus belum dibayar ya, Pak? Sudah enam bulan lho, Pak."

"Yo mungkin Bu Dona punya kebutuhan lain, Bu," jawab Pak Ahmad sabar seperti biasa. 

"Yo mungkin saja," sahut Bu Narsih yang tak bisa sesabar suaminya. Untung saja Pak Ahmad yang berprofesi sebagai guru sudah diangkat sebagai PNS. Kalau tidak, dari mana dia mendapatkan tambahan modal? 

Dan tangan Bu Narsih membuka lembaran berikutnya. Bu Sugi empat ratus lima puluh. "Ini lagi, Pak. Mbak Sugi sudah mau setahun. Masak iya sih gak ada duit, Pak? Bulan lalu kan dia habis beli mobil baru?"

Pak Ahmad tersenyum lembut. "Second, Bu. Bukan baru. Itu saja gadai SK, kok."

"Buat nyicil mobil bisa, tapi bayar utang lupa."

"Coba diingatkan lagi, Bu."

Bu Narsih membuang napas jengkel karena ingat kejadian kemarin saat Bu Sugi belanja ke warungnya. "Minyak enam belas, telur dualapan, rinso sepuluh ribu, total lima empat ya, Bu."

"Wah, aku cuma bawa uang duapuluh, Bu Nar. Kurangannya besok-besok, ya." Perempuan itu langsung mengambil barang belanjaan yang ada di atas meja dan menaruh selembar dua puluh ribu sebagai gantinya. Padahal, Bu Narsig baru akan bertanya kapan dia akan membayar utang-utangnya. Eee sudah kabur duluan. 

Memang begini nasib pedagang kecil. Padahal rumah Bu Narsih bukan terletak di kampung pelosok. Rata-rata tetangganya pun pegawai negeri dan pegawai pabrik yang setiap bulan pasti mendapatkan gaji, tetapi seolah-olah hidupnya gak afdol kalau gak berutang di toko tetangga mereka. Padahal Bu Narsih kerap sekali melihat orang-orang yang berutang di warungnya pergi arisan bersama teman sejawatnya. Tak hanya wajahnya yang dipoles sampai licin, pakaiannya pun warna-warni menyilaukan mata. Masak iya sih untuk bayar utang yang gak seberapa itu aja kesusahan? 

"Bagaimana kalau kita tutup toko saja, Pak?" tanya Bu Narsih yang sudah merasa putus asa. Untung tak dapat diraih, rugi tak bisa dielakkan. Padahal dari setiap barang yang dia jual,dia hanya mengambil selisih 100-1.000 perak. Namun, untung yang didapat tak jauh lebih besar dari barang yang diutang oleh para tetangga. 

"Kalau Bapak sih nurut saja, Bu. Tapi apa gak sayang? Dulu Ibu bikin toko ini sampai harus jual satu-satunya warisan tanah di kampung, lho."

Bu Narsih menunduk lemas. "Iya sih, Pak. Dan Ibu merasa berdosa karena menjual satu-satunya warisan emak."

"Nah, makanya. Jangan buru-buru ambil keputusan. Kita ihktiar saja dulu. Sekarang Ibu makan dulu biar Bapak yang jaga."

Bu Narsih tak lagi menjawab dan langsung berjalan ke dapurnya yang sederhana. Di dalam kehidupannya yang serba pas-pasan, Bu Narsih merasa sangat beruntung karena memiliki suami seperti Pak Ahmad. Lelaki itu meskipun tak terlalu gagah, tetapi hatinya sangat lapang. Penyabar dan bisa menjadi mata air yang menyejukkan di kala ia sedang dilanda emosi. 

Begitu sampai di dapur, diambilnya secentong nasi yang masih mengepul. Semur tahu dan ikan asin menjadi sahabat santapnya hari ini. "Masakan suamiku memang top!" gumam Bu Narsih di sela-sela makan siangnya. Kalau dipikir-pikir lagi, apa sih yang kurang dari kehidupannya? Suaminya pria yang baik dan mau berbagi tugas, anaknya calon sarjana ekonomi, tiap hari bisa makan nasi meski lauknya sangat sederhana, lalu apa lagi yang harus dikeluhkan?

Bu Narsih cepat-cepat beristighfar. Takut menjadi orang yang takabur, tetapi begitu sore menjelang dia melihat kulkas baru yang diantarkan ke rumah Bu Joko, rasa syukurnya terkikis lagi. Bu Joko kan masih punya utang di toko kelontongnya. Seratus tujuh lima. Sudah lima bulan belum dibayar-bayarkan. 

"Bu Nar ...." Bu Joko yang kebetulan rumahnya di samping Bu Narsih menyapa sambil menunggui kulkasnya dimasukkan ke dalam rumah.

"Ya, Bu?"

"Teh botolnya dua ya, Bu," katanya lagi sambil menyambar teh botol yang ada di show case toko kelontong Bu Narsih. "Ngebon dulu ya, Bu," lanjutnya lagi dengan enteng tanpa rasa bersalah atau rikuh. 

"Beli kulkasnya ngutang apa cash, Bu Joko?" seloroh Bu Narsih menahan kemengkalan hatinya.

"Cash dong, Bu. Masak beli kulkas nyicil? Malu dong sama tetangga!"

"Tapi teh botol ngutang gak malu ya, Bu?" jawab Bu Narsih sengaja dengan suara keras. Dan ketika Bu Narsih melihat Bu Joko melotot, cepat-cepat dia masuk ke warungnya sambil menahan tawa.

0 Comments