"Mbaaak ...." Murni menggelendot manja ketika melihat Maharani hendak menyiapkan makan malam untuk mereka.
"Kenapa, Mur? Mau bantuin masak?"
"Gak, ah. Ntar kuku Murni bisa cuil kena pisau."
Dasar anak zaman sekarang! Pikir Maharani tanpa merasa terganggu sedikit pun karena kelakuan adiknya. "Terus kenapa kok tumben jam segini di dapur? Udah laper?"
Gadis itu langsung menarik tangan kakak iparnya ke meja makan. Di sana sudah ada Ketut yang menunggunya. "Mbak Rani duduk saja. Papi sudah pesan nasi padang kesukaan Mbak Rani!"
Maharani menatap ayah mertuanya dan lelaki tua itu pun mengangguk. "Nah, itu sudah datang nasi padangnya," kata Ketut ketika suara bel pintu berbunyi, tetapi ketika dia hendak membuka pintu, pintu itu telah terbuka lebih dulu.
"Malam, Pap," sapa Kasih Larasati, anak kedua Ketut. "Nih nasi padangnya. Tumben-tumbenan pesen makan malam? Emangnya ke mana mantu kesayangan Papi?"
Wanita itu langsung nyelonong masuk begitu menyerahkan seplastik nasi padang pada ayahnya.
"Sesekali pesan makan malam kan gak apa-apa."
"Ibu mana, Pap?" tanya Kasih yang langsung duduk.
"Arisan," jawab Ketut singkat.
"Ran, ambilin minum, dong. Jus apel ada?"
Mendengar kakaknya memerintah seenak udel padahal baru datang, membuat Murni jengkel setengah mati. "Mbak Murni kan kakak iparnya Mbak Kasih. Kok panggil nama, sih?"
"Umurku kan lebih tua daripada Rani. Gak masalah kan kalau aku panggil nama?"
"Uh, dasar! Titelnya aja yang sarjana, tapi EQ-nya nol!" Protes Murni kesal sambil menggigit telur dadar di depannya.
"Eh, anak kecil! Begini cara gurumu mengajar di sekolah?"
"Tergantung!" jawab Murni acuh tak acuh tanpa menghiraukan wajah kakaknya yang kesal karena marah.
"Sudah sudah! Kalau di sini cuma mau cari ribut, mending kamu pulang aja, Kas." Akhirnya Ketut tak tahan lagi mendengar pertengkaran putrinya. Kasih kalau datang ke rumah, pasti selalu mencari keributan. Darah Suci benar-benar kental mengalir di tubuhnya!
Dan mau tak mau Kasih membungkam mulutnya. Sebagai gantinya, nasi padang milik Maharani berkurang banyak karena dicomot adik iparnya.
"Masih lapar?" tanya Maharani ketika melihat bagaimana lahapnya Kasih makan. "Ayamnya masih utuh. Kamu saja yang makan." Maharani menaruh sepotong ayam itu di piring Kasih, tetapi dasar tak tahu diuntung, wanita itu sama sekali tidak mengucapkan terima kasih. Bahkan ketika telah selesai makan, dia meninggalkan meja makan begitu saja dan membiarkan Maharani dan Murni yang membereskan. Huh, dasar. Datang-datang kok merepotkan! Bukannya bawa oleh-oleh, malah nodong makanan.
"Duuh enaknya yang jadi ratu," sindir Murni ketika melihat kakaknya sedang asik nonton televisi. "Lagi ribut sama suami, ya? Makanya numpang makan di sini!"
Maharani menyenggol bahu Murni dan melotot ke arah gadis itu. Dia sendiri memang tak begitu dekat dengan Kasih, tetapi bagaimana pun juga dia tak suka adik dan kakak itu ribut. "Jangan ganggu kakakmu terus, Mur. Sana kerjakan PR-mu."
"Gak ada PR, kok. Murni mau di sini aja. Pengen lihat Mbak Kas ke mari mau pamer apa lagi? Tas baru, mobil baru, berlian baru, atau suaminya punya selingkuhan baru?"
Baru saja Kasih ingin melemparkan bantal pada adiknya, gadis itu sudah keburu menghindar dengan gesit. Sejak kelahiran Murni, Kasih memang tak pernah menyukai adiknya itu. Bagaimana tidak, bagi Kasih, Murni adalah adik yang tidak diinginkan. Usia mereka beda 12 tahun dan gara-gara Murni, dulu dia sering diejek oleh teman-temannya. Katanya sudah gede kok punya adik.
"Mur ... nanti Papi marah, lho."
Sambil melengos Murni berlalu dari ruang televisi. Perasaannya tak enak. Kali ini pasti kakaknya itu tak hanya numpang makan, tetapi juga bakalan menginap!
Dan firasat Murni memang benar. Kasih sudah muncul ketika jam sarapan dan kehadiaran wanita itu menambah pekerjaan Maharani yang seolah tak ada habisnya. Belum lagi ditambah omelan ibu mertuanya yang sudah seperti burung perkutut.
"Biar aku bantuin ya, Mbak," kata Kasih begitu mereka selesai sarapan dan di dapur hanya tinggal mereka berdua saja.
Maharani mendesah perlahan, sebisa mungkin menjaga perasaan adik iparnya. Kalau sudah bermanis-manis begini dan menyebutnya dengan panggilan Mbak, pasti ada maunya, tetapi apa? Toh Maharani tak punya apa-apa. Uang belanja pun dipegang ibu mertuanya, perhiasan juga tak punya. Bukannya berperasangka buruk, dua tahun menikah dengan Aryo, Maharani sudah cukup pandai untuk menilai keluarga suaminya itu. Termasuk adik iparnya yang usianya delapan tahun lebih tua darinya.
"Boleh. Kalau begitu aku ke belakang dulu, ya. Mau nyuci baju." Maharani tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Mumpung Kasih menyodorkan diri untuk nyuci piring. Namun, belum juga Kasih menyelesaikan pekerjaannya, wanita itu menyusul Maharani yang sedang memilih baju yang hendak dicucinya terlebih dahulu.
"Mbak ...." Sangat manis suara Kasih. Sampai-sampai Maharani jadi merinding mendengarnya.
"Ya?"
"Pinjem duit dong, Mbak. Pentiing banget."
"Aku mana punya uang, Kas. Uang belanja ibu yang pegang. Uang yang lain, kakakmu yang pegang," jawab Maharani berusaha untuk tidak menyinggung adik iparnya. Di memang tak berdusta. Jangankan uang, buku tabungan saja Maharani tak punya. Ibu mertuanya tidak membolehkan Maharani memiliki rekening sendiri. Katanya takut boroslah, takut beli hal-hal gak pentinglah, duit cepat habislah dan lain-lain. Ah, memang sejak awal ibu mertuanya tak pernah menyetujui Aryo menikah dengan Maharani. Sudah anak orang miskin, pendidikan cuma tamat SMA pula. Bisa apa lulusan SMA? Ngatur duit juga paling gak becus.
"Bilangin Mas Aryo dong, Mbak. Kalau Mbak Rani yang minta, pasti dikasih."
Maharani mendesah pelan. Dia memang yakin kalau Aryo bakalan ngasih, tetapi Maharani tak tega meminta pada suaminya. Tanggungannya sudah banyak. Lagipula, untuk apa sih adik iparnya itu mau pinjm uang? Bukannya dia pedagang berlian? Suaminya juga seorang pengusaha mebel.
"Gak berani, Kas. Kamu kan tahu Mas Aryo tanggungannya banyak. Bantu biayain sekolah Murni juga. Coba pinjam ibu, Kas."
Kalau bisa pinjam ibu, ngapain aku ngemis-ngemis sama kamu? Pikir Kasih jengkel setengah mati. Semalaman di merayu ibunya, tetapi tak dapat hasil apa-apa. Yang dia terima justru omelan dari ibunya yang bikin kuping panas.
"Makanya kalau dagang gak usah dikreditkan. Macet kan sekarang?" sentak ibunya ketika Kasih meminta modal tambahan. Usaha mebel suaminya sedang sepi sejak pandemi, kreditnya macet karena banyak yang belum bayar, dan kini dia kehabisan modal. Padahal, usaha batu berliannya memerlukan uang yang tak sedikit.
"Kan gak semua orang bisa beli cash, Bu."
"Carilah pembeli yang bisa beli cash. Jangan jual ke orang miskin!"
Hah! Percuma kalau mengadukan kesusahan nasibnya pada ibunya. Ujung-ujungnya kena damprat. Di mata ibunya, yang paling betul, paling busa dibanggakan cuma kakaknya Aryo. Tak ada yang lain. Dan ketika teringat kakaknya itu, dia jadi teringat pada Maharani. Wanita itu memang kuping baja, tulang besi. Bisa betah serumah sama ibunya. Tahan kena semprot setiap hari. Dan herannya lagi dia begitu baik. Baik? Kasih berpikir sekali lagi. Entah baik atau bosoh, yang jelas Kasih merasa iba padanya.
"Mbak, Mas Aryo sering lembur, ya?"
"Iya, Kas. Kok tahu? Seri chat sama Mas Aryo, ya?"
"Hehe. Enggak, kok. Nebak aja. Mbak Rani gak curiga gitu? Masak lembur tiap hari?"
Maharani menghentikan pekerjaannya sejenak. Ia menaruh detergen di tempatnya semula dan memandangi adik iparnya dengan kesal.
"Dengar, Kas. Biar pun kamu menjelekkan Mas-mu, Mbak gak akan bisa minjamin uang. Jadi percuma. Dan tolong jangan bicara yang bukan-bukan soal Mas Aryo," kata Maharani lalu meninggalkan ruang cucian. Dia tak suka siapa pun menjelekkan suaminya. Dia mencintai Aryo, memercayainya, dan baginya surga seorang istri ada di telapak kaki suami.
0 Comments