Dinding Rumah Mertua. Bab 4

 

"Sudah makan, Mas?" tanya Maharani ketika Aryo memasuki kamar. Wajahnya terlihat letih, tubuhnya bau rokok yang menyengat, dan matanya terlihat redup. 
"Sudah. Ambilkan baju di lemari, ya. Mas mau mandi dulu," kata Aryo sambil melempar bajunya ke keranjang yang ada di pojokan. Sebenarnya Maharani ingin bertanya lagi, tetapi diurungkannya ketika Aryo menutup pintu kamar mandi dengan kasar. 
Mas Aryo pasti ada masalah di kantor. Pikir Maharani menuangkan air putih dan menaruhnya di samping tempat tidur. 
Ketika suaminya selesai mandi, Aryo langsung mengeringkan rambutnya dan merebahkan dirinya di atas ranjang, di samping istrinya yang sudah menunggunya sejak tadi. 
"Mas ...." Maharani membelai bahu suaminya dengan lembut dan Aryo tahu apa yang diinginkan oleh istrinya. Memang sejak Maharani hamil, mereka tak pernah melakukan hubungan suami istri. Bukan karena tak ingin, tetapi karena Maharani menolak. Ia takut berhungan seks saat hamil muda.
"Yang ...," bisik Aryo malam itu ketika gairahnya sudah sampai di ubun-ubun dan tak dapat lagi dibendung. Dia tahu istrinya sedang mengandung, tapi peduli setan pada kehamilan Maharani. Toh dia bukan hewan buas yang tak tahu adat sampai-sampai main keras sama istri yang lagi hamil.
Ketika Aryo tahu bahwa istrinya hamil, dia bertanya kepada Dokter Lia, dokter kandungan yang waktu itu memeriksa Maharani. "Boleh dong, Pak. Tapi silakan tunggu sampai trimester kedua, ya. Ya, kira-kira 16 minggu. Sebelum itu Pak Aryo harus sabar dulu. Takut terjadi apa-apa dengan janinnya."
Nah, kalau dokter saja sudah ngasih lampu hijau, kenapa Maharani malah ngasih lampu merah? Katanya takut ada apa-apa dengan bayinya, takut Aryo terlalu bersemangat sampai lupa kalau istrinya hamil-lah. Ah, ada-ada saja alasan Maharani.
Padahal, Aryo masih muda. Usianya baru tigapuluh dan dia sangat normal, tetapi Maharani tak mau mengerti atau bahkan tak tahu? Bahwa laki-laki sangat rentan ketika istrinya sedang hamil. Bukan rentan terkena penyakit, ya. Tapi rentan terkena godaan perempuan lain dan akhirnya jatuhlah para suami itu ke jurang perselingkuhan. 
Dan akhirnya terjadilah hal itu. Hal yang mula-mula karena tak sengaja, kemudian menjadi keterusan. Setelah enam bulan sejak kehamilan Maharani, sejak itu juga dia menolak keinginan suaminya. Aryo sudah berusaha mengekang nafsunya, mengubur sakit hatinya karena ditolak istri, tetapi dia hanyalah mnusia biasa. Memiliki keinginan, memiliki nafsu, dan ketika ada gadis manis yang menyodorkan diri dengn sukarela tentu sebagai pria dia tergiur. Tak menolak dan dengan semangat empat lima melampiaskan hasrat yang telah dikekangnya selama berbulan-bulan. 
Pada awalnya memang Aryo merasa bersalah karena telah mengkhianati istrinya, menodai perkawinan yang sudah dua tahun mereka bina, tetapi di detik kemudian dia menyalahkan istrinya. Maharani ikut andil dalam perselingkuhannya. Dirinya nemang salah, tetapi bukan sepenuhnya salah Aryo. 
"Aku capek, Ran. Banyak kerjaan di kantor, atasan marah-marah terus," kilah Aryo yang langsung memiringkan tubuhnya ke arah lain agar tak berhadapan dengan istrinya. 
"Met bobok, Mas," ucap Maharani tanpa tersinggung sedikit pun  kemudian membetulkan selimut yang menutupi tubuh suaminya dan perlahan ia pun memejamkan mata sambil memegangi bantal suaminya. Padahal, dia ingin sekali merasakan cinta suaminya lagi. Merasakan kehangatan Aryo dan menikmati cumbuan lelaki itu lagi. Dan sekarang kehamilannya sudah memasuki bulan ketujuh. Dia sudah siap menerima tubuh suaminya masuk ke dalam dirinya. Dia tak takut lagi karena dokter bilang justru seks bagus untuk persalinan nanti. Bisa memperlancar keluarnya si bayi. Kalau malam ini Mas Aryo lelah, aku akan mencoba lgi besok. Pikir Maharani yang sudah merencanakan apa yang akan dia lakukan esok malam.
***
Pagi ini semua orang berada di meja makan tepat waktu termasuk Murni yang tumben-tumbenan tidak berteriak mencari sesuatu. 
"Mau ke mana, Ran?" tanya ibu heran ketika melihat menantunya sudah dandan pagi-pagi begini. Wajahnya dipulasi makeup tipis dan tak lupa juga memakai dasternya yang paling bagus. Maksudnya yang belum ada tambalan dan warnanya belum luntur. Rambutnya yang panjang sebahu berwarna hitam itu pun diikat rapi dan hmm ... pagi ini aroma tubuhnya wangi. Bukan bau nasi goreng atau mi goreng. 
"Tidak ke mana-mana, Bu." Maharani menjawab dengan malu-malu lalu melongok cangkir di depan suaminya. "Kopi lagi, Mas?" tanya Maharani sambil meletakkan tangan kirinya di paha suaminya. 
Aryo sendiri heran dengan penampilan istrinya pagi ini. Sudah cantik, wangi, dan tanpa dia sadari hasratnya pun tergugah. Apalagi ketika jemari istrinya mendarat di pangkal pahanya. Bahkan sampai nyaris menyentuh pangkal kelelakiannya. 
"Cukup. Mas harus berangkat sekarang."
"Lembur lagi?" Duh, manjanya suara Maharani. Ibu yang melihat tingkah menantunya sampai rikuh sendiri. 
Lelaki itu diam sebentar. Tadinya dia ingin menjawab bahwa malam ini dia lembur lagi, tetapi kata-kata itu ditelannya lagi. Melihat wajah istrinya yang manis, bibir tipisnya yang dimonyong-monyongkan, dan suaranya yang dibuat-buat agar terdengar manja, Aryo jadi tak tega. Dia tahu keinginan istrinya dan bagaimana pun dia adalah suaminya. Sudah wajib kan kalau Aryo harus menggauli Maharani?
"Tidak. Nanti Mas pulang cepat."
Senyum akhirnya merekah di bibir Maharani. Senyum itulah yang membuat Aryo dulu jatuh cinta pada pelayan restoran yang kini menjadi istrinya. Karena ketika Maharani tersenyum, bukan kanya bibir merahnya yang merekah, tetapi juga lesung di pipinya begitu memikat dan minta untuk digoda. 
"Rani tunggu ya, Mas. Nanti Rani belikan jamu di Mbok Yem."
Duhh ... lagaknya kayak pengantin baru! Batin ibu jengah. Baru saja mulutnya ingin membuka dan ingin memprotes pemandangan di depan matanya itu, papi sudah berdehem lebih dulu. Dia tahu sekali sifat istrinya. Dia tak senang kalau menantunya senang dan akan senang kalau menantunya kesusahan. Ibu melirik suaminya gemas dan terpaksa menelan mentah-mentah kalimatnya yang belum sempat dikeluarkan.
Akan tetapi di lain kesempatan saat rumah sudah sepi dan hanya tinggal ibu dan Maharani, ibu langsung melancarkan jurus ngomelnya.
"Duh, yang pagi-pagi sudah mesra-mesraan. Anak jaman sekarang emang gak tau malu. Di depan mertua aja kayak gitu, apalagi di belakangnya."
Maharani yang sedang mencuci piring pun menebalkan telinganya. Pokoknya sampai nanti malam, hati dan pikirannya harus bersih. Gak boleh merasa jengkel pada ibu mertuanya.
"Kamu denger Ibu ngomong gak sih, Ran?" Ibu yang kesal karena tak mendapat sahutan, akhirnya mendekati menantunya. Dia berdiri tegak di belakang Maharani.
"Dengar, Bu. Rani kan lagi nyuci. Takut piringnya pecah kalau sambil ngobrol."
"Alesan. Bilang saja kamu sudah bosan dengan ibu mertuamu, kan? Berencana untuk meracun ibu mertuamu agar tak ngomel terus, kan?"
Sabar, Ran. Sabaaarrr. Rani memejamkan matanya sesaat. Menghela napas sepelan mungkin agar ibu mertuanya tidak mendengar. 
Ah, entah apa yang merasuki pikiran mertuanya. Bisa-bisanya punya pikiran seperti itu. Lagipula, sejengkel apa pun Maharani kalau mertuanya sedang membeo, dia sama sekali tak membenci wanita paruh baya itu. Karena dia sadar tanpa ibu, Aryo tak akan pernah hadir di dunia ini. 
"Mau beli racun di mana, Bu? Memangnya Mbok Yem jual racun?" jawab Maharani santai. Dia tak ingin terlalu serius menanggapi perkataan ibu.
"Mbok Yem sih gak jual, tapi di tempat lain kan banyak. Menantunya Bu Sunar, tuh. Kelihatannya saja alim. Rajin ibadah. Gak pernah ngebantah mertua. Ee ternyata dia yang ngeracunin mertuanya. Untung Bu Sunar gak ko it!"
Kemarin saat belanja di Mbok Yem, Maharani memang mendengar cerita itu. Aliyah, menantu Bu Sunar meracun mertuanya. Untung langsung ketahuan dan dibawa ke rumah sakit. Kalau terlambat, nyawa Bu Sunar pasti tak akan tertolong lagi. Dan sekarang, gara-gara Aliyah Maharani harus menanggung akibatnya. Dia jadi dicurigai. Atau jangan-jangan bukan hanya dirinya? Tapi semua menantu yang ada di komplek ini?
"Rani kan bukan Aliyah, Bu. Kalau Ibu gak percaya sama Rani, Ibu boleh kok nyiapin kebutuhan Ibu sendiri tiap hari."
Hah? Ibu terbengong-bengong. Kurangajar betul menantunya ini. Dia kan gak bisa masak. Selain itu juga ibu paling malas berurusan dengan dapur dan bersih-bersih rumah. Sejak kecil hidupnya berkecukupan dan setelah menikah ada pembantu yang mengerjakan semuanya. Ya, meskipun pembantu itu akhirnya dipecat setelah Maharani menjadi mantunya. Alasannya sih sederhana, katanya ingin ngedidik mantu agar gak manja. Padahal, ibu tak rela mengeluarkan biaya ekstra. Penghuni rumah kan tambah satu lagi. Kalau tetap ada pembantu, belanja bulanan bisa makin membengkak.
"Malah nantang," cetus ibu kesal. "Awas ya kalau kamu macem-macem. Gak hanya kamu yang Ibu tuntut. Ibu sama adikmu juga bakalan kena getahnya!" kata ibu lagi sebelum meninggalkan dapur. 
Maharani mengurut dadanya, mengelus perutnya, dan menghirup napas dalam-dalam. Tingkah mertuanya makin hari makin aneh. Ada aja hal-hal yang menjadi pemicu omelannya. Tapi sekali lagi Maharani menyabarkan hatinya. Menabahkan jiwanya. Karena ibu Aryo berarti ibunya juga. 

0 Comments