Dinding Rumah Mertua. Bab 5

 

"Jamu kuatnya ada, Mbok?" tanya Maharani ketika pagi itu dia belanja di depan komplek, tempat tongkrongan tukang sayur yang sudah jadi langganan. 
"Ono to yo, Cah Ayu. Mau berapa? Satu atau dua?"
"Satu saja, Mbok," sahut Maharani malu-malu. Untung saja tak ada orang lqin selain dirinya dan Mbok Yem, jadi tak ada yang melihat bagaimana wajahnya yang merah padam. Persis seperti remaja yang sedang dimabuk cinta.
"Nanti kalau sudah melahirkan, jangan lupa minum jamu juga. Biar tetep rapet. Menggigit kayak perawan lagi!" kata Mbok Yem lagi sambil meracik jamu buatannya yang melegenda di antara ibu-ibu komplek. 
Ah, Mbok Yem. Maharani jadi malu sendiri membayangkan adegan yang rapet dan menggigit itu. 
"Nanti biar si Surti yang nganterin jamunya kalau Gendhuk sudah ngelahirin."
"Jangan, Mbok. Rani kan belum minta ijin sama ibu. Takut ibu marah kalau tiap hari Rani minum jamu."
Wanita yang berusia kepala enam, tapi masih terlihat bugar dan segar itu mendesah. Bukan rahasia lagi kalau ibu mertua Maharani begitu keras pada menantunya. Dia tak boleh keluar rumah selain untuk berbelanja. Tak hanya itu saja, sebagai istri Maharani tak diberi kewenangan untuk mengelola keuangan rumah tngganya sendiri. Namun, di sisi lain Mbok Yen kagum dengan sikap Maharani. Tak seperti menantu lain yang kerap menjelekkan mertua mereka, Maharani sebisa mungkin tidak mengeluhkan bagaimana sikap ibu padanya. 
"Yasudah kalau gitu. Ini jamunya." Mbok Yem menyerahkan racikan jamunya yang sudah terkenal tokcer. 
"Makasih, Mbok. Total semuanya berapa, Mbok?"
Setelah membayar belanjaannya, buru-buru Maharani pulang. Dia harus bergegas masak untuk makan siang kalau tak ingin ibu mertuanya menyanyi tak berkesudahan.
***
Aryo kaget bukan main ketika membuka pintu kamarnya. Aromanya semerbak bunga mawar, padahal biasanya kamarnya itu bau orange atau lavender bekas semprotan obat nyamuk. Entah dari mana Maharani membeli parfum aroma mawar itu? Aryo tak ingat istrinya meminta uang untuk membeli benda semacam itu. Selama menjadi Istrinya, Maharani tak pernah meminta sesuatu untuk dirinya sendiri. Dia selalu menerima apa yang diberikan oleh suaminya dan ditentukan oleh mertuanya. 
Aryo ingat sekali ketika hari pertama Maharani tinggal di rumahnya. "Semua uang belanja di rumah ini, Ibu yang pegang. Ibu gak mau kamu boros!" 
"Tapi, Bu. Rani sudah menikah dengan Aryo. Dia berhak menyimpan uang yang Aryo berikan," tentang Aryo yang merasa ibunya sudah keterlaluan. 
"Ibu hanya mau mengajari istrimu, Yo. Masak gak boleh, sih? Ini semua kan demi masa depanmu."
"Istri Aryo biar Aryo sendiri yang mengajari, Bu. Ibu gak perlu campur."
Mendengar bagaimana datarnya suara putranya, putra yang selalu dibanggakannya, putra yang ketika kecil selalu ditimang-timangnya, membuat hati ibu terasa perih. Selama ini, belum pernah Aryo menentang apa pun yang telah menjadi keputusannya. Aryo tak pernah meninggikan suaranya di depan ibunya, tetapi semenjak kenal Maharani ... mata ibu menatap menantunya itu dengan rasa benci. Sejak mengenal Maharani, Aryo tak hanya jadi pembangkang. Sekarang dia sudah berani menentang kemauan ibunya dan itu semua gara-gara Maharani!
"Mas ...." Maharani menggenggam tangan suaminya dengan lembut. "Biar Ibu saja yang pegang uang belanjanya. Ibu kan lebih tahu kebutuhan di rumah ini."
Lembutnya suara Maharani, hangatnya genggaman tangannya, membuat Aryo makin mencintai istrinya. Dia merasa tak salah pilih. Baru dua bulan Aryo mengenal Maharani, dia langsung melamarnya. Tak peduli siapa keluarganya dan bagaimana asal usulnya, bagi Aryo Maharani adalah seorang gadis yang patut dijadikan istri. 
Selama kenal dengan gadis itu, Maharani begitu santun. Dia tidak seperti gadis lain yang memacari Aryo hanya karena jabatan. Dia juga menjaga martabatnya sebagai seorang wanita. Menjaga dirinya agar tidak layu sebelum dipetik si pemilik yang sesungguhnya. Dan Aryo pun tak ragu-ragu untuk melamarnya. 
"Tapi, Ran. Mas gak mau ...."
Belum sempat Aryo melanjutkan kalimatnya, Maharani mengeratkan genggaman tangannya. Dia tak mau Aryo menyakiti hati ibunya. "Rani tidak keberatan, Mas. Kalau Rani butuh sesuatu, aku akan minta sama Ibu atau Mas Aryo."
Aryo mau tak mau mengiyakan permintaan istrinya. Digenggamnya tangan istrinya dan dikecupnya dengan mesra. "Aku memang tak salah pilih istri, Ran. Sungguh luhur hatimu."
Maharani tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Ia juga sangat beruntung karena memiliki suami seperti Aryo. Pria itu pengertian, dewasa, dan selalu menghormatinya. Selama pacaran lelaki itu tak pernah melanggar rambu-rambu yang telah ditetapkan. Namun, melihat pemandangan itu hati ibu makin geram. Rasa bencinya terhadap Maharani makin meluap-luap.
"Sudah pulang, Mas?" Maharani yang baru keluar dari kamar mandi menyambut suaminya. Diambilnya tas dan jas dari tangannya dan diletakkan ke tempatnya yang berada di pojokan. "Mas Aryo sudah makan?" katanya sambil menggantung jas dengan perlahan agar tak kusut. Padahal yang sebenarnya Maharani sedang grogi. Jantungnya berdegup kencang ketika melihat suaminya sedang menatapnya. 
"Mas belum makan, Ran," kata Aryo mendekati Maharani. Dipeluknya wanita itu dari belakang. Melihat istrinya malam ini, dada Aryo berdebar makin cepat. Gairahnya memuncak, dan napasnya terasa berat. "Tapi Mas ingin makan yang lain." 
Lelaki itu membalikkan tubuh istrinya, dipandanginya wajahnya yang dipulas makeup tipis dan dikecupnya bibir yang merah menggoda itu. "Kau sangat cantik malam ini."
Maharani tersipu malu. Sudah lama sejak terakhir kali suaminya memuji. "Tapi bajunya sudah kekecilan, Mas," ucap Maharani lirih. Dia sedang berusaha menenangkan debar jantungnya yang tak karuan. Tatapan Aryo begitu tajam, menggoda, sekaligus hangat. Dan itu semua membuat tubuhnya meremang. 
"Tidak. Baju ini sangat cocok untukmu." Aryo mengusap bahu istrinya dan menurunkan tali baju tidur yang hanya sebesar spagetti. Diciumnya dengan lembut kulit Maharani yang putih dan wangi. "Lain kali akan kubelikan baju tidur yang seperti ini lagi."
Ah, Mahari benar-benar merasa panas. Baju tidur yang sedang dipakainya ini adalah baju tidur yang dia kenakan saat malam pertamanya dengan Aryo. Warnanya merah hati dan full dari kain brokat yang halus sehingga semua tubuhnya yang ada di balik kain tipis itu terlihat. 
"Aku tak pernah mengira bahwa wanita hamil bisa secantik ini, Ran." Aryo berkata sungguh-sungguh. Ia tak dapat memalingkan pandangannya dari Maharani. Dan ketika pandangannya tertuju pada dada istrinya, Aryo tak mampu lagi mengekang hasratnya. 
Dipeluknya tubuh istrinya dengan hati-hati, dipagutnya bibir memesona itu dengan mesra, dan perlahan Aryo mulai menhujani Maharani dengan cintanya. Cintanya yang tak pernah padam, tetapi sempat tertutupi awan perselingkuhan. Dan malam ini Aryo sadar, dia begitu mencintai istrinya. Dia tak ingin kehilangan wanita ini, tetapi bagaimana jika Maharani tahu bahwa suami yang selama ini dipuja-pujanya telah berkhianat? Aryo tak sanggup membayangkan bagaimana kecewanya istrinya. Istri yang selalu patuh padanya, istri yang tak pernah mengeluh bagaimana buruknya perlakuan ibu padanya. Dan segurat penyesalan pun tergores di hati Aryo.
Perempuan sebaik inikah yang aku sakiti? Pikir Aryo perih ketika istrinya sudah terlelap. Dia sungguh menyesal karena telah menyakiti hati Maharani. Esok saat istrinya bangun, dia akan mengatakan semuanya. Dia akan berlutut di hadapan Maharani, kalau perlu dia akan menciumi kaki istrinya agar mendapatkan maaf. 

0 Comments