Dinding Rumah Mertua. Bab 6

Novel dinding rumah mertua

 Pagi itu Aryo sudah bersiap-siap mengatakan semuanya pada istrinya. Dia sudah siap menerima kemurkaan istrinya. Mau dipukul pakai bantal seribu kali pun dia tak akan melawan, tetapi reaksi Maharani sungguh berada di luar dugaannya. Entah terbuat dari apa hati wanita itu. 

"Jika hal penting yang ingin Mas Aryo katakan hanya akan merusakan kebahagiaan yang tercipta semalam, lebih baik jangan katakan, Mas," kata Maharani penuh pengertian. Semalam dia sangat bahagia. Bahkan ketika dia membuka mata pagi ini pun kebahagiaan itu belum lenyap. Dia sangat mencintai suaminya dan yakin bahwa Aryo pun masih mencintainya. 

"Tapi, Ran. Aku benar-benar harus mengatakannya padamu. Aku telah ...."

Maharani meletakkan jari telunjuknya di bibir Aryo kemudian menggeleng pelan. Dia tak peduli jika saat ini dadanya yang membusung tak lagi tertutupi oleh selimut. "Jangan katakan apa-apa lagi, Mas. Aku mohon." 

Melihat bola mata Maharani yang berkaca-kaca, Aryo tak mampu menolak permintaan istrinya. Hanya satu yang tak mampu Aryo bendung. Yaitu untuk menggauli istrinya di pagi begini. Dia tak pernah tahu bahwa wanita hamil akan secantik istrinya. Tak hanya dadanya yang bertambah padat, Aryo merasa istrinya makin pintar memanjakannya. Makin tahu apa yang diinginkan oleh pria. Dan untuk pertama kalinya sejak menikah, percintaan semalam dan pagi adalah percintaan yang terbaik.

Maharani tak hanya menerima, tetapi dia juga memberi. Tak hanya Aryo yang aktif, tetapi Maharani pun tak mau kalah. Dia memberikan semuanya. Keahliannya, cintanya, hatinya. Dikuburkannya dalam-dalam cerita pahit tentang suaminya. Bukannya tak tahu bahwa Aryo telah kepincut dengan gadis lain, hanya saja Maharani merasa bahwa itu tak sepenuhnya salah suaminya. 

Walaupun ada yang patut disalahkan, dialah yang seharusnya disalahkan. Dia menolak ketika Aryo menginginkan dirinya. Dia membuat suaminya kecewa karena tak melayaninya di tempat tidur. 

"Semua orang bisa berbuat kesalahan, Mas. Tapi tak seharusnya kesalahan itu merusak kebahagiaan kita, kan?" kata Maharani yang dahinya masih berpeluh dan Aryo berada di atasnya. Mereka sama-sama menikmati percintaan mereka dan mereka sama-sama puas. Sama-sama bahagia.

"Kau tahu semuanya, Ran?" tanya Aryo terkejut karena ucapan suaminya. 

Wanita mengangguk dan air mata pun jatuh ke pipinya. Dengan bibir bergetar dia mengatakan pada suaminya,"Aku dan anak kita memaafkanmu, Mas. Tolong jangan khianati lagi kepercayaan kami."

Aryo memeluk istrinya dengan hati-hati seolah-olah Maharani adalah gelas kaca yang rapuh. Diciumnya kelopak mata Maharani dan dikecupnya lembut bibir istrinya. 

Ya, Tuhan. Suami macam apa ku ini yang begitu kejam menyakiti istri sebaik dan selembut Maharani?

***

"Maaf Rani gak bisa nyiapin sarapan, Bu. Bangunnya kesiangan," ucap Maharani malu-malu ketika menghampiri ibu mertuanya di meja makan. 

Ibu tak berkata apa-apa karena dia sudah tahu apa yang dilakukan menantunya. Semalam dia masuk ke kamar lebih awal dan pagi ini dia keluar kamar lebih akhir. Hah! Belum lagi suara jeritannya itu menggema ke seluruh rumah. Ibu sampai malu sendiri mendengarnya karena kamar mereka sama-sama di lantai satu. 

"Duduk saja. Makanlah sarapanmu," tunjuk ibu pada semangkok bubur ayam yang sudah ada di atas meja. 

"Terima kasih, Bu," kata Maharani yang tak bisa menghilangkan rasa malunya. Pipinya memerah dan wajahnya terlihat cerah. 

Sesaat ketika memandang menantunya itu, ibu jadi iri. Entah kapan terakhir dia sebahagia itu? Hah! Lalu matanya tertuju pada suaminya. Pria paruh baya itumasih nampak gagah, tetapi wajahnya selalu terlihat marah kalau melihat istrinya. 

"Ada apa, Bu?" tanya Papi santai seperti biasa. Dia ikut senang karena menantunya terlihat bahagia dan segar. 

"Gak apa-apa!" Ibu langsung meninggalkan meja makan dan terlihat berjalan ke kamarnya. Ketut yang tak mengerti dengan sikap istrinya pun memilih untuk menyeruput kopinya. 

"Jangan hiraukan ibumu, Ran. Kesambet setan!"

Maharani tak menyahut dan dia hanya tersenyum sambil melongok ke arah cangkir mertunya. "Kopi lagi, Pi?"

Ketut menggeleng pelan. "Tidak usah. Papi sudah kenyang. Gimana, anak Papi tokcer, kan?"

Ah, Papi! Pikir Maharani kesal. Dia kan jadi malu kalau ditanya begitu. 

"Aryo memang sebelas dua belas aama Papi. Kalau gak, mana mungkin ibumu klepek-klepek sama Papi?"

Maharani tertawa dan Aryo yang mendengar tawa istrinya penasaran. "Apa yang lucu, Yank?" tanya Aryo sambil mengecup kepala istrinya yang sudah wangi aroma shampoo. 

"Gak apa-apa, Mas. Rani buatkan kopi dulu, ya."

Sambil menunggu istrinya membuat kopi, Aryo dan papi saling tatap. "Jangan sakiti istrimu, Yo. Kalau kau kehilangan dia, kau tak akan bisa mendapat pengganti seperti Maharani."

"Baik, Pi." Aryo mengangguk dan langsung meminum kopi yang tersaji di depannya. 

"Mau Rani angetin buburnya, Mas?"

Aryo menggeleng pelan dan mnyuruh istrinya duduk. "Tidak usah. Biar Mas makan begini saja. Sarapanlah, habis itu kita ke dokter."

Maharani menuruti permintaan suaminya dan ketika hendak menyuap bubur ayam, ia menoleh ke arah papi.

"Pi, Papi lihat jamu yang ada di kulkas?" tanya Maharani ragu-ragu. Semalam dia lupa memberikan jamu itu pada Aryo, tetapi meskipun tanpa jamu, suaminya itu tetap perkasa, kuat, dan memuaskan. 

"Jamu Mbok Yem?"

Maharani mengangguk. 

"Sudah Papi minum." Papi menyeringai kemudian pergi dari ruang makan. Dia tak ingin mengganggu anak dan menantunya yang sedang pacaran. 

Aryo dan Maharani saling pandang kemudian tertawa pelan. "Menurut Mas, Papi masih bisa berdiri?" tanya Maharani sambil mengangkat jari telunjuknya.

"Jangan salah. Tua-tua begitu Papi masih greng!" Dan sekali lagi mereka berdua tertawa dan tawa itu berhenti ketika mendengar suara rintihan dari kamar ibu yang kamarnya tak jauh dari ruang makan. 

"Nah, kan. Apa aku bilang?" Aryo tersenyum nakal kemudian meraih tubuh istrinya. Sebelum mengangkatnya ke kamar, perlahan dia melumat bibir Maharani yang diolesi lipstik berwarna merah muda. "Kita gak boleh kalah dari ibu dan papi."

Dan akhirnya dari dua kamar berbeda, suara rintihan menikmatan dan jeritan bersahutan. Mereka tak saling mendengar, tetapi Murni yang baru saja pulang dari joging mendengar suara itu seperti paduan suara. 

"Luar biasa!" Murni bertepuk tangan sambil melangkahkan kaki ke lantai dua. "Jamu Mbok Yem memang yahud! Harus dapet rekor MURI!"

0 Comments