Dinding Rumah Mertua. Bab 9

 


"Bagaimanapun Lina kan menantu saya. Mana tega sih saya memperlakukannya seperti pembantu?" 

Mama bernapas lega karena calon besannya yang mata duitan itu bisa mengerti maksudnya. Sebagai seorang ibu,  Mama akan berbuat apa saja demi putrinya. 

"Syukurlah, Jeng. Pokoknya kalau Jeng butuh sesuatu, bilang saja. Saya pasti akan bantu!"

Wwoo, itu pasti! Pikir Ibu senang. Tanpa disuruh pun dia akan sering mengunjungi besannya yang super duper tajir itu.

***

"Cincin baru, Bu?" tanya Murni ketika melihat cincin yang melingkar di jari manis ibunya. 

"Ih, anak kecil mau tahu aja! Makan tuh keburu dingin!" 

"Yeee. Kok sewot, sih? Murni kan cuma tanya!" 

"Habisnya mata kamu jeli, sih! Pokoknya jangan minta dibelikan, ini harganya mahal!"

"Siapa juga yang minta dibelikan. Weeekss!" Murni menjulurkan lidahnya dengan gemas dan mulai memasukkan nasi goreng seafood buatan Maharani. 

"Eh, anak kecil! Niru siapa sih kok badung begitu?"

"Ibulah. Siapa lagi?" jawab Murni acuh tak acuh. 

"Makanlah, Ran," kata Ibu ketika menoleh pada menantunya. "Ibu ambilkan, ya?"

"Gak usah, Bu. Biar Rani ambil sendiri saja."

"Nah, cepatlah kalau gitu. Kasihan cucu Ibu kalau dibiarkan kelaparan."

Bukan hanya Maharani yang kaget dengan perhatian ibu mertuanya, tetapi suaminya, dan Murni juga. Dan kekagetan mereka masih berlanjut ketika Ibu mengatakan dia ingin berlibur ke Bali selama seminggu. Padahal biasanya Ibu terkenal sangat peritungan kalau menyangkut soal uang.

"Pergi dengan siapa, Bu?" tanya Papi begitu selesai makan.

"Te teman arisan."

"Murni ikut dong, Bu," sela Murni yang ingin sekali pergi ke pulau dewata yang keindahannya terkenal sampai ke luar negeri itu. 

"Anak kecil diam saja di rumah!" jawab Ibu sembari bangkit dari kursi. Dan sebelum melenggang ke kamar, dia menoleh pada putri sulungnya. "Jangan lupa bantuin kakakmu beres-beres. Anak perawan jangan males!"

What? Bantuin Mbak Rani? 

Hampir saja Murni menjerit. Seumur hidupnya, sejak lahir sampai detik ini, belum pernah Ibu menyuruhnya bersih-bersih. "Kalau gak kesambet, pasti ada gangguan jiwa!" gumam Murni sepelan mungkin agar ibunya tak mendengar. 

"Murni ...." Bukan Papi yang marah, bukan pula Aryo yang sejak makan malam tadi diam, tetapi Maharani. Seperti apa pun sikap ibu mertuanya, sebagai seorang anak Murni tak boleh bicara demikian. "Ayo jaga mulutnya."

"Sorry deh, Mbak. Habisnya Ibu aneh, sih. Iya kan, Pap?" Murni menoleh pada Papi, tetapi lelaki itu hanya mengangkat bahunya. 

"Kan gak cuma kali ini aja Ibu aneh."

"Iya, sih. Tapi Murni tetep mencium aroma yang gak sedap."

"Kamu kentut kali, Mur," celetuk Aryo yang membuat semua orang tertawa.

"Itu sih Mas Ar. Kalau kentut bau busuk!" balas Murni pura-pura kebauan sambil menutup hidungnya. 

"Kalau wangi, orang-orang gak perlu pakai parfum, Mur. Nanti pabrik parfum tutup kan repot!"

"Ah, Mas Ar memang pinter ngomong deh. Pantes ciwi ciwi pada antri kek antri BBM!"

"Sudah sudah. Pergi belajar kalau sudah selesai makan, Mur."

"Ciyus, Mbak? Murni gak perlu bantuin Mbak Rani?"

Maharani tersenyum lembut dan ketika melihat senyum itu, Aryo jadi merasa bersalah. Tegakah dia menceraikan wanita sebaik ini hanya demi ambisinya dan Ibu? Maharani tak bersalah, tetapi kenapa dia harus menyiksanya lagi dan lagi? 

"Gak perlu. Mbak masih sanggup. Lagipula kan sebentar lagi Mbak pensiun kalau pembantu baru datang. Iya kan, Mas?"

"Ah, iya. Tapi kata Ibu kamu harus sabar, ya. Susah cari pembatu jaman sekarang."

"Iya, Mas. Soal itu kan Ibu yang lebih tahu, Mas."

"Oya, Ran. Mas harus keluar kota untuk urusan kantor."

"Kapan, Mas?"

"Besok. Tolong siapin baju, ya."

"Nanti Rani siapkan ya, Mas. Mas istirahat saja dulu di kamar."

Aryo mengangguk dan ketika melihat betapa rajin dan telaten istrinya membersihkan meja, sekali lagi hati Aryo tersayat. Seandainya saja istrinya mau dimadu, dia tak perlu menceraikan wanita sebaik Maharani. Namun, bagaiman nanti pertanggung jawabannya pada ayah mertuanya? Ah, pikir nanti sajalah. Gumam Aryo ketika membuka kamarnya.

***

Hari pernikahan Aryo dan Lina tidak dirayakan di hotel mewah atau resort ternama. Meski hanya dihadiri pihak keluarga Lina yaitu kedua orangtuanya, Aryo, serta Ibu, kebahagiaan Lina tidak berkurang. 

Setelah selesai mengikat janji pernikahan mereka, sepasang pengantin baru itu langsung pergi ke Paris untuk menikmati bulan madu mereka. Sementara Ibu sendiri menikmati liburannya ke Bali bersama besannya. Tentu saja semua itu biaya dari pihak perempuan dan Aryo tak mengeluarkan sepeser pun. Gajinya sebagai branch manager memang cukup besar, tetapi jika dibandingkan dengan harta mertuanya, tentu penghasilannya tak seberapa. 

Selepas menghabiskan bulan madunya di kota romantis, menjajaki setia makanan khas setempat, berfoto, dan menghabiskan malam-malam yang Indah, Aryo dan Lina langsung terbang ke Jepang. Kebetulan saat itu bunga sakura sedang mekar dengan indahnya dan Lina tak mau melewati itu semua. 

Di sisi lain, Maharani yang sejak kepergian suaminya merasa hatinya tak tenang. Dia takut terjadi apa-apa dengan Aryo, tetapi sulit sekali menghubungi lelaki itu. Setiap kali ditelepon, pasti masuk ke dalam mail box. Dan mengirim pesan pun percuma karena jangankan dibalas. Dibaca pun tidak. 

Hari-hari Maharani terasa gersang, sepi, dan tanpa Aryo di sisinya ranjang mereka terasa dingin dan hampa. 

"Dor! Lagi ngelamunin Mas Aryo ya, Mbak?" 

Maharani yang sedang duduk di ruang makan pun tersentak kaget. Dia sama sekali tak menyadari kedatangan adik iparnya.

"Enggak, kok. Mbak baru saja selesai masak."

"Masak soto ya, Mbak?" 

Murni langsung ikut duduk dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Nih, siomay buat Mbak Rani. Parenya agak banyak!"

"Makasih, Mur. Mau disiapkan makannya sekarang?"

"Gak usah deh, Mbak. Ntar kalau laper, Murni ambil sendiri."

"Papi pergi lagi, Mbak?" tanya Murni menyelidik. Sejak Ibu pergi ke Bali, Papi tiap hari keluar rumah dan baru pulang kalau sudah sore. Duh, benar-benar meresahkan! Pikir Murni curiga. 

"Iya. Katanya hari ini pulang malam, Mur."

"Wah, Papi Papi. Mentang-mentang Ibu gak ada di rumah."

"Mumpung ada kesempatan, Mur. Selama ini kan Papi di rumah terus."

"Jangan-jangan Papi punya selingkuhan, Mbak?" 

"Hus! Mana mungkin Papi punya selingkuhan, Mur. Kalau pria sebaik Papi selingkuh, bagaimana dengan lelaki lain?"

Ah, Mbak Rani gak tahu aja, sih. Pikir Murni curiga. Dia pernah mergokin kakaknya dengan gadis lain, kok. Kan orang bilang buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kalau sebagai buah Aryo saja selingkuh, masak Papi sebagai pohonnya enggak?

0 Comments