Novel Pesona Istri Kecilku (9)

Novel pesona istri kecilku

"Hmmm?" Sinta akhirnya membuka mata. Tidurnya sangat nyenyak dan bahkan pojok bibirnya basah. 

Ketika menyadari ada air liur di bibirnya, Sinta buru-buru mengelapnya, tetapi dia tidak sadar bahwa air liurnya itu membasahi lengan calon suaminya. 

"Sudah bangun?" tanya Dewangga dengan tenang seperti biasanya. Tangannya merasa pegal karena sejak tadi digunakan Sinta untuk bersandar. 

"Umm—anu." Sinta jadi salah tingkah. Ia menegakkan posisi duduknya dan merapikan rambutnya. "Maaf, Pak. Aku ketiduran."

"Kalau sudah bangun turunlah. Kita sudah sampai di rumah sakit."

Sinta tidak berkata-kata lagi. Dia malu karena sepanjang perjalanan tidur dan mengeluarkan air liur. Dewangga turun terlebih dahulu, kemudian membantu Sinta untuk turun.

Rambutnya yang panjang berkibar-kibar karena dihempas angin yang dihasilkan oleh baling-baling. Dewangga sendiri merasa cemas karena tubuh Sinta begitu kurus. Dia takut angin sekencang ini akan menerbangkannya. Lelaki itu heran, bagaimana dia hidup selama ini sampai tubuhnya seperti lidi begitu.

"Te—terima kasih, Pak," ucap Sinta setelah kedua kakinya menginjak atap gedung rumah sakit. Diam-diam dia memperhatikan wajah calon suaminya. Rahangnya kokok, sangat tinggi, alisnya hitam dan tebal seperti ulat bulu, dan hidungnya mancung. Sekilas Sinta melihat telapak tangan Dewangga yang tadi digenggamnya. Tangan yang besar dan berbulu. Dia jadi berandai-andai seandainya tangan itu menyentuh pipinya. Brrr. Membayangkannya saja sudah membuat tubuh gadis itu menggigil. 

Tubuh Sinta langsung meremang. Dadanya bergejolak, perutnya seperti mulas dan sebuah perasaan aneh yang baru pertama kali dia rasakan menyusup ke dalam dadanya. 

"Cepat jalan dan hentikan pikiran jorokmu itu!" sentak Dewangga yang langsung berjalan tanpa menunggu Sinta.

Sinta langsung mengikuti lelaki itu sambil menggerutu,"Siapa yang mikir jorok? Orang cuma mikir tangan, kok," protes Sinta kesal soalnya dia tidak memikirkan kotoran ayam, kambing, apalagi sapi. 

"Ayo cepat!" kata Dewangga lagi saat melihat ke belakang dan Sinta berjalan sangat lambat. 
Sinta tidak menjawab, tetapi dia merengut. 
Makanya punya kaki jangan panjan-panjang! Keluh Sinta setengah berlari. 

***

"Kemarilah, Nak," kata Nenek begitu melihat Sinta. Suaranya begitu lembut, penuh kasih, dan terlihat bahwa Nenek adalah orangtua yang memiliki budi pekerti. 

Sinta mendekatkan diri. Meskipun Dewangga sudah memberitahu apa yang dia harus lakukan, tetap saja Sinta merasa bingung.

Selain dengan keluarga dan tetangganya, dia tidak pernah bicara dengan siapa pun. Apalagi dengan kalangan atas seperti Melati Wijaya dan keluarganya. Dia benar-benar merasa hidupnya sekarang ini seperti mimpi. 

"Tidak perlu malu, Nak." Nenek meraih tangan Sinta lalu menuntunya untuk duduk di ranjangnya. "Siapa namamu?"

"Sin—Sinta, Nek."

"Cantik sekali namanu, secantik wajahmu." Nenek tersenyum bahagia sambil mengelus wajah Sinta yang meskipun gadis kampung, kulitnya tetap halus. 
"Sekarang pulanglah, Nak. Kamu pasti lelah." 
Sinta melihat Dewangga seolah-olah bertanya, ke mana aku harus pulang? Ke rumahmu atau ke rumah orangtuanya?

"Kalau begitu, besok kami ke sini lagi." Akhirnya Dewangga membuka mulutnya juga. 

"Tentu saja. Pernikahan kalian harus dilakukan di sini. Nenek ingin melihat sendiri cucu Nenek menikah."

Dewangga mendesah perlahan. Tanpa berkata apa-apa dia meninggalkan neneknya. 

"Nek, Sinta pulang dulu, ya," kata Sinta yang langsung menyusul calon suaminya itu. Kalau sampai dia tertinggal, matilah! Dia tidak pernah ke Jakarta, tidak juga punya saudara di Jakarta, kalau sampai kehilangan jejak Dewangga, bisa gawat!

"Tunggu!" Sinta berlari untuk mengejar lelaki itu. Sudah kakinya panjang, langkah kakinya cepat pula. Sinta merasa heran kenapa sih Dewangga tidak bisa berjalan santai? Seperti maling saja yang semuanya harus serba cepat kalau gak mau ketangkap hansip.

Bukannya menunggu, Dewangga malah mempercepat langkahnya. 

"Pak! Tunggu, dong. Kakiku lecet, nih!"
Sinta tidak berdusta. Kakinya memang lecet karena menggunakan sepatu baru. Selama ini dia sudah nyaman memakai sandal japit dan kini kakinya disiksa dengan sepatu. 

Karena Dewangga tak juga menghiraukannya, terpaksa Sinta melepas sepatu dan menentengnya. Dia tidak peduli semua mata tertuju padanya, karena itu lebih baik daripada dia harus merasa kesakitan.

"Kenapa sih jalannya cepat, Pak?" gerutu Sinta begitu dia sudah bisa mengejar Dewangga yang sudah sampai di pintu rumah sakit. "Dikejar petugas bank titil, ya?"

Dewangga melihat ke arah Sinta yang berjalan di sampingnya sambil menenteng sepatu sambil mendesah. Dia merasa gadis ini begitu liat. Begitu bebas. Dia sama sekali tidak memikirkan persepsi orang tentangnya. Padahal, pakaiannya bagus, penampilannya juga sudah nampak mahal, tetapi sikapnya tetaplah kampungan. "Pakailah sepatumu."

"Tapi kakiku sakit."

"Pakai atau akan saya tinggal!"

Uh, dasar diktaktor! Terpaksa Sinta memakai sepatu kembali, tetapi kali ini Dewangga tidak berlari. Dia hanya berdiri sebentar kemudian sebuah merci mewah berhenti tepat di depannya. 

"Masuklah," perintahnya pada Sinta. Gadis itu mendekati mobil dan membuka pintu, tetapi Dewangga langsung menghentikannya. "Bukan di situ. Depan."

Sinta melengos kesal. Tadi di helikopter mereka duduk bersebelahan. Bahkan lelaki itu juga meminjamkan tangannya. Namun, kenapa sekarang mereka harus duduk terpisah lagi? Hah, dasar menyebalkan dan sok jual mahal

0 Comments