Pesona Istri Kecilku (19)

 

Novel pesona istri kecilku

Duh, gimana ini? Karena bisikan Dewangga, tubuh Sinta jadi meremang. Ada sesuatu yang bergerak-gerak di perutnya lalu naik ke dadanya. Sinta heran, kenapa sih calon suaminya itu senang sekali minta cium? 


"Di sini, Pak?" tanya Sinta dengan polosnya. 

"Ya sudah kalau tidak mau," balas Dewangga yang tubuhnya masih menempel pada Sinta. 

"Bu — bukan begitu, Pak." Gadis itu meremas ujung bajunya dengan cemas. 

Dewangga menyunggingkan senyum. Dia merasa kemenangan sudah ada di tangannya. "Ya sudah kalau tidak mau. Kita belanja saja di sini. Nanti kalau uang saya habis dan gak bisa bayar, saya tinggalin kamu di sini untuk bantu bersih-bersih."

"Jja —jangan dong, Pak!" Sinta lansung ketakutan. Dia berjinjit sambil memegangi bahu Dewangga lalu mendaratkan ciuman di pipi lelaki itu. 

Senyum mengembang lagi di bibir Dewangga. Ternyata mengelabuhi anak kecil cukup menyenangkan.

Akhirnya Dewangga membawa Sinta ke pasar tradisional. Harga-harganya memang jauh lebih murah, tetapi lelaki itu tidak menyukai pasar tradisional. Sudah becek, kotor, bau lagi. Belum lagi kalau dia harus berpapasan dengan orang yang bau badannya sangat menyengat. Astaga ... Dewangga sampai menahan napas! Dia heran, kenapa sih orang yang memiliki bau badan sama sekali tidak menyadari bahwa badan mereka itu bau? 

Setelah berkeliling, Sinta akhirnya menemukan lapak penjual sayuran yang menggoda yang sejak tadi dia cari. Warnanya terlihat masih segar seperti baru dipetik. "Ayo, Pak " Gadis itu menarik tangan Dewangga dan lelaki itu mengikutinya tanpa protes. 

"Buk, bayamnya berapa?" Tangan Sinta dengan cepat mengambil seikat bayam hijau yang masih segar. 

"Bayam, kangkung, dan semua yang ada iketan itu tiga ribu, Neng. Kalau yang udah bungkusan ada jagung dan labunya itu lima ribu. Udah tinggal masak aja. Tahu tempe lima ribu. Cabe sebungkus lima ribuan."

Sinta manggut-manggut. Harganya terpaut sedikit dengan harga di kampungnya dan jauh lebih murah daripada di mall tadi. Dia mengambil seikat bayam, tahu, tempe, dan juga cabai. Tak lupa bawang merah dan putih dan juga ikan asin. Ia yakin kalau di rumah Dewangga tidak ada semua itu.

Setelah selesai membayar, Sinta langsung bertanya di mana penjual ikan. "Sebelah sana, Neng. Lurus aja. Dijamin ikannya seger-seger!"

"Makasih ya, Bu," katanya lalu meninggalkan tukang sayur itu. Karena melihat Sinta kerepotan membawa sayuran, Dewangga mengambil kantong plastik itu dari tangannya. 

"Biar saya yang bawa." 

Sinta tak menolak, tetapi dia merasa tak enak karena terus merepotkan. Selain itu, sejak tadi mereka jadi tontonan orang-orang di pasar karena memakai pakaian yang mencolok. Apalagi Dewangga, masih sangat rapi dengan jas mahal dan sepatunya yang mengkilap. Ya, meskipun sekarang sudah terkena percikan comberan.

"Mampir sini, Neng. Mau beli apa?" tawar ibu penjual jengkol dan petai.

"He-he-he. Enggak, Bu. Mau beli ikan."

"Kalau gitu minta fotonya aja dong, Neng," kata penjual petai dan jengkol itu dengan nada setengah memakasa.

Eh, foto? Sinta jadi bingung. Kenapa ibu itu meminta fotonya?

"Mau ya, Neng." Ibu paruh baya itu sudah berdiri dari tempat duduknya. "Mau ya, Neng. Habisnya Neng cakep kayak artis. Suaminya juga guanteng! Kayak Shah Rukh Khan!" 

"Boleh, Bu. Mana ponsel Ibu?" Bukan Sinta yang menjawab, tetapi Dewangga yang nampak antusias. Dia senang karena ibu itu bilang dia suaminya dan bukan bapaknya. 

"Tunggu-tunggu!" Ibu itu merogoh sakunya dan mengambil ponselnya. "Siniin belanjaannya, Mas. Dijamin aman!" Ibu itu merebut belanjaan dari tangan Dewangga dan meletakkannya ke meja. "Mas foto sama saya dulu, ya. Habis itu kita foto bertiga."

"Boleh." Dewangga yang tidak pernah ramah pada siapa pun tiba-tiba berubah menjadi humble dan murah senyum. Bahkan, dia tidak melayani foto bersama ibu penjual petai dan jengkol saja. Dia juga melayani ibu-ibu penjual ikan, daging, dan sayuran lain yang kebetulan melihat hal itu. Sudah persis seperti sesi foto para artis. 

Dan begitu sesi foto selesai, tangan mereka dipenuhi belanjaan gratisan dari para ibu. Ada juga yang sengaja Dewangga borong kalau kebetulan si ibu pandai muji dan ternyata pujian itu menyenangkan hatinya. 

Sudah punya anak, Mas? Ntar anak-anaknya pasti cakep! Soalnya nyak babenya cakep! 
Ada juga yang bilang begini, bener-bener suami idaman! Sudah ganteng, kaya, mau diajak ke pasar begini. 

Dan masih banyak lagi setumpuk pujian yang membuat dada Dewangga mengembang. Hah, ibu-ibu kalau ada maunya emang begitu, kan? Pandai ngomong! Jangankan Dewangga, suami mereka saja kerap kalah telak kalau istri sudah bertindak.

***

"Bapak yakin saya yang bawa semua belanjaan ini?" tanya Kristina heran saat dia melihat sayuran, buah, dan ikan yang memenuhi mobil bosnya. Tadi dia sedang repot di kantor, tetapi bosnya satu itu menelepon dan memintanya cepat datang ke rumah. Hah! Dewangga memang maunya serba cepat dan beres. 

"Ya. Terserah mau diapakan. Istri saya sudah ngambil yang diperlukan," kata Dewangga renyah kemudian meralat omongannya. "Maksud saya calon istri."

Iya, deh, iya! Yang lagi jatuh cintrong! Gerutu Kristina kesal.

"Baik, Pak. Kalau begitu saya pamit dulu. Mobilnya akan saya kembalikan kalau sudah bersih."

"Tidak perlu. Taruh saja di kantor. Saya akan pakai mobil lain."

Kristina melebarkan senyumnya. "Baik, Pak. Selamat sore."

Setelah mobil yang dikendarai Kristina meninggalkan halaman rumahnya, Dewangga bisa bernapas lega. Akhirnya sekarang dia bisa menemui calon istrinya yang sedang sibuk di dapur. 

Lelaki itu terkejut ketika meja dapur sudah rapi. Sayur, buah, dan ikan yang tadi berserakan sudah berganti dengan botol air putih dan kaleng beer. Rupanya Sinta cepat belajar. Baru sekali Dewangga menjelaskan bagaimana cara menyimpan sayuran segar dan buah-buahan, dia langsung mengerti. 

Di rumah, Dewangga memang jarang memasak, tetapi peralatan dapurnya lengkap. Kotak-kotak untuk menyimpan pun tak kurang. 

"Mau saya bantu?" tanya Dewangga yang tiba-tiba muncul di belakang Sinta. Rupanya gadis itu sedang konsentrasi membersihkan ikan, makanya dia tidak menyadari kedatangan lelaki itu. 

"Ppa — Pak Dewa?" Sinta yang di depan wastafel jadi salah tingkah. Tubuh Dewangga menempel di punggungnya dan suara lelaki itu tepat di depan telinganya. Ah, jadi merinding disko!

"Ya?" Dewangga pura-pura tidak tahu kalau gadis itu sedang grogi. "Mau kamu apakan ikan itu?"

"Ggo ... ggo ... goreng, Pak?"

"Oh. Kamu sudah biasa goreng ikan?"

"Ssu ... ssuu ... sudah, Pak."

"Oh. Berarti kamu pinter masak?"

Sinta memejamkan matanya. Suara Dewangga yang berbisik di telinganya tidak hanya membuat sekujur tubuhnya meremang, tetapi jantungnya juga seperti gendang yang ditabuh. Ingin rasanya Sinta mengusir lelaki itu, tetapi dia bingung bagaimana cara melakukannya. Ini kan rumahnya? Masak tuan rumah diusir dari rumahnya sendiri?

0 Comments