Karma untuk Keluarga Suamiku Bab 13

Novel viral

 "Berhenti, Mas? Aku baru memulainya. Kita kan sudah sepakat soal ini," protes Kemuning karena dulu Dimas sendirilah yang mengizinkannya untuk kembali bekerja setelah cuti melahirkan dan mengurus anak. 


Tetapi bukan Dimas namanya kalau tidak pandai berkilah. Baginya sekarang perintah suami adalah mandat yang harus dituruti. "Memang, tapi setelah aku jadi bulan-bulanan di kantor, aku berubah pikiran."

"Bulan-bulanan gimana maksud Mas Dimas?" tanya Kemuning tidak mengerti. 

"Mereka bilang istriku memiliki karier yang lebih cemerlang. Sang dewi keadilan. Mereka juga bilang kalau di rumah, aku pasti jadi budak istri. Aku malu, Ning. Malu!"

Begitu memalukannya kah, Mas punya istri yang sukses?

"Mas ...." Saat Kemuning akan menyandarkan kepalanya di bahu Dimas, lelaki itu mengelak dengan cepat. Sakit hati Kemuning, tetapi dia hanya memendam rasa sakit itu di dalam dadanya.

"Aku tidak mau tahu! Pokoknya kamu harus keluar dan urus anak di rumah!" Dimas bangkit dari ranjang dan meninggalkan kamar. Ia membanting pintu dan membuat telinga Kemuning berdenging. Baru kali ini dia melihat suaminya semarah ini. Memang apa salahnya sih jika istri lebih sukses dari suami atau gaji istri lebih banyak dari gaji suami? Kenapa suami harus malu dan merasa harga terinjak hanya karena hal itu?

Pertengkaran Kemuning dan Dimas tidak hanya terjadi di rumah saja melainkan juga di ruang sidang. Secara tak sengaja mereka bertemu. Kemuning membela si korban pemerkosaan dan suaminya, Dimas membela terdakwa yang seorang mahasiswa. Terjadi debat sengit di antara mereka dan membuat sidang berlangsung lama karena penundaan. 

Karena debat di ruang sidang tidak selesai, Dimas dan Kemuning melanjutkannya lagi di rumah. Tidak ada hari tanpa adu argumen dan rumah yang dulu tenang kini seperti di neraka. Tak ada hari tanpa keributan. Tak ada kedamaian dan tak ada lagi cinta di antara dua insan yang dulu pernah dimabuk cinta. 

Hingga suatu ketika putri mereka satu-satunya mengalami kecelakaan. Saat sedang menyeberang jalan ketika pulang sekolah, tubuh Athalia yang kecil tertabrak sebuah mobil yang melaju kencang. Gadis berusia tujuh tahun itu terpental. Darah membasahi aspal yang panasnya bukan main. 

Athalia dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan kritis. Gadis itu kehilangan banyak darah dan secepatnya harus mendapatkan transfusi. Sayangnya di rumah sakit persediaan sedang habis dan di kantor PMI pun sedang kosong karena golongan darah Athalia memang langka. 

Saat itu satu-satunya yang bisa menolong adalah Dimas, ayahnya. Tetapi lelaki itu menolak menolong putri kandungnya sendiri. 

"Mas, tolong Athalia, Mas. Berikan darahmu untuknya." Kemuning bersimpuh di kaki suaminya. Seraian air mata membasahi pipinya tiada henti. Dia tak peduli jika harus mengemis pada suaminya sendiri. Bahkan jika harus bertukar nyawa untuk menyelamatkan putrinya pun dia rela. 

"Aku mohon padamu, Mas. Athalia bukan orang lain. Dia putrimu, Mas. Tolong, Mas. Aku akan melakukan apa saja yang kmu suruh, Mas. Kamu mau aku keluar dari pekerjaanku? Akan aku lakukan sekarang juga, Mas."

Dimas tersenyum seolah-olah dia telah memenangkan aduan pacu kuda. "Oke. Jangan pernah menarik ucapanmu."

Saat itu juga Dimas setuju untuk memberikan darahnya pada Athalia. Begitu transfusi selesai dia langsung menemui istrinya yang sejak tadi menunggu di depan ruang ICU. 

"Kamu harus mengalah saat sidang minggu depan. Klienku tidak bersalah."

Dengan bibir bergetar dan tangan menggenggam, Kemuning mengiyakan permintaan suaminya. Dan seminggu kemudian dia menepati janjinya. Untuk pertama kalinya Kemuning sang dewi keadilan kalah dalam memperjuangkan keadilan. Suami dan keluarga terdakwa bersorak merayakan kemenangan sedangkan keluarga korban menangis, kecewa, dan marah pada Kemuning. Seharusnya perempuan itu membela korban, tetapi kenapa justru sebaliknya. 

"Perempuan jahat! Tidak punya hati!" Ibu korban menampar Kemuning, memukulinya, dan bahkan menyiramnya dengan air mineral, tetapi Kemuning hanya diam saja. Di tidak berkata-kata. Tidak membalas. 

"Berapa banyak mereka menyogokmu? Kukira kamu berbeda, ternyata sama saja!" Wanita paruh baya itu menangis. Tubuhnya tak lagi kuat menahan betapa sakit hati dan kecewanya ketika terdakwa dinyatakan tidak bersalah. 
Tubuhnya merosot dan memeluk kaki Kemuning. "Kenapa kamu bisa sekejam ini pada kami. Kenapa ...."

Gadis remaja yang sejak tadi hanya menangis itu merangkul ibunya. Belum hilang rasa sakit bekas pemerkosann yang dilakukan ketiga mahasiswa yang biasa jajan di warung ibunya itu, kini ditambah lagi sakitnya ketika hakim menyatakan bahwa mereka bertiga tidak bersalah. Namun, melihat ibunya seperti ini rasa sakitnya bertambah ribuan kali lipat. 

"Sudah, Bu. Kumohin sudah, Bu ...."

Tangis ibu itu makin keras. Orang-orang yang berada di ruang sidang menaruh simpati, tapi apalagi yang bisa mereka perbuat kalau hukum sudah memutuskan siapa yang salah dan tidak.
Kemuning yang masih berdiri dengan tegak pun tak kalah hancurnya. Air matanya jatuh perlahan, tetapi bukan untuk menangisi kekalahannya sebagai sepangacara melainkan sebagai seorang manusia. Demi anaknya agar mendapatkan transfusi darah dari Dimas, dia melanggar sumpahnya sendiri. Sumpah agar bersikap jujur, adil, dan bertanggubg jawab atas dasar hukum. 

***

Ruang sidang telah kosong. Tidak ada orang lain selain Kemuning yang masih berdiri tegak dan juga Andreas Prabowo yang sejak tadi hanya melihat di dekat pintu. 

Perlahan lelaki yang mengenakan jas abu-abu itu berjalan perlahan mendekati Kemuning. Dilepaskannya jas dari tubuhnya yang besar dan kekar lalu memakaiakannya pada Kemuning. 

"Bajumu basah."

"Maafkan saya, Pak. Saya telah mengecewakan Bapak," kata Kemuning menahan air matanya agar tidak jatuh lagi. Digigit bibirnya kuat-kuat agar bibirnya berhenti begetar. 

Andreas tidak mampu berkata-kata. Yang bisa dia lakukan hanya memeluk wanita itu. Meminjamkan dadanya agar Kemuning bisa bersandar di sana. Menumpankan tangis yang sejak tadi ditahannya. 

Sepuluh menit Kemuning menangis di dada Andreas dan begitu dia sadar apa yang terjadi, buru-buru dia melepaskan pelukan pria itu.

"Mma ... mmaafkan saya, Pak."

"Ayo kuantar pulang."

"Tidak perlu. Saya mau langsung ke rumah sakit."

"Kalau begitu biar kuantar. Aku belum pernah menjenguk anakmu."

"Tapi, Pak ...."

"Tidak usah tapi tapi."  Andreas tidak menerima penolakan. Ia memegangi bahu Kemuning dan menuntunnya menuju parkiran. Begitu sampai di dalam mobil, dia memberikan segelas air mineral pada Kemuning. 

"Te terima kasih, Pak." Kemuning langsung menyedot habis air itu. Dia memang kehausan. Tenggorokannya kering dan matanya pun sudah tidak bisa mengeluarkan air mata lagi.
 
"Ke rumah sakit mana?"

"Kasih Bunda, Pak."

Mobil melaju kencang di jalanan. Untungnya tidak ada kemacetan dan mereka cepat sampai di rumah sakit Kasih Bunda. Namun, ketika sampai di sana sayang semuanya sudah terlambat.

Athalia sudah mengembuskan napas terakhirnya setelah seminggu dalam keadaan koma. 

0 Comments