Pesona Istri kecilku Bab 20

Novel maitra tara

 Akhirnya Sinta mengeluarkan jurus ampuh yang dia percaya akan mampu membuat Dewangga pergi dari dapur dan tidak akan mengganggunya yang sedang memasak. 


Gadis itu meletakkan ikan yang sedang dibersihkannya lalu berbalik dengan cepat. Dengan napas tersengal dan jantung yang berdetak sangat cepat, dia melihat ke atas, ke arah wajah Dewangga yang sedang melihatnya lalu berjinjit dan mendaratkan kecupan di bibir lelaki itu. 

"Se ... sekarang Pak Dewa jangan di sini lagi. Aku mau masak!" kata Sinta sambil memejamkan matanya karena malu sekaligus agar tidak lagi melihat sorot mata tajam Dewangga yang seolah ingin menerkamnya. 

"Kamu mau nyogok saya?" tanya Dewangga pura-pura kesal. Padahal di dalam hatinya dia girang bukan main dan ingin loncat-loncat kayak anak kecil senang karena dibelikan coklat oleh orangtuanya.

Eh? Nyogok? Sinta terpaksa membuka mata dan Dewangga bisa melihat kebingungan di sana. "Pak Dewa saru! Mesum!"

Sekarang giliran Dewangga yang bingung. Ngomong nyogok kok dibilang mesum? Mesum dari mananya?

"Mesum? Mesum itu kalau saya berbuat sesuatu yang ane-aneh."

"Tadi Pak Dewa bilang Sinta nyogok. Perempuan mana bisa nyogok? Teman-teman di kampung bilang, baru boleh nyogok kalau sudah resmi nikah!"

Rasanya kepala Dewangga berdenyut nyeri. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang dikatakan calon istri kecilnya itu. Apa hubungannya nyogok dengan teman-temannya di kampung? 

"Maksud saya, nyogok itu ...." Dewangga bermaksud menjelaskan, tetapi Sinta keburu memotong pembicaraannya.

"Jangan bilang gitu lagi, Pak. Kita kan belum nikah. Gak pantas ngomong begitu."

Duh, serba salah jadi Dewangga. 
"Oke oke. Saya gak akan ngomong gitu lagi. Tapi katakan ke saya, apa yang kamu dan teman-temanmu maksud dengan nyo itu tadi," sahut Dewangga setengah jengkel, setengahnya lagi penasaran. Dari mana asal usulnya bilang nyogok bisa dibilang mesum?

Sinta berbalik untuk mencuci tangannya terlebih dahulu. Setelah mengeringkan dengan apron yang dipakainya, dia kembali berhadapan dengan Dewangga lalu memperagakan dengan kedua tangannya. 

"Ini perempuan," kata Sinta sambil membentuk lingkaran dengan jempol yng ditautkan dengan jari telunjuk. "Terus ini lelaki," lanjut Sinta mengangkat jari telunjuknya yang sebelah kanan. "Laki-laki nyogok perempuan. Gini-gini." Dengan wajah polos Sinta memperagakan jari telunjuk yang keluar masuk jari yang berbentuk lingkaran.

Ya, Tuhan!
Dewangga menepuk jidatnya. Sekarang dia tahu apa yang dimaksud Sinta dengan menyogok. 

"Stop!" Lelaki itu memegangi kedua tangan Sinta. "Sogok yang saya maksud bukan begini," kata Dewangga sambil mengeram. Dia berusaha sabar untuk menjelaskan. 

"Anggap saja sekarang kamu bekerja di toko emas." Sinta mengangguk cepat. Mata birunya melebar dan menyimak baik-baik yang Dewangga katakan. "Saya ingin membeli dua cincin yang harganya lima juta, tetapi saya hanya membayar dua juta dan saya bilang ke kamu, jangan bilang ke bosmu, nanti kamu saya kasih uang jajan. Paham?"

"Ah!" Mata biru Sinta kelihatan cemerlang. "Kalau di kampung itu namanya mbujuk. Ngasih duit atau sesuatu biar gak ngadu."

Dewangga bernapas lega karena Sinta bisa mengerti ucapannya. Lelaki itu mengusap lembut kepala Sinta lalu mengecupnya. "Selesaikan masakmu, saya mau kerja di ruang tengah."

Sinta terpaku seperti patung. Dia tidak mampu berkata apa-apa karena sikap Dewangga yang manis dan romantis. Jantung Sinta rasanya meletup-letup, seperti ada kembang api yang menyala di sana. 

***

 Makanan yang disiapkan Sinta di meja bukanlah makanan mewah, hanya ikan goreng, sambal, dan sayur bayam yang dicampur jagung manis, tetapi melihat bagaimana Sinta berusaha keras, Dewangga memakannya dengan lahap. Dia sendiri tidak ingat apakah pernah makan makanan seperti  ini sebelum kedatangan Sinta. 

Saat tinggal bersama neneknya, chef di sana selalu memasak makanan khas barat. Sementara waktu dia kuliah di Amerika, dia selalu memasak makanannya sendiri itu pun jenis makanan yang simpel dan menyehatkan. Sebagai orang Indonesia, dia bahkan hampir tak pernah makan nasi.

"Besok Pak Dewa mau sarapan apa?" tanya Sinta dengan senyum sumringah ketika melihat swmua masakannya habis. 

Dewangga mengelap mulutnya dengan handuk kecil yang basah. "Biasanya kamu masak apa kalau pagi?"

"Nasi goreng, tapi gak pakai telur. Pakai telur kalau kebetulan ayamnya bertelur."

Dewangga menahan senyumnya karena meliht wajah Sinta yang lucu. "Buatkan itu saja. Besok saya berangkat jam 8."

Sinta tersenyum senang dan membereskan meja. "Kamu yakin gak mau saya bantu?"
Gadis itu menggeleng cepat. "Pak Dewa kan sudah capek kerja. Soal urusan rumah, serahin sama Sinta," katanya dengan rasa bangga karena selain mengajarinya bagaimana membereskan dapur, lelaki itu juga mengajari Sinta bagaimana cara menggunakan mesin cuci. 

Untuk urusan rumah, biasanya asisten rumah tangga akan datang ke rumahnya seminggu sekali. Sementara untuk cucian, Dewangga lebih suka membawanya ke binatu, tetapi kata Sinta dia ingin mendedikasikan dirinya sebagai istri sejati. Itulah sebabnya Dewangga membiarkan gadis itu untuk melakukan apa yang dia mau.

Setelah selesai membereskan dapur, Sinta naik ke kamar Dewangga. Memasukkan jas dan celana ke dalam tas karena besok dia akan membawanya untuk dry cleaning. Sementara pakaian yang ada di keranjang baju, dia membawanya turun ke ruang laundry untuk dicuci. 

Gadis itu memisahkan yang warna putih dan warna lain lalu mencucinya secara terpisah. Sambil menunggui cuciannya selesai, mencoret-coret buku yang tadi diberikan oleh Dewangga. 

Rasanya Sinta ingin segera saat itu tiba. Saat-saat di mana Dewangga mengikrarkan diri sebagai suaminya. 

***

Akhirnya hari yang ditunggu Sinta pun tiba. Pernikahannya dengan Dewangga memang sangat sederhana karena dilaksanakan di rumah sakit. Keluarganya dari kampung pun tidak ada yang datang, tetapi ibu dan adik-adiknya meneleponnya saat acara ijab-kabul selesai. Kata ibu, Pak Dewa tidak hanya memberikan ponsel agar bisa menghubungi Sinta, tetapi suaminya itu juga akan memperbaiki rumah orangtua Sinta menjadi layak huni. Dan untuk sekolah adik-adiknya, Dewangga telah menjamin sampai ke perguruan tinggi. Bukan itu saja, Dewangga juga membelikan sebidang tanah untuk orangtua Sinta agar mereka tak perlu lagi menjadi buruh tani di tempat orang lain. 

"Pokoknya kamu ndak usah kuatir lagi, Nduk," kata Ibu begitu selesai bercerita. "Ibu dan adik-adikmu baik-baik saja. Kamu harus bisa jadi istri yang baik buat Pak Dewa."

"Baik, Bu," sahut Sinta menahan tangisnya. 

"Yasudah kalau begitu. Ibu tutup dulu ya teleponnya. Kamu pasti capek."

Begitu telepon itu tak tersambung lagi, Sinta mengembalikan ponsel pada suaminya yang sejak tadi duduk di sebelahnya lalu menangis.

Hari ini memang hari bahagia, tetapi juga hari yang menyedihkan karena orangtuanya tidak bisa datang di hari pernikahannya. 

Dewangga langsung memeluk Sinta yang masih mengenakan kebaya berwarna putih dengan rambut yang digelung sederhana.

"Terima ka ...."
Belum sempat Sinta melanjutkan kalimatnya, bibir gadis itu telah dilumat Dewangga yang sudah tak tahan lagi mereguk manisnya madu malam pertama.


0 Comments