Dilema (Cerita Pendek)

 

Novel gratis

     "Ma ...." Angel membuka bibirnya yang mungil. Perlahan dan penuh keraguan. Ia takut kalau suaranya akan membangunkan Mamanya dari lamunan. Meski usianya baru tujuh tahun, cara berpikirnya jauh lebih dewasa dari anak-anak seumurannya. Angel tahu persis apa yang terjadi di sekitarnya. Terutama, apa yang terjadi dengan Mama dan Papanya.


    Angel menahan kata-katanya di dalam dada agar tak meluncur. Sementara itu Sandria menunggu putrinya melanjutkan kalimatnya. Gadis itu terus saja menyisir rambut Mamanya yang lurus dan berwarna kecoklatan.


     Rambut Mama seperti sutra! Halus dan lembut! Kata Angel suatu ketika dan membuat Sandria tersenyum. Ia tak pernah menyangka bahwa ia mampu membesarkan anaknya seorang diri. Bagi wanita berusia 35 tahun itu Angel adalah malaikatnya, sumber kekuatannya, dan juga penghibur dikala ia sedang lelah dengan rutinitas pekerjaannya.


     "Apa yang mau kamu tanyakan malaikat kecilku?" Andria berbalik tiba-tiba dan memeluk Angel dengan lembut. Ia menciumi wajah putrinya yang semata wayang hingga berguling-guling di tempat tidur dan Angel kegelian karenanya. 


     "Kapan papa menemui Angel? Angel kangen papa!" 


     Deg! Dada Sandria seperti dihantam godam. Sakit bukan main! Tak biasanya Angel bertanya tentang Papanya. "Mmmmm kapan, ya? Angel mau telepon papa?" Sandria berhenti menciumi putrinya. Kini ia memeluknya, erat ... sangat erat hingga tak akan pernah ada yang bisa memisahkan mereka. 


      Sandria melangkah ke kamarnya untuk menelpon mantan suaminya. Sebenarnya ia enggan, tapi ini demi Angel. Sementara menunggu, Angel membereskan sisir dan perkakas riasnya ketika bermain dengan Mama. Sudah tiga bulan Andrian tidak menemui anaknya. Menghubungi juga tidak! Entah apa sebabnya? Padahal, dulu ia yang memohon-mohon agar bisa bertemu dengan Angel setiap bulan.


      "Angel ingin bicara, Mas. Katanya penting! Tanpa basa-basi Sandria langsung ke pokok permasalahan. 


      "Aku lagi sibuk, Ria." Suara di seberang itu nampak malas berbicara dengan Sandria.



     Aku juga malas mas telepon kamu. Kalau bukan karena Angel aku tak mau menghubungimu lagi! Sandria merutuk dalam hati.


      "Lima menit apa susahnya sih, Mas? Sudah tiga bulan mas gak ketemu Angel! Kalau tidak penting, dia tidak akan menganggu Mas!" Sandria menutup panggilan dan mematikan ponselnya. Rasa marah itu tak bisa diredam lagi jika berkaitan dengan anak. Ia tiba-tiba tersentak ketika melihat putrinya di ambang pintu dengan mata yang berkaca-kaca. Angel pasti mendengar pertengkarannya dengan Andrian. 


      Sandria berlari dan cepat-cepat menghampiri tubuh mungil itu ," Maafin mama, sayang," baiknya lembut kemudian diiringi tangisan malaikat kecilnya yang pecah. Tubuhnya bergetar sepertinya, hatinya sangat terluka. Sudah lama Angel tak menangis seperti itu.


      "Papa marah sama Mama?" tanya Angel dengan suara serak dan pipi yang basah. Kulit yang kemerahan dan tawa yang riang sedang pergi dari wajahnya. Yang ada kini hanya hati yang mendung dan penuh kekecewaan. Entah kecewa pada Mamanya yang tak bisa sedikit saja menahan marah atau kecewa dengan papa yang sudah melupakannya. 


     "Maafin Angel, Mah. Angel gak akan minta ketemu Oapa lagi." Sandria melihat wajah Angel dengan dada yang berdenyut keras. Sakit dan sesak. Tak ada duka yang lebih besar seorang ibu selain tangis dan rasa sakit dari anak-anaknya. Bahkan, terluka karena dikhianati dan sakit karena perpisahan masih bisa ditahannya. Tapi, ketika Angel menangis dunia Sandria pun seolah runtuh menjadi puing-puing. 

        


Novel gratis



     "Ma? Ini sepertinya berlebihan. Lihatlah rambutku. Seperti burung merak. Dan baju ini? Astaga ... aku merasa seperti masih di TK." Angel terpukau melihat bayangannya di cermin. Lebih tepatnya, kaget dan tak percaya bahwa Mamanya akan mendandaninya seperti ... seperti ... burung merak? Atau anak ayam? Bukankah bulu-bulu ini terlihat begitu menggelikan?


      Sandria tertawa terpingkal-pingkal. Antara rasa geli yang menggelitik dan tak percaya ia akan mendandani Angel seperti itu. Mata bulat anaknya terlihat jelas tak menyukai hasil karya wanita yang ada di sampingnya, tapi biarlah selama Sandria bisa tertawa. Sejak seminggu lalu selepas pertengkarannya dengan Andrian, Sandria seperti kehilangan separuh hidupnya. Minggu depan Angel ada pentas kenaikan kelas. Angel mau Papa datang. Kata Angel setelah lelah menangis di pelukannya mamanya. 


"Baiklah ... Mama pasti tahu aku tidak menyukainya. Ini kekanakan. Tapi aku akan memakainya demi Mama."


"Benarkah? Kamu baik sekali."


"Tentu saja Angel baik. Bukankah Mama sering bilang bahwa Angel seperti malaikat?"


"Hmmmm ... manis sekali! Sudah gede anak Mama." 


"Tentu saja! Karena Mama bekerja keras demi Angel!"


    Ah ... putrinya kini benar-benar seperti orang dewasa. Meskipun ia kecewa karena Papanya tidak datang pun tidak menelponnya, tapi Angel tidak memperlihatkannya. Ia tidak ingin membuat Mamanya menangis karena selama ini Sandria sudah cukup menderita dan memikul beban berat di bahunya.


     ***



     Tawa riang mengisi rumah Sandria. Ia tengah bermain tebak-tebakan bersama putri kecilnya. Di sela-sela pekerjaannya mengurus rumah dan toko pakaian yang dijualnya melalui online, Sandria juga selalu menyempatkan bermain dengan Angel. Beruntunglah jaman sudah makin modern, dan minat masyarakat dalam melakukan transaksi jual beli pun mengalami pergeseran. Tadinya masyarakat menyukai belanja di toko-toko retail kini justru enggan dan beralih melalui media daring.



      Selain banyak penjual yang menyediakan barang-barang bagus, murah, dan terpercaya, juga karena kemudahan-kemudahan yang ditawarkan. Tak perlu lagi keluar rumah, panas-panasan, serta mengalami macet yang arrgghhh ... terkadang bikin mulut siapa saja mengumpat. Tinggal klik gambar yang diinginkan, bayar, barang datang sendiri ke depan pintu.


      Tadinya Sandria hanya ibu rumah tangga biasa. Tepatnya, ibu rumah tangga yang tinggal dengan mertuanya. Ia menikah ketika usia 27 tahun dan mutuskan berhenti bekerja karena ingin mengurus Andrian, pria yang dipacarinya selama tiga tahun.


     "Setelah kita menikah, kita akan tinggal di rumah ibuku. Kasihan ibu, sendirian." Tentu saja Sandria tidak keberatan. Toh, selama ini mereka sudah saling kenal dan cukup dekat. Permasalahan antara menantu dan mertua tidak akan menghampiri Sandria. 


      Andrian yang sebagai pegawai kantoran jam kerjanya sudah bisa dipastikan. Berangkat pagi dan pulang malam. Sebagai istri yang baik, Sandria selalu bangun lebih awal bahkan lebih dulu dibanding ibu mertuanya. Memasak dan menyiapkan sarapan, bersih-bersih rumah, hingga menyirami tanaman dan sesekali mencabut rumput-rumput liar yang tumbuh di halamannya. Ia tak punya alasan untuk tidak mengerjakan semua itu, toh sekarang ia adalah ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga yang tinggal di rumah mertua. Dan kebetulan, mertua Sandria memecat pembantunya sesaat sebelum menantunya pindah ke rumah itu.


     "Ibu takut kamu bakalan tidak nyaman kalau ada orang lain di rumah ini. Itu sebabnya ibu tidak lagi mempekerjakannya," celoteh mertuanya ketika Sandria menanyakan bu Kinah, pembantunya yang dulu bekerja di rumah mertuanya.


     Ya, pada akhirnya mau tidak mau Sandria lah yang menggantikan bu Kinah. Beruntung dari kecil ibunya sudah mengajarkannya bagaimana mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Jadi, setelah menikah ia tak lagi kerepotan. Selain bersih-bersih, wanita yang akrab dipanggil Ria itu pandai meracik bumbu dan mengolah makanan. Keterampilan memasaknya itu dituruni dari ayah ibunya yang mengelola catering dari semenjak ia masih kecil.


     "Rian belum pulang, Ria? Sudah malam lho. Hampir jam sembilan," tanya mertuanya sambil menonton sinetron di ruang tengah yang letaknya berdekatan dengan ruang makan.


      "Belum, Ma. Katanya lembur."


      "Lembur kok terus-terusan. Kasihan suamimu. Kerja banting tulang demi keluarga, ee malah istrinya enak-enakan di rumah. Bukannya mengkhawatirkan suami malah makan dengan lahap."


     Kata-kata mertuanya tiba-tiba mengganjal di tenggorokan. Nasi yang hendak di telannya pun tertahan di sana. Matanya panas dan dadanya terasa nyeri seperti tertusuk seribu jarum. Apakah mertuanya tak melihat? Di usia kehamilannya yang memasuki tujuh bulan Sandria masih mengerjakan pekerjaan rumah karena mertuanya sibuk pergi arisan dan sesekali keluar kota. Ada bisnis bersama teman-temannya, katanya. Entah bisnis apa?


     "Lho, malah nangis! Kayak anak kecil saja kamu. Kamu itu lagi hamil, jangan stres-stres dan sering menangis. Nanti anakmu lahir cacat!" Ya Tuhan, kejam sekali ucapannya. Sandria memegang dadanya, mengelusnya, kemudian menelan nasi yang terasa asin karena bercampur dengan air mata.


     Sudah beberapa bulan ini Andrian memang sering pulang larut. Bahkan sering keluar kota. Ada tugas katanya. Meskipun tak pernah menanyakan perihal pekerjaan, bukan berarti Sandria tak mengetahui apa-apa. Ia mencium gelagat aneh pada suaminya. Selain itu bukankah wanita adalah detektif terhebat? Karena naluri istri sangat kuat dan akurat. Sama seperti ketika menemukan lembaran uang di tempat rahasia suaminya. Kantong baju, misalnya.


     Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam, pekerjaan rumah Sandria sudah selesai. Piring bekas makan mertuanya, baju milik mertuanya yang harus dicuci menggunakan tangan, juga rambut yang berserakan di lantai kamar wanita usia lima puluhan itu. Sandria memang tipe orang yang tak tanggung-tanggung, jika bisa diselesaikan hari itu maka dia tidak akan menunda pekerjaannya. Karena besok akan ada pekerjaan lagi yang menantinya.


     Dengan perutnya yang makin hari makin membesar, Sandria merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Meraih telepon seluler di meja di samping ranjangnya dan membuka pesan. Suaminya belum membalas pesannya tadi sore. Apakah ia akan pulang atau tidak?


     Sandria menutup matanya, perlahan menarik napas, kemudian mengeluarkannya. Diulanginya beberapa kali hingga ia merasa rileks dan siap untuk berbincang dengan malaikat kecilnya yang tak sabar lagi ingin melihat betapa anggunnya ciptaan Tuhan yang bernama ibu. 


     "Angel ... malaikat kecilku," ucapnya lirih sambil mengelus perutnya yang sejak tadi ditendangi sepasang kaki mungil. Tak terasa air matanya luruh padahal ia belum memulai pembicaraaan. 


     "Terima kasih sudah menjadi anak yang kuat. Terima kasih sudah menemani Mama. Jangan dengarkan apa kata nenekmu tadi, kamu adalah malaikat Mama jadi kamu akan baik-baik saja. Tuhan dan Mama akan menjagamu, sayang ...." Deraian air mata Ria tak terbendung lagi. Dalam situasi seperti ini, hanya si jabang bayi yang bisa diajaknya bicara. Ia tak mau menghubungi orangtuanya kemudian berlari dan menangis di pelukan ibunya.


      Seorang anak bukan lagi milik orangtuanya ketika menikah. Mereka akan menjadi orang asing. Begitu pesan ibunya dahulu. Apapun yang terjadi, tetaplah tinggal di rumah suami dan  patuh padanya. Sandria mengelus perutnya, seolah jabang bayi sedang menghiburnya dengan tendangan-tendangan lembut. Angel akan menjadi cahaya Mama. Angel akan menjadi sumber kekuatan Mama. Jadi jangan khawatir. Aku akan lahir dengan sehat dan kuat karena memiliki mama seperti Mama. 


      ***



      "Mau mandi atau makan dulu, Mas?" tanya Ria ketika didapatinya suaminya pulang. Sandria belum bisa meski hari semakin larut. Entah apa yang ada di pikirannya. Yang jelas ada pertanyaan dalam hatinya. Seberat itukah membalas pesanku?


      Ia lalu bangkit dan bersiap menyambut pria bertubuh tinggi dan tegap itu. Wajah suaminya yang dibingkai dengan rahang yang kokoh tiba-tiba membuat dadanya berdesir. Ketika tersenyum atau tertawa maka lesung pipinya akan terlihat. Tak heran jika Sandria betah pacaran dengannya hingga bertahun-tahun dan akhirnya menikah.


      Sandria mengamati suaminya diam-diam, tampan, dan rambut halus yang menghiasi wajahnya membuatnya terlihat jantan. Meskipun usianya kini 35 tahun tak mustahil akan ada banyak gadis yang akan terpikat padanya. Apalagi belakangan ini dia sering pergi ke gym yang membuat otot-otot di tubuhnya makin terlihat meski mengenakan kemeja.


      "Gak usah. Aku mau langsung tidur. Capek," sahut Andrian sambil membuka kancing kemejanya dan melepaskan celananya. Dibiarkannya  pakaian itu teronggok begitu saja di lantai. Sandria bangkit dari pembaringan kemudian memungut baju suaminya dan ingin merendamnya agar besok pagi-pagi bisa langsung dicuci.


     "Rendam besok pagi saja," kata Andrian datar dengan mata terpejam. Ia tidur hanya mengenakan kaos singlet dan celana bokser. Sandria yang mendengarkannya pun urung melangkah dari kamar dan memasukan baju kotor ke dalam ranjang pakaian yang ada di sudut ruangan. 


       Ria berbaring di dekat suaminya, diam-diam memandangi wajah Andrian yang sebenarnya masih terjaga. Ia tahu ayah dari jabang bayinya hanya memejamkan mata untuk menghindari obrolan. Obrolan yang membosankan dan itu-itu saja. Andrian jenuh. Ia ingin sesuatu yang baru. Sesuatu yang mampu membuatnya bergairah dan merasa tertantang. Itu sebabnya sudah beberapa bulan ini ia menjalin kasih dengan teman kantornya.


     Berbeda dengan Sandria yang terlalu penurut dan tak pernah menuntut, Cindy yang agresif selalu membuat dadanya berdebar hingga Andrian lupa bahwa ia telah beristri. Tubuhnya memang tak sebagus istrinya saat masih gadis, tapi suaranya yang mendayu dan pintar merayu tak mampu ia tolak. Adrenalinnya selalu naik saat berdekatan dengan gadis usia duapuluhan itu. Kini, sudah genap tiga bulan hubungan gelap mereka berlangsung. Itu sebabnya pria yang sedang puber kedua itu rajin mendatangi pusat kebugaran agar bisa membuat Cindy kelabakan. 


      "Tidurlah. Tidak baik begadang." Seakan tahu bahwa istrinya memperhatikannya sejak tadi, Andrian terpaksa menyuruh Ria tidur. Ia kemudian berbalik, memunggungi wanita di sebelahnya. Entah kenapa ketika bersama Sandria yang diingat adalah Cindy. Senyumnya, manjanya, juga tawanya yang genit benar-benar bergelantungan di benaknya. Tak pernah Andrian merasakan sebelumnya. Menjadi pria seutuhnya. Pria yang selalu dibutuhkan oleh wanitanya. 


     "Mas ...," bisik Ria yang dibuat semesra mungkin di telinga suaminya. Ia tak mampu menahannya lagi. Sudah lama ia tidak berkasih dengan suaminya.


      "Aku capek, Ria." Seakan tahu apa yang diinginkan istrinya, pria itu membalas dengan datar. Ia sudah lama tak memiliki gairah pada wanita yang belum setahun ia nikahi.


      Barangkali benar kata orang. Terlalu lama pacaran kemudian menjadikan pacarnya sebagai istri maka kebosanan akan cepat datang . Dan itu yang yang dirasakannya. Tak seperti Cindy yang pandai bermain, Sandria hanya bisa menerima dan tak memiliki seni di atas ranjang. Bosan dan monoton. Mendengar penolakan dari suaminya, Andria menenggelamkan diri dibalik selimut. Menahan hasratnya yang sudah dari tadi ingin melesat.


     ***


    Hari ini adalah jadwal melahirkan Sandria. Ia menginap di rumah sakit ditemani ibu dan ayahnya. Suaminya tak bisa datang. Ada acara ke luar kota, katanya. Sementara itu, mertuanya sedang arisan. Ya, buat wanita bertubuh gempal itu arisan lebih penting daripada menantu dan cucunya yang akan segera lahir ke dunia. 


      Meski anaknya tak pernah cerita apa-apa, ibunya tahu persis apa yang sedang terjadi dalam rumah tangganya. Naluri seorang ibu tak dapat ditipu.


      Beberapa kali ia sengaja menyuruh anak bungsu serta keponakannya menelepon Ria secara bergantian dan bilang kalau mereka temannya jika bukan Sandria sendiri yang mengangkat. Dan kebetulan mertuanyalah yang menerima telepon. Sedangkan Ria tengah mengerjakan pekerjaan rumah dan pernah terdengar ibu Andrian menyuruhnya dengan nada sumbang.  Seolah-olah Sandria bukanlah menantu melainkan seorang pembantu.


      Sebagai seorang ibu tentu hatinya sakit putri tertuanya yang paling ia kasihi diperlakukan tidak baik. Dan sekarang ia tahu, bukan hanya mertuanya, tapi juga suaminya. Menantunya. 


     Sempat beberapa kali perempuan paruh baya itu ingin bertanya pada Ria. Tapi diurungkannya. Ia takut kalau pertanyaan itu justru membuat Sandria sedih. Tak ada ibu di dunia ini yang ingin melihat air mata anaknya, kan?


       "Bu ... Ibu boleh pulang. Pasti capek menunggu di rumah sakit."


      "Ibu malah lebih capek kalau kamu sendirian di rumah sakit. Suamimu juga kebangeten. Istri mau melahirkan apa ndak bisa cuti dulu? Wis ... wis ... anak jaman sekarang memang antik-antik."


      "Kalau antik mas Andrian kita museumkan saja, Bu," celetuk Sandria spontan dan diiringi tawanya yang renyah. Ia memang suka sekali tertawa. Tapi, ibunya tahu bahwa tidak dengan hatinya. Bukankah bibir selalu bisa menipu? 


***


      Angel yang baru berumur dua minggu sedang menangis sejak bangun tidur. Entah karena apa? Popok masih bersih, lapar juga tidak, bidan juga sudah datang untuk memeriksanya, tapi tangisnya hanya berhenti sebentar, kemudian nangis lagi. 


      Untung ada Ibu yang menginap di rumah mertuanya. Jadi, ada yang membantu merawat karena Sandria masih kaku dalam mengurus bayi. Maklum, anak pertama. Dulu ia takut ketika melihat dua adiknya yang masih bayi. Terlihat lemah dan rapuh hingga ia takut meski hanya menyentuh.


      Selama dua minggu Ibu menginap, dialah yang membantu mengurus rumah karena besannya sedang keluar kota. Ada bisnis, katanya. Ibu tak tahu apa yang ada di pikiran besannya, bukannya menjaga cucu dan menantunya tapi justru seolah-olah menghindari tanggung jawabnya sebagi orangtua.


      Diam-diam Ibu memperhatikan setiap gerak-gerik menantunya ketika di rumah. Nalurinya berkata ada yang janggal. Dia merasa bahwa Andrian yang dulu ia kenal telah berubah. Ia tak sehangat ketika masih berpacaran dengan putrinya. Selain itu, hampir tak pernah ada tawa di wajahnya. Padahal, dulu ia senang sekali bercanda.


      "Angel sudah tidur, Ria?" Ibu melongok ke kamar dari ambang pintu kamar Sandria. Ibu sedang menyapu setelah selesai menyiapkan sarapan untuk Andrian. Meskipun tak muda lagi, jangan remehkan kemampuannya dalam bekerja. Ibu selalu penuh energi hingga orang-orang yang ada di sekitarnya pun ketularan.


      "Sudah, Bu. Baru saja," jawabnya seperti berbisik. Ria yang masih merasa sedikit kesakitan karena jahitan berusaha turun dari rangjangnya dengan hati-hati.


       "Biar Ria bantu, Bu." Ria berusaha merebut sapu dari tangan Ibu. Namun Ibu menolak dibantu. Ia memang sudah tua. Tapi, masih sanggup jika hanya menyapu lantai dan bersih-bersih rumah. 


       "Tidak usah. Kamu masih sakit. Sarapan dulu sana. Ibu sudah siapkan sayur daun katu , ikan goreng, dan tempe kesukannmu." Ria menurut saja. Karena persalinan Sandria tak bisa normal dan harus sesar, ia terpaksa harus banyak istirahat agar lekas pulih. 


      Sudah lama Ria tak merasakan dimanja seperti ini. Sejak menikah, ia jarang bertemu Ibu. Sesekali Ibu dan Ayah pergi ke Jakarta menemuinya. Tapi, sebagai anak Sandria justru tak pernah pulang ke rumah orangtuanya. Bersyukur kedua orangtuanya bisa memaklumi. Kalau tidak bisa pulang ke Jogja, biar kami yang ke Jakarta. Iya kan, Bu? Kami masih muda. Jangan pikirkan hal-hal yang tidak perlu. 


       Ayah memang orang yang berpikiran sederhana. Sama seperti Ibu. Jadi, tak heran jika sifat itu menurun pada Sandria.


       "Kamu merasa ada yang aneh gak dengan suamimu?" tanya Ibu setelah selai menyapu dan menemani Ria sarapan.


      "Aneh kenapa, Bu?"


       "Entahlah. Ibu hanya merasa kalau suamimu itu berubah. Bentar-bentar pegang HP. Menggendong Angel saja jarang." 


       Ria tak kaget dengan pertanyaan Ibunya. Ia justru menunggu Ibu menanyakannya. Sudah sejak lama ia tahu Andrian memiliki selingkuhan.


       Pertama kali Ria tahu Andrian berhubungan dengan gadis lain di belakangnya adalah saat mereka memadu kasih. Tanpa disadari, Andrian mengucapkan nama Cindy.


      Hati Sandria terluka seketika. Dan akhirnya ia sadar kenapa suaminya sering mengajak berhubungan akhir-akhir ini. Padahal, biasanya hanya satu atau kali dalam seminggu.


        Demi membuktikan kecurigaannya terhadap suaminya, Sandria bertanya pada teman Andrian yang kebetulan satu kantor. Dan benar saja ada gadis bernama Cindy di sana. Masih muda dan baru lulus kuliah. Di usia segitu, wanita sedang ganas-ganasnya dan terlihat menggairahkan di mata pria yang telah beristri.


      "Bagaimana kalau kita museumkan Mas Andrian, Bu?"


"Hus! Ngawur kamu!"


       "Mas Andrian punya selingkuhan."


       Sandria berkata dengan santainya. Seolah tak terjadi apa-apa. Lagipula, ia sudah memikirkan perceraian ketika melihat banyak bon-bon pembelian kosmetik dan baju-baju untuk wanita.


      Kertas-kertas itu tak sengaja ia temukan di tempat sampah. Barangkali Andrian lupa merobeknya. Iya, lagipula Andrian memang tak pandai berbohong. Sandria tahu wataknya.


      "Kamu diam saja tahu suamimu selingkuh?" Ibu bertanya dengan gusar. Tentu saja ia khawatir jika anaknya harus mengurus cucunya sendiri. Ia tak takut anaknya menjadi janda. Sama sekali tidak. Ibu tahu Sandria adalah anak yang kuat dan matang. Apapun yang dilakukannya pasti melalui pemikiran panjang. Barangkali semua itu dituruni dari Ibunya. Lemah lembut dalam bicara dan bertindak.


      "Ria sudah berusaha merayunya, Bu. Tapi sepertinya cinta itu sudah tidak ada lagi. Ria bisa apa? Jadi selama ini Ria hanya ingin menunggu Angel lahir sebelum menggugat cerai."


       Melihat anaknya yang makan begitu lahap, pasti hatinya telah ditempa begitu kuat. Ia memang bukan tipe yang suka mengeluh, apalagi menceritakan kesedihannya. Tapi, tetap saja Ibu merasa khawatir. Wajar, kan? Namanya juga seorang Ibu. Tak ada Ibu manapun di dunia ini yang tahan melihat anaknya terluka.


      "Ibu mau kan bantuin Ria bilang ke Ayah? Ria ingin tinggal di Jogja. Dekat dengan Ibu. Carikan Ria kontrakan yang dekat dari rumah."


"Baiklah kalau itu maumu. Apapun itu Ibu akan mendukung. Lalu bagaimana dengan mertuamu?"


       "Sebenarnya Mama punya suami baru. Tapi Mas Andrian gak setuju. Itu sebabnya Mama jarang di rumah."


       Sebagai menantu yang terlihat pendiam, Sandria adalah orang yang perhatian terhadap orang-orang di sekitarnya. Termasuk, kehidupan mertuanya. Ia tak ingin ambil pusing tentang hal-hal yang terjadi di rumahnya karena Sandria meyakini bahwa Tuhan punya rencana. 


      Ia juga tidak ingin mempertahankan rumah tangga yang hanya berat sebelah. Dulu memang Andrian mencintainya. Tapi, kini tidak lagi. Ia tak bisa memaksakannya meski telah berusaha. Meski cinta yang hadir diantara Andrian dan Cindy adalah cinta yang salah, bukankah cinta itu juga terlahir dari Tuhan?


      "Oalah. Pantas saja Ibu lihat kok makin cantik," canda Ibu diiringi tawa keduanya. Mereka memang antik. Menjalani kehidupan seolah-olah tak terjadi apa-apa. Ya, mau gimana lagi? Seberat-beratnya masalah mereka, lebih banyak orang yang lebih menderita dari mereka. 



      Hampir tujuh tahun perceraian itu terjadi. Dan Sandria bahagia. Ia bahagia karena ada Angel di sampingnya. Ada keluarga yang senantiasa mendukung dan mencintainya. Perceraian dan diselingkuhi memang meninggalkan rasa sakit. Tapi bukan berarti ia harus merasakan sakitnya seumur hidup. Jika yang berselingkuh saja bahagia, kenapa dia harus bersedih?


       Matahari selalu tenggelam dan terbit secara bergantian. Begitu pun kehidupan. Sandria ingin menjadi orang yang menerima ketentuan Ilahi kemudian berjuang demi orang-orang yang dicintai.


*****


      Tatkala teman-teman Angel kebanyakan berlibur ke luar kota, ia justru lebih memilih liburan di rumah. Katanya, ia ingin membantu Mbah Putri memasak untuk pesanan catering. Padahal, ia memiliki niat lain. 


      Meskipun tidak tinggal di pusat kota, cukup banyak kantor-kantor yang menjadi pelanggan setia catering Sri Rejeki yang diambil dari nama ibunya Sandria. Selain terkenal karena harganya yang murah, juga karena rasa masakannya enak dan tidak berubah. Bagaiamana mau berubah? Yang masak hanya Ibu dan Ayah. Iya, kan? Karena alasan itulah mereka tidak pernah mempekerjakan pegawai. Tapi, lebih memilih mempekerjakan anak-anaknya. Ada yang bagian ngupas bawang, motong cabe dan blender bumbu-bumbu. Untuk urusan memotong sayuran dan goreng-goreng, Ayah ahlinya.


      "Mbah, Angel mau bantu, ya? Motong kacang panjang." Belum juga si Mbah mengiyakan, Angel telah menyiapkan pisau dan talenan warna pink di lantai yang dialasi dengan tikar. Ia duduk bersila dan terlihat serius memotong kacang panjang. Meskipun bisa untuk memotong, tetap saja pisau itu adalah mainan yang dibelinya saat pergi ke pasar malam. 


       Rumah Sandria  bersebelahan dengan  rumah orangtuanya. Bekas rumah bulek yang kebetulan pindah ke Kalimantan. Meskipun rumah itu model lama, tetap saja Sandria bersyukur karena adik ibunya itu memberikan rumahnya dengan cuma-cuma. Sandria hanya perlu merenovasinya sedikit saja agar terlihat lebih modern dan sesuai dengan seleranya. Lagipula, buat Ria pribadi seberapa bagus dan mewahnya sebuah rumah adalah hal yang tidak penting. Yang terpenting adalah bersih, nyaman, dan juga orang-orang yang tinggal di dalamnya memiliki kehangatan.


     "Angel ... jangan ganggu Mbah Putri yang sedang masak." Sandria tahu persis apa yang akan terjadi di dapur ibunya jika gadis kecil itu bermain dengan alasan membantu.


      "Angel gak ganggu kok, Ma. Iya kan, Mbah?"jawab gadis itu tak mau kalah. Persis seperti Sandria saat masih kecil. 


      "Tentu saja ... Angel kan cucunya Mbah yang paling baik," sahut Ibu sambil mengaduk tumis kacang panjang dan telur puyuh yang sudah direbus. 


      "Cucu dan Mbah sedang sekongkol rupanya. Kalau begitu Mama mau ke kantor pos dulu. Banyak barang yang harus dikirim."


"Bawa mobil atau motor, Ria?"


      "Mobil, Bu. Susah kalau pakai motor."


"Ibu nitip yang di meja itu, ya? Pesanan nasi kuning. Sepuluh kotak untuk bu Ningsih." 


       Ria meraih nasi kotak yang ada di meja. Tak lupa menyomot bakwan jagung yang buru-buru dimasukkan ke dalam mulut sebelum ketahuan satpam cilik.


"Mbah. Mama makan sambil berdiri!"


      Upsss ketahuan! Dan Angel siap mengadu pada si mbahnya. Karena ketahuan, Ria buru-buru menuju mobil. Putrinya kian hari makin pintar. Jika dia dilarang makan sambil berdiri, ia pun akan melakukan hal yang sama ketika melihat orang lain melakukannya. Anak-anak generasi milenial memang beda dengan jamannya dulu.


"Mbah ...."


"Ada apa? Kok kayaknya lesu? Mau ikut Mama?"


      "Bukan. Angel bosan pergi ke kantor pos dengan Mama."


"Lalu apa?"


"Mbah janji ya gak cerita ke Mama?"


       "Iya ... Mbah janji."


"Semalam Angel mimpi ketemu papa."


Ibu berhenti mengaduk masakannya. Kemudian mematikan kompor. Angel pasti kangen dengan papanya. Meskipun tidak pernah bilang, ia adalah darah daging Andrian. Sedikit banyak pasti memiliki ikatan batin. Andrian memang sudah lama tidak menemui Angel. Entah apa alasannya. Dan mungkin dia juga merindukan putrinya.


     "Angel mau telepon papa? Biar Mbah yang menghubungi. Tapi jangan kasih tahu Mama."


      "Gak usah, Mbah. Nanti pasti ketahuan. Mama masih marah soal yang waktu itu tuuuuh," kata Angel dengan bibir yang dimonyongkan. Mirip dengan bibir ikan mas. Kasihan sekali kamu. Setelah bercerai papamu menikahi selingkuhannya. Dan kabarnya langsung memiliki anak. Batin Ibu ketika melihat cucunya memotong kacang panjang tanpa semangat.


     "Bu, ada tamu di depan." Suara Ayah mengagetkan istrinya. Ia baru saja pulang dari pasar. Belanja ayam.


"Lho kapan pulang, Yah? Ibu kok gak tahu?"


      "Baru nyampe. Tadi ketemu Ria di jalan. Katanya pesanan bu Ningsih sudah diantar."


"Iya, tadi Ibu minta tolong Ria. Nunggu Ayah kelamaan."


      "Mbah Kakung belikan ayam pesanan Angel?" Konsentrasi Angel terputus saat mendengar suara mbah Kakung.


Inilah momen yang ditunggu-tunggu. Setelah menangis karena warna-warna pada ayamnya hilang dan mbah Kakung Janji akan membelikannya yang baru.


"Oh, tentu saja Mbah ndak lupa. Itu ada diluar. Masih di motor."


     Mendengar ayamnya telah menunggu Angel, dia langsung lari menuju teras. Diacuhkannya pisau, talenan, dan kacang panjangnya begitu saja. Habis manis sepah dibuang.


Ibu melepaskan celemeknya. Merapikan rambut dan bersiap menyambut tamu. Sedangkan ayah langsung membuat teh manis.


Melihat orang yang ada di teras, Angel lupa dengan ayam-ayamnya."Papa!" Angel berlari dan memeluknya. Ayahnya. Papanya. Orang yang selama ini diam-diam ia rindukan. Sedang di belakangnya, Ibu dan Ayah tak bisa menutupi keharuannya. Mereka tahu sebesar apa cinta cucunya terhadap papanya.


***


     "Kenapa tidak memberitahu kalau mau datang, Mas?"


Sandria bertanya dengan kecut. Baru memasuki halaman rumah, terlihat mantan suami bermain dengan anaknya. Bukannya tidak boleh. Hanya saja kesal atas kejadian tempo hari belum hilang.


     Wanita memang begitu. Jadi, para lelaki harus hati-hati. Kejadian sepuluh tahun lalu saja mereka bisa ingat. Canggih, kan?! 


Lagipula, Ria marah bukan karena Andrian tidak bisa menemui Angel karena kesibukannya. Tapi, ia sama sekali tidak memberi alasan dan meminta maaf apalagi menghubungi Angel sejak saat itu. Ya, maaf! Barangkali satu kata itu terlihat sepele untuk sebagian orang. Tapi tidak dengan Sandria. 


     Seakan tahu mantan istrinya sedang tidak enak   hati, Andrian hanya diam saja. Ia maklum dengan apa yang telah dilakukannnya. "Memangnya diam bisa menyelesaikan masalah, Mas?"


     Tentu saja tidak. Andrian diam dan tertunduk lantaran malu dan takut. Ia ingin meminta maaf tapi kata-kata itu terasa sangat sulit sekali diucapkan. Dan apakah kesalahannya bisa dimaafkan? 


"Aku dan Cindy sudah bercerai," ujar Andrian mematahkan keheningan diantara sepasang suami istri yang pernah saling mencintai.


Getir. Andrian menunduk. Tak mampu membalas tatapan mantan istrinya. 


Andrian kini baru menyadari satu hal. Sandria adalah istri yang baik. Ia patuh pada suami dan juga ibu mertuanya. Sayang, penyesalan itu memang selalu datang terlambat. 


Sandria mengambil napas panjang. Tak heran dengan apa yang barusan ia dengar. Andrian adalah tipe laki-laki yang selalu ingin dilayani dan apa-apa harus rapi. Jika tidak, ia tak akan berhenti menggerutu. Beruntung, Sandria tak kerepotan dan bisa memahami karena Ibu telah mengajarkan cara mengurus pekerjaan rumah. Tapi, Cindy? Ia adalah kebalikan dari Sandria. Bagaikan kutub utara dan selatan.


Selama pernikahannya dengan Andrian, barangkali suaminya itu menganggap apa yang dilakukan istrinya tidak berarti. Tapi, dia baru tahu bahwa pekerjaan seorang istri itu merepotkan dan berat ketika menikahi Cindy. Ia tak bisa memasak, tak suka mengurus rumah. Cindy tak mau terlihat lecek karena urusan rumah tangga dan mengurus anaknya. 


"Kalau Mama tidak mau mengurus rumah, pekerjakan saja pembantu!" ujar Cindy ketika mertuanya mengeluh rumah seperti kapal pecah.


"Cindy gak mau ganti popok, Mas. Minta Tinah saja. Aku gak tahan baunya," keluh Cindy ketika bayi yang baru dilahirkannya terus menangis. Andrian mau tak mau mengalah pada Cindy. Dan di satu sisi ia baru menyadari bagaimana repotnya Sandria selama ini.


"Aku turut prihatin, Mas." Sandria sedikit menyesal bersikap tak baik pada mantan suaminya.


"Terima kasih." 


      Suasana tiba-tiba menjadi kaku. Setelah bercerai dengan Andrian, Sandria memang masih bertemu dan mengobrol dengannya. Selain itu bagaimanapun juga Andrian adalah ayah dari Angel. Meskipun di tiga tahun pertama Ria tak mengijinkan Andrian bertemu putrinya, tapi akhirnya dia sadar bahwa sikapnya selama ini salah. Angel tetap membutuhkan kasih sayang seorang ayah.


"Bolehkah kubawa Angel ke Jakarta?"


      Sandria melongo. Ia tak pernah menyangka Andrian meminta hal itu. Ketika akan menjawab, Andrian telah siap mengutarakan apa yang menjadi keresahannya sejak tadi. 


"Mama sakit. Ingin bertemu Angel."


Pasti ia kerepotan mengurus mama. Itu sebabnya tubuhnya kurus dan terlihat lebih tua karena tak terawat. Batin Sandria. Tak ada alasan baginya untuk melarang Angel ke Jakarta. Bagaimanapun juga Mama adalah neneknya. Mereka memiliki hubungan darah yang tidak bisa diputuskan bahkan oleh kematian. 


"Angel tidak boleh merepotkan nenek dan Papa. Oke?" Sandria memeluk putrinya sebelum Andrian menjalankan mobilnya. 


"Iya, Mah. Angel juga akan bermain dengan adik."


Adik? Apakah Andrian telah menceritakan tentang anaknya yang lain kepada Angel?


"Mama harap kamu tidak membuatnya menangis," canda Ria sambil mencubit hidung mungil putrinya. Andrian yang melihat pemandangan itu berkaca-kaca. Dadanya berdesir oleh keharuan. Seandainya saja waktu bisa diputar kembali pasti keluarga mereka akan menjadi keluarga yang bahagia.


-Tamat-

2 Comments