Cerpen: Akhirnya, Aku Bisa Bahagia.

 

Lomba cerpen terbaru maret 2021

Aku pikir menikah akan menjadi sebuah perjalanan paling indah dalam hidup ini, tapi ternyata pernikahan adalah neraka. Apa mungkin hanya aku yang merasa seperti ini? Kesalahan terbesarku adalah dengan menerima siapa saja yang lebih dulu mau melamar tanpa peduli kualitas dalam diri lelaki tersebut.


Kupandangi wajah lugu bayi lelaki yang sudah mengisi hari-hari selama 12 bulan terakhir ini. Dia terlihat lelah karena terlalu banyak berteriak tadi siang. Bukan salahnya sehingga belum bisa berjalan. Aku sebagai ibu percaya bahwa ini memang belum saatnya dia bisa berjalan.


Cemooh tetangga tidak sesakit apa-apa yang keluar dari mulut mertuaku sendiri. Segalanya menjadi lengkap saat adik ipar yang tidak beradab itu juga ikut mengomentari tentang anakku. Mereka bilang Zian tidak normal. Yang lebih parah adalah usaha mereka untuk terus membully Zian yang tak mengerti apa-apa. Seringkali mereka tertawa atas Zian yang tak kunjung berani melangkahkan kaki kecilnya.


"Jangan males! Belajar jalan yang bener!" Sesekali terdengar suara Mama melengking saat aku masih sibuk memasak di dapur.


Aku hanya bisa mengelus dada sambil banyak memohon pada Tuhan agar diri ini tidak hilang kendali. Ingin rasanya segala rundungan itu kubalas dengan makian yang lebih dahsyat, tapi urung. Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Hei, sebagai orang yang tahu diri, sudah sepantasnya aku mengalah, bukan?


Kurebahkan kepalaku pada bantal.

"Karin! Kamu keterlaluan, ya?!" 


Teriakan itu berasal dari depan kamarku. Itu Mama, ibu dari suamiku. "Apa lagi, sih?" Tanpa sadar mulut ini makin pandai mengeluh.


Kubuka pintu secara perlahan agar Zian tidak terbangun. Terasa lelah badan ini mengajaknya bermain. "Ada apa, Ma?"


"Cucian Mama belum diangkat?" Wanita itu melotot. Sebentar lagi matanya akan keluar.


Aku tak sadar menghela napas. "Aku pikir Mama yang angkat. Dari siang, aku sibuk urus Zian."


"Kamu sengaja bikin baju Mama kebasahan lagi?" tanyanya dengan nada meninggi.


Huh! Zian bisa bangun karena suara Mama.


"Memangnya hujan, Ma?" Baiklah, aku berlagak bodoh saja.


"Makanya jangan main HP terus! " Mama menghentakkan kaki dan pergi dari hadapanku.


Apa sangat susah mengangkat pakaiannya sendiri? Bukankah diriku yang sibuk mengurus anak ini sudah meluangkan waktu untuk mencuci dan menjemur? Playing victim! Sekarang, aku merasa bersalah dan mulai berlari kecil menuju halaman depan.


Gerimis, langit kelam, dan aku. Apa bedanya?


***


Semalaman tidurku tersendat. Zian menangis karena tumbuh gigi. Subuh ini, aku terbangun dalam keadaan sangat lelah. Punggung yang sangat sakit, juga kepala sedikit pusing.


"Tuan Putri, sudah bangun?"


Kurang baik apa aku? Baju ibu sendiri pun tidak pernah kucuci. Kenapa pertanyaan menjijikkan itu muncul saat aku berjalan menuju kamar mandi. Bukankah wanita tua itu tidak pernah mencuci? Dia sibuk berdagang nasi uduk hingga pekerjaan rumah tangga terbengkalai. 


"Enak ya, Tuan Putri bangun jam segini? Pembantu udah capek di dapur!" Dia berseru begitu tanpa melihat wajahku.


What the ....


Apanya yang tuan putri? Bukankah aku yang sudah mirip pembantu selama ini? Mencuci baju ibu dan bapak mertua setiap hari adalah agenda harianku. Bangun pukul 07.00 pun karena Zian yang rewel semalaman.


Apa benar semua manusia tercipta dari tanah? Dari apa manusia di hadapanku tercipta? Kenapa aku bisa tersesat dalam mulutnya yang bagai neraka ini?


"Maksud Mama apa? Aku bangun kesiangan karena semalam Zian rewel."


Bisa dipastikan 100% Mama berlagak tak mendengar apa pun dan melenggang pergi ke ruang tamu.


Dengan tangan mengepal kekesalan yang makin membumbung tinggi, aku berjalan menuju kamar.


"Yah, Mama kenapa kayak gitu sama aku?" tanyaku pada suami.


Aku tahu dia sudah terbangun dan mendengar perseteruan kami. Mas Candra  tak bergeming. Kutatap matanya penuh kemarahan. Apa tidak boleh sesekali aku marah seperti ini? "Aku sudah berusaha menjadi menantu berbakti di rumah ini!"


Suaraku pelan, tapi intonasinya sangat menyayat hati. Seolah hati ini tersayat oleh penderitaan tak bertepi.


Mas Candra hanya menghela napas. "Salahnya orang tua, tetap benar!" serunya dengan nada berat. Lelaki itu bangun dari rebahan dan menoleh ke arahku yang berada di sampingnya.


"Itu lagi?! Kenapa harus kesalahan orang tua menjadi sebuah kebenaran? Apa aku nggak berhak benar? Apa aku pernah ngeluh capek ngurusin anak kamu? Terus kenapa aku tidur setelah subuh karena ngantuk masih harus disindir? Apa aku selama ini diperlakukan seperti tuan putri?" cecarku. Rasanya ingin meledak.


"Udahlah, Kiran, anggap aja angin lalu. Mama juga capek cari uang." Mas Candra berdiri dan bersiap keluar kamar.


Aku menghadang langkah suamiku itu di depan pintu. "Makanya kamu kerja, Yah! Aku nggak pernah ngeluh sama kesusahan kita! Tapi aku nggak tahan kalau disindir sama mertua terus." Air mata ini hampir saja tumpah.


"Kamu, kenapa, sih?! Pagi-pagi udah ribet banget!" Mas Candra membentakku.


Aku tak percaya atas apa yang kudengar. Niat hati mengadu agar bisa mendapat pembelaan, tapi malah mendapat bentakan serupa godam yang memukul hatiku. Susah payah, kutahan air mata, tapi menetes juga. Sekelebat bayangan Ibu muncul. Pernikahan ini memang seharusnya tidak pernah terjadi.


"Mas, kamu harus ingat, aku juga anak berharga bagi ibu bapakku! Kalian tidak pantas memperlakukan aku seperti ini!" Kuseka air mata dan segera masuk ke kamar.


Apakah dia memperlakukan aku seperti ini karena aku tak punya bapak lagi? Seolah-olah kepentingannya terhadap bapakku sudah selesai. Dia hanya ingin tersohor menikah dengan anak orang ternama.


Pulang adalah kata pertama yang terbayang dalam pikiran. Aku rindu Ibu. Sarang iblis ini lebih baik ditinggalkan. Bagaimana hidup Zian ke depan, tak lagi terpikir. Yang penting adalah aku harus sadar bahwa tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan di sini.


***


Ibu menatap tas besar di tangan kananku dan Zian dalam gendongan tangan kiri bergantian. Kutunggu satu menit, dua menit, sepuluh menit, dia tidak berkata apa-apa. "Ngapain di pintu? Masuk!" Ibu masih sibuk menyapu daun-daun kering halaman rumah.


"Aku mau ngajar privat, Bu, titip Zian," mataku setengah berbohong.


Anak gila mana yang mau mengaku ingin pulang untuk selamanya ke rumah orang tua? Aku belum segila itu. Ah, pilu kembali menggumpal dalam dadaku.


"Kak Karin? Ngapain bawa tas gitu?" tanya Amira, adikku.


"Buat salinan aja," jawabku sambil masuk ke kamarnya dan meletakkan tas besar tersebut di lantai.


Sebentar lagi Amira pasti akan protes karena kamar cantiknya berubah menjadi berantakan karena Zian.  Sebaiknya, aku bersiap diri untuk menceritakan kejadian yang sesungguhnya pada Ibu.


Ibu sangat kesal saat kuceritakan semua hal yang selama ini terpendam dalam hatiku. Zian sedang tidur siang setelah lelah bermain bersama Amira.


"Bu, apa boleh aku bercerai dari Mas Candra? Aku sudah tidak tahan lagi!"


Ibu terlihat berpikir. "Bercerailah bila kamu sudah tidak sanggup. Zian masih punya Ibu! Untuk apa Zian punya bapak yang pemalas seperti Candra? Mertuamu juga, tidak beradab sekali tingkahnya!"


"Apakah orang akan berpikir negatif tentangku, Bu? Bagaimana masa depan Zian?" Aku tak bisa menahan tangis.


"Kenapa harus berpikir tentang masa depan?Apakah masa depan cucuku akan lebih baik bila tinggal bersama seorang ayah pengangguran dan neneknya yang kejam itu?" Ibu tampak sangat marah mendengar semua tingkah kasar Mama.


Mama bahkan pernah meludah di hadapanku saat marah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa karena Mas Candra terus saja menyuruhku untuk sabar tanpa meminta Mama untuk bersikap lebih baik lagi. Dalam rumah tangga mana pun, bukankah sudah seharusnya menantu dan mertua saling berbuat baik?


"Aku sebenarnya nggak masalah bila saat ini Mas Candra belum punya pekerjaan tetap, tapi Mama selama ini bertindak semena-mena dan Mas Candra tidak pernah membela sekali pun. Dia hanya bisa membentakku." Air mataku terus menetes saat melihat Ibu bersikap tegar. Dia tidak menunjukkan air mata sedikit pun. Biarlah begitu, karena bila Ibu menangis, maka bagaimana aku harus menanggung rasa sakit ini?


"Karin, hatimu itu lebih dulu harus kauselamatkan sebelum telanjur mati!" 


***


Seminggu setelah kepergianku ke rumah Ibu, Mas Candra tak pernah datang. Mungkin, ini memang jalan yang diinginkannya juga. Siapa sangka, orang yang dulu mengejar-ngejar cintaku bisa sepayah itu? Memang tidak cukup mengenal seseorang hanya dalam hitungan Minggu. Hal seperti ini yang perlu diwanti-wanti terjadi dalam kehidupan wanita mana pun di dunia.


Dua Minggu setelah kepergianku, Mas Candra datang ke rumah. Dia menangis sesenggukan sambil bersujud di kaki Ibu. Tidak waras! Ke mana saja dia? Kenapa baru datang sekarang saat hatiku sudah dipenuhi sarang laba-laba?


"Bu, kalau Ibu setuju, saya mau tinggal bersama Karin di rumah ini juga." Mas Candra mengangkat kepala dan menatap Ibu.


Aku hanya bisa memperhatikan mereka dari depan kamar Amira. Entah kenapa, semua rasa iba dan kasih sayangku untuk Mas Candra sudah sirna.


"Apa? Jadi maksud kamu gimana?" Ibu tampak menahan amarah.


"Candra mau tinggal sama Karin di rumah ini. Candra mau rujuk."


Ingin rasanya, aku tertawa keras di hadapan lelaki payah itu. Dia pikir Ibu tempat penampungan?


"Candra, kalau Candra datang ke sini untuk minta maaf, Ibu maafkan. Namun, bila untuk rujuk, mohon maaf, Ibu dan Karin sudah memutuskan untuk tidak melanjutkan ini. Dari orang tua kamu pun tidak menunjukkan i'tikad baik terhadap kami. Seharusnya, mama dan bapak  kamu datang untuk meminta maaf juga." Ibu berusaha mengontrol suaranya.


Aku mengembuskan napas lega. Ibu sangat bijaksana. Candra terlihat mengusap air matanya. Entah kenapa, mataku sendiri sudah kering, lelah menangis berhari-hari.


"Candra mohon, Bu, maafin Candra!" Astaga, dia merengek.


"Mohon maaf, Ibu tidak bisa. Kejadian ini sudah terjadi berulang kali. Ibu yang melahirkannya pun tidak pernah meludah di depan Karin. Tolonglah mengerti keputusan kami di rumah ini."


Candra keluar pintu pagar rumah dengan langkah gontai. Aku tak secuil pun ingin berbicara dengannya. Benar kata orang, kalau sudah tiada baru terasa. Biarlah dia merasakan hasil dari kepayahannya selama ini.


Selamat tinggal, Mas Candra. Selamat tinggal, Mertua.  Akhirnya, aku bisa bahagia.


*** Tamat


Biodata Penulis:

Nama: Ulfah Nauriyah

Tempat, Tanggal Lahir: Bogor, 11 Agustus

Alamat email: salsabila.adnani@gmail.com

IG: @nauriyahulfah



20 Comments

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Cerpennya keren banget, Mbak Ulfah 💓

    ReplyDelete
  3. Ahh ikut lega bacanya. Lega dengan keputusan Karin meninggalkan Candra. Kisahnya dituturkan dengan sederhana, lugas dan mudah dipahami, tapi cukup menguras emosi, pembaca serasa dibawa menyelami emosi Karin. Nice story' mba.. ❤️

    ReplyDelete
  4. duh itu mertuanya memang semena-mena, yaa. mana suaminya juga diam aja. kalau aku juga pasti bakalan kabur hidup berumah tangga seperti itu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Seumur hidup terlalu lama ya untuk dihabiskan dalam penderitaan hihi

      Delete
  5. Banyak lho yang seperti Mas Chandra dan keluarganya. Seringkali semacam Karin tuh ya jarang, mereka lebih memilih bertahan dnegan embel-embel takut apa kata tetangga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah, bener banget nih, Mba. Kenyataannya memang tokoh utama kebanyakan takut melangkah

      Delete
  6. Keren cerpennya, mengaduk emosi. Jadi ikutan esmosi akoh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih ya Mba. Semoga bisa belajar dari Mba juga

      Delete
  7. Kesel banget bacanya, Mbak. Kejadian seperti ini beneran juga ada. Alhamdulillah ya Karin bisa ambil keputusan yang tepat. Keren ceritanya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mba Muyass. Ini sebenarnya memang based on true story

      Delete
  8. Huaaah, ikut lega. Terbawa emosi membaca ceritamu ini Mba. Bagus banget ceritanya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih ya Mba Denik sudah mampir. Perlu belajar dari suhu lagi.

      Delete
  9. Aahhh cerita ini sama dengan prinsipku,

    "Jadilah ibu yang bahagia sebelum mampu mendidik anak menjadi bahagia dengan cara menyelamatkan hati kita".

    *eeeeaaa

    ReplyDelete
  10. Karena setiap orang berhak untuk bahagia. Jadi, ketika kita tidak mendapatkan kebahagiaan di satu tempat, pergilah mencari kebahagiaan di tempat lain.

    ReplyDelete
  11. Duh, suami yg gak gentlemen si Candra itu yaa,, gak bekerja dan gak mendukung istri di depan ortunya. Tipe anak mama yaa, amit² na'uzubillah punya mantu laki² kayak dia

    ReplyDelete
  12. Hm, suka dengan ceritanya. Jadi pengen bikin cerpen deh. Semoga bisa. hehe

    ReplyDelete