Cerpen: The Sky is So Blue

Lomba cerpen

 -Cerpen: The Sky is So Blue- Elly adalah orang pertama yang menengok Glenda sehari setelah melahirkan. Wajah itu berkerut ketika melihat si bayi dalam dekapan menantunya sedang minum susu dari botol. “Kenapa nggak minum ASI?” tanyanya.

“Nggak keluar,” jawab Adrian sebelum Glenda sempat menjawab. “Kasihan kalau ditahan-tahan, nangisnya kenceng banget. Pasti sudah kelaparan.”

“Pasti karena kamu operasi caesar,” kata Elly sembari menatap Glenda. “Kalau operasi kan banyak obat-obatan, bahan kimia yang masuk ke badan kamu. Kenapa nggak lahiran normal?”

“Kontraksi 29 jam tapi berhenti di bukaan empat. Kasihan Glenda, Ma. Sudah kesakitan, capek, tapi nggak maju-maju.” Lagi-lagi Adrian yang menjawab mendahului sang istri.

Elly mendengkus. “Perempuan zaman sekarang maunya yang gampang aja,” katanya menyindir. 

Adrian menghela napas, sementara Glenda tampak tak peduli. Matanya terpusat pada wajah bayi dalam gendongannya.


***

“Glenda! Bangun! Sudah siang begini kamu masih enak-enakan di tempat tidur! Anakmu jerit-jerit dari tadi, kamu nggak dengar?” Suara itu terdengar begitu dekat di telinga, tapi dia merasa terlalu lelah membuka mata.

“Glen! Glenda!” Kini lengannya diguncang-guncang. “Bangun, Glen! Anakmu lapar! Dari tadi dia menangis terus, nggak mau berhenti! Apa sudah waktunya minum susu?”

Perlahan Glenda membuka mata, menatap langit-langit putih di atas kepalanya sebelum berpaling pada Elly yang sedang memandangnya dengan kesal. Bibirnya mengerucut. “Kenapa sih, kamu jadi malas sekali! Tidur melulu! Baru punya anak satu saja sudah begini malas! Gimana mau ngurusin empat anak seperti Mama dulu? Huh!” 

Elly bangkit dari tempat tidur, lalu berjalan menuju boks bayi yang ada di sudut kamar. “Ah, cucu Oma yang ganteng…” Diangkatnya bayi yang sedang menangis itu, lalu didekapnya dan mencoba menenangkannya dengan mengusap-usap kepalanya. “Sayang… Cup-cup-cup… Sebentar, ya… Mami kamu lagi bikin susu… Kamu lapar ya, Sayang….”

Elly menoleh ke arah Glenda. Matanya membulat melihat sang menantu masih duduk termangu-mangu di atas tempat tidur. “Astaga! Glenda!” Bentakan itu membuat Glenda tersentak.  “Kenapa kamu masih duduk di situ? Cepat bikin susu buat Sky! Tunggu apa lagi? Ayo, cepat!”

Kembali Glenda tersentak, seolah ada kesadaran baru yang merasuk dalam pikirannya. Wanita itu menyingkirkan selimut, turun dari tempat tidur dan bergegas keluar. Beberapa saat kemudian dia kembali ke kamar dengan sebotol susu di tangannya. Tanpa mengatakan apa-apa, Glenda mengambil bayi dari dekapan sang nenek, lalu duduk di tepi tempat tidur dan mulai menyusui. 

Elly mengelus kepala Sky dengan lembut. “Glen, besok bangunlah lebih pagi. Jangan biarkan Sky kelaparan lagi. Sudah berapa kali Mama lihat kamu selalu terlambat ngasih Sky susu. Perhatikan kapan-kapan dia lapar. Hampir tiga bulan, seharusnya kamu sudah tahu pola tidur dan pola makannya.”

Tanpa menunggu jawaban dari sang menantu, Elly meninggalkan kamar. 

Glenda menatap wajah mungil dalam dekapannya dengan tatapan kosong. 


***


Elly menatap wajah Sky yang bulat dengan gemas. “Cucu Oma cakep, ya. Besok besar mau jadi apa?”

“Lihat, tuh. Mama punya mainan baru,” ucap Lidya.

Adrian tersenyum mendengar ucapan sang kakak. “Kapan balik ke Denpasar?”

“Kamu nggak sopan, deh.” Lidya memasang wajah cemberut. “Baru juga datang sudah diusir.”

“Bukan begitu,” tukas Adrian cepat. “Aku juga mau tugas ke Denpasar. Nggak lama, sih. Paling semingguan di sana. Siapa tahu aku bisa mampir ke restoran Kakak.”

“Nantilah kamu kabari aja kalau sudah di sana.” Pandangan Lidya jatuh pada pintu kamar yang tertutup. “Glenda masih tidur?”

Adrian mengangguk.

“Tahu, tuh. Glenda tidur melulu,” sela Elly. “Habis lahiran malah jadi pemalas. Pegang bayinya aja jarang, paling kalau mau bikin susu. Ini malah Mama yang lebih sering ngajak Sky main-main.”

“Siapa yang beres-beres rumah? Ada pembantu, kan?” tanya Lidya dengan dahi berkerut.

“Ada. Setengah hari.” Kali ini Adrian yang menjawab. “Datang jam 7, pulang sekitar jam 1, sesudah makan siang.”

“Untung ada pembantu,” kata Elly dengan sinis. “Kalau nggak, masa iya Mama yang harus beres-beres rumah juga?”

Sekali lagi Lidya menatap pintu kamar yang tertutup, lalu beralih pada Adrian yang duduk di depannya. “Baby blues syndrome?”

“Apa itu?” tanya Elly. 

“Gangguan suasana hati setelah melahirkan,” jawab Lidya menjelaskan. “Apa dia gampang marah, atau sedih terus-terusan? Gelisah, tapi nggak tahu apa sebabnya?”

Adrian termenung sejenak. “Sepertinya sih… eumm… begitu… Banyak melamun. Gelisah. Tapi kalau aku tanya, dia selalu menjawab nggak ada apa-apa.”

“Biasanya hanya dua sampai tiga minggu setelah melahirkan,” kata Lidya lagi. “Tapi, ini sudah dua bulan lebih, kan?”

“Halah, sindrom-sindrom apaan, sih. Dulu Mama ngelahirin empat anak juga baik-baik aja,” tukas Elly dengan nada menggerutu. 

Lidya menghela napas. “Ma, dulu waktu Lidya lahiran si Niko juga sempat kena baby blues syndrome, sekitar dua minggu.” Lalu wanita berambut panjang keriting itu menoleh pada Adrian. “Tapi, aku curiga Glenda mengalami postpartum depression.”

“Kenapa anak zaman sekarang banyak maunya?” Elly menyela dengan nada tidak suka. “Mama punya empat anak nggak pernah kena sindrom apalah itu... Memang repot, tapi Mama bisa ngurus semuanya sendiri. Buktinya? Kalian semua tumbuh sehat, dan sukses, kan?”

Elly berhenti sejenak untuk mengambil napas. “Dari melahirkan aja nggak mau normal, maunya operasi. Terus, ASI nggak keluar, Sky harus minum susu formula. Pulang ke rumah, bukannya tambah rajin, malah jadi tambah malas.” 

“Operasi itu kan juga terpaksa, Ma.” Adrian menyela. Dia tampak gerah karena ibunya selalu mengungkit masalah itu. “Kalau ASI nggak keluar, bukan karena sengaja. Mama kan tahu sendiri, Glenda sudah makan makanan yang katanya bisa memperbanyak ASI. Tapi memang nggak keluar, kan? Kata dokter, mungkin kelenjar susunya nggak ada.”

“Kalau keadaan memaksa, operasi atau susu formula juga nggak masalah, kok.” Lidya membela sang adik. Lalu matanya kembali menatap ibunya. “Ma, setiap orang kan beda. Mama memang kuat, hebat, tapi belum tentu orang lain bisa seperti itu. Beberapa orang memang mengalami baby blues syndrome setelah melahirkan. Tapi, kita harus waspada kalau sindrom ini nggak hilang sampai berbulan-bulan seperti Glenda.” 

Elly menatap putrinya dengan sinar mata yang menyiratkan ketidakpercayaan. “Orang zaman dulu sepertinya baik-baik aja, nggak ada sindrom ini-itu seperti anak zaman sekarang.”

Lidya mengangkat bahu sebagai tanda tak peduli pada kata-kata ibunya. Tatapan matanya tertuju pada Adrian. “Sebagai suami, kamu harusnya lebih aware dengan keadaan istri. Jangan terlalu sibuk sama pekerjaan sampai nggak tahu gimana kondisinya. Cepatlah bawa Glenda ke psikolog atau psikiater, Dri. Semoga semuanya baik-baik saja.”

Adrian mengangguk. “Baiklah.”

Elly mendengkus dengan wajah cemberut.


***


Di kamar, Glenda duduk di lantai dengan punggung menyandar pada pintu yang tertutup. Matanya terpejam, sementara pikirannya terasa penuh. Mereka ngomongin apa, sih? Berisik banget. Kenapa namaku disebut-sebut terus? Memangnya mereka nggak tahu gimana sakitnya lahiran normal? Mereka nggak pernah tahu gimana rasanya sakit sampai mau mati! Mana tahu mereka sakitnya jahitan bekas operasi… Bangun tengah malam itu capek, tahu! Perasaan baru tidur satu menit, sudah harus bangun gara-gara bayi mau minum susu! 

Semua yang dialami Glenda selama beberapa bulan belakangan menari-nari dalam pikirannya. Perasaan marah, sedih, dan kesepian, semua campur aduk, menyelusup jauh ke dalam benak wanita itu. Perlahan butiran bening mengalir turun dari kedua sudut matanya. Aku ibu yang buruk. Aku nggak bisa merawat bayiku. Aku ibu yang buruk. Aku menelantarkan anakku. Aku ibu yang buruk…

Glenda menekuk kaki dan memeluknya. Wajahnya yang tirus menelungkup di antara kedua lututnya. Tiba-tiba gelenyar rasa dingin menjalar di sekujur tubuh.

Aku lelah sekali… Aku lelah… Aku mau pergi…


***


Elly menatap jam di dinding kamarnya, lalu berpaling ke jendela yang tirainya terbuka. Di luar, langit sore Jakarta terlihat cerah. Dia bangkit dari tempat tidur, meraih cangkir bekas teh yang sudah kosong di atas nakas, lalu berjalan keluar kamar.

Setelah menutup pintu di belakangnya, perasaan sunyi mendadak menyergap wanita itu. Matanya tertuju pada jendela besar yang membatasi ruang tamu dengan balkon apartemen. Tirai tipis berwarna putih melambai-lambai tertiup angin. 

Sekejap mata Elly menangkap sesosok tubuh berdiri di balkon. Rambutnya yang sebahu berkibar tertiup angin. Gaunnya yang bermotif bunga-bunga itu meliuk-liuk terkena tamparan angin yang melewati unit apartemen di lantai sepuluh itu.

Mata Elly melebar ketika melihat sosok itu berjingkat. Satu kakinya mencoba menaiki teralis pembatas balkon.

Tangan Elly gemetar hebat hingga cangkir di tangannya terjatuh dan pecah berkeping-keping di lantai. Dia berlari panik menuju kamar Adrian, membuka pintu dan berteriak pada putra bungsunya yang sedang tidur dengan Sky dalam dekapannya. “Adrian! Adrian! Glenda, Dri! Glenda…”

Jantung Elly berdebar cepat. Kakinya nyaris lumpuh karena ketakutan, tapi dia berhasil memaksa dirinya berjalan menuju balkon. “Glenda! Sadar, Nak! Sadar, Glenda!” Air mata mulai bercucuran di pipi keriput itu. Dia meraung, “Glenda! Jangan, Nak! Maafkan Mama! Maafkan Mama…”

Dalam sekejap Adrian sudah berdiri di sebelah Elly, menatap punggung sang istri dengan mata terbelalak lebar. Sepersekian detik kemudian kedua lengannya merengkuh bahu Glenda dan menariknya menjauh dari balkon. Mereka jatuh terduduk di lantai. Selama beberapa saat Glenda berontak, sebelum akhirnya lemas dalam pelukan Adrian. 

“Jangan, Glenda…” Adrian berbisik. Wajahnya terlihat pucat pasi. “Jangan pergi… Maafkan aku… Aku mencintaimu… Jangan pergi…”

Elly duduk bersimpuh dengan deraian air mata. Diraihnya tangan kiri sang menantu dan digenggamnya erat-erat. “Maafkan Mama, Nak… Mama sudah jahat sama kamu… Maafkan Mama…” 

Dalam pelukan Adrian, tatapan mata Glenda hanya terpusat pada langit biru dan awan putih yang berarakan di atas sana. Dia berbisik, “Ayo, kita terbang seperti dulu, Dri… Look up… The sky is so blue…


***


Eunike Hanny, pembaca buku, penonton film, dan pendengar curahan hati…😊 Bisa dihubungi di IG @hanny1806 



 

6 Comments

  1. Keren, Ci Hanny. I feel you, Glenda 😢

    ReplyDelete
  2. Ya Allah, Nyaris mirip sama kisahku Grade

    ReplyDelete
  3. Semoga banyak mertua yang jadi aware sama mantunya setelah baca ini ya, Mbak Hanny.

    ReplyDelete
  4. Pernah merasakan baby blues sekitar semingguan, rasanya memang pengen menghilang

    ReplyDelete
  5. Ceceee.... Kereeeeen ❤️❤️❤️❤️🎉🎉🎉

    ReplyDelete
  6. Keren sekali ceritanya ciiiii....

    ReplyDelete