Cerpen: Suamiku VS Ayah Mertuaku.

 

Lomba cerpen

-Suamiku VS Ayah Mertuaku-Sejak pukul empat pagi aku sudah bangun dan langsung sibuk. Mumpung Arka—anakku belum bangun aku pergi menimba air untuk mengisi bak mandi, genthong, dan beberapa ember lainnya.


Saat aku belum menyelesaikan pekerjaanku, aku mendengar suara tangis Arka, dia terbangun.


Aku buru-buru menghampirinya di kamar. Alhamdulillah panasnya sudah turun. Ya, semalam dia demam.


Aku membangunkan suamiku untuk menjaga Arka selagi aku menyelesaikan pekerjaanku. Tapi Arka tidak mau bersama papanya. Arka ingin ikut denganku. Jadi aku menggendongnya dipunggungku agar aku tetap bisa mengerjakan pekerjaanku.


Baca juga: Cerpen: Kebencian Mertua (Aku tidak Mandul)


"Makanya bangun lebih awal biar bisa beberes tanpa harus menggendong anak," celetuk ibu mertuaku yang mungkin baru saja bangun.


"Huh, anak jaman sekarang, kalau anaknya belum bangun nggak mau bangun lebih dulu. Beda sama orang dulu, sebelum anak bangun semua pekerjaan sudah beres," lanjut mertuaku lagi.


Astaghfirullohal'adzim. Bukannya ibu tahu kalau Arka selalu bangun sangat pagi? Kenapa ibu bicara seperti ini?


"Aku udah bangun dari tadi, Bu. Aku udah ambil air," kataku.


"Sini biar ibu ajak Arka," kata ibu lagi.


Ibu mencoba menggendong Arka namun Arka tidak mau.


"Mama, mama, mama," seru Arka setengah menangis. Arka masih berusia dua tahun.


"Nggak papa biar aku gendong aja, Bu, dia lagi manja, semalam badanya panas," jelasku.


"Arka sakit? Terus kenapa malah mau kamu ajak main air?" sentak ibu.


"Aku nggak ajak dia main air, Bu. Aku menggendongnya," balasku.


"Maaf, Bu, biar aku selesaikan mencuci. Masih banyak pekerjaan yang lain," lanjutku kemudian aku pergi berlalu.


"Dinasehati malah membantah!" tukas ibu. Namun aku tak menghirakannya lagi. Sudah biasa aku mendapatkan kata-kata pedas dari ibu. Itu sudah menjadi makanan sehari-hari bagiku.


***


Arka sedang pergi naik motor bersama suamiku saat aku memasak. Sejak pagi aku masih belu. Istirahat sama sekali. Semalam ayah mertuaku menyuruhku bekerja sampai pukul satu dini hari untuk menyelesaikan pesanan meja belajar dari pelanggannya. Ya, di masa pandemi ini kami memulai usaha membuat meja belajar, suamiku dan ayahku bekerja sama. Sebenarnya suamiku ikut menanam modal tetapi ayah mengatakan pada semua orang bahwa itu usaha miliknya sendiri. Sudahlah, aku tidak mau mempermasalahkan.


Pukul setengah dua dini hari aku baru bisa tidur, sekitar pukul tiga Arka terbangun karena demam. Dan setelah itu aku sudah tidak bisa tidur lagi.


Sekarang setelah aku selesai membereskan semua pekerjaan rumah termasuk memasak, aku kembali ke kamar. Aku ingin istirahat sebentar saja. Kepalaku cukup pusing.


Belum apa-apa ayah mertuaku sudah berteriak, "dimana Fara?" Ayah mencariku. Aku sengaja tidak menyahut karena aku masih ingin istirahat, sebentar saja. Ayah mencariku pasti untuk menyuruhku bekerja lagi.


Tiba-tiba ibu masuk ke dalam kamarku.


"Apa kamu nggak dengar ayahmu mencarimu? Kamu malah enak-enakan tidur disini? Dasar pemalas!" seru ibu meneriakiku.


Pemalas? Ya, apapun yang aku lakukan tidak pernah membuat ibu senang. Padahal dia lihat sendiri aku tidak berhenti bekerja sejak pagi. Mengambil air, mencuci baju, mencuci piring, membereskan sisa pekerjaan semalam, menyapu rumah, menyapu halaman dan juga memasak. Ibu melihat itu semua tapi ibu masih mengataiku pemalas?


Sedangkan Puspa—suami Heri, menantu ibu juga, dia bangun setelah semua pekerjaan beres dan dia langsung mengambil makan bahkan sebelum dia cuci muka dan sikat gigi, tapi Puspa tidak pernah dimarahi seperti aku. Aku tidak mengerti apa kesalahanku.


"Bu, maaf, aku merasa tidak enak badan. Semalam juga aku tidur sangat larut. Kepalaku pusing, aku ingin istirahat sebentar saja." 


"Istirahat katamu? Lalu siapa yang akan menyelesaikan menempel gambar pada meja balajarnya? Pelanggan sebentar lagi datang mengambilnya," kata ibu.


"Ada Puspa dan Heri kan, Bu? Tolong minta mereka kerjakan dulu. Selama ini mereka tidak pernah membantu, biar gantian," balasku.


"Kamu mau mengajariku? Cepat keluar sebelum ayahmu marah," hardik ibu kemudian keluar dari kamarku begitu saja.


Aku memegangi kepalaku yang pusing. Aku mencoba menelpon suamiku tapi ternyata ponselnya tidak dibawa. Ya sudah, aku hanya bisa menuruti perintah ibu sekarang.


Aku keluar dari kamarku dengan kepala pusing. Aku melihat Heri dan Puspa sedang makan dengan enaknya, padahal aku yang sudah lelah dari pagi saja belum makan.


Aku mengambil peralatan untuk menempel gambar. Kemudian aku mengambil tempat untuk melakukan pekerjaanku. Tiba-tiba ayah menghampiri Puspa.


"Puspa, ini bayaranmu kemarin." kata Ayah sambil memberikan uang 50.000 kepada Puspa. Padahal kemarin Puspa hanya membantu sedikit, tidak sampai 10 meja. Pada saat itu ayah mengatakan setiap satu meja akan dibayar seribu. Itu tidak sesuai.


Sedangkan aku sudah sejak awal ikut menbantu, lebih dari 100 buah meja aku hasilkan tapi aku tidak pernah mendapatkan bayaran. Aku berniat meminta bayaranku.


"Ayah, Puspa hanya menyelesaikan beberapa meja saja tapi dia mendapat bayaran 50.000. Lalu mana bayaran untukku? Jika dihitung dari awal usaha kita dimulai maka aku sudah menyelesaikan ratusan meja tapi aku tidak pernah mendapat bayaranku," kataku.


"Kamu meminta bayaran? Usaha ini adalah kerjasamaku dengan Lukman. Sebagi istrinya Lukman wajar saja jika kau membantu," balas ayah.


"Tapi perjanjian awal tidak seperti itu, Ayah."


"Kamu mau membantahku?" seru ayah.


"Ayah, pekerjaan suamiku hanya ini. Penghasilannya hanya dari usaha ini tapi suamiku tidak pernah mendapatkan pembagian hasil dan aku tidak pernah mendapatkan bayaran. Lalu dari mana kami bisa mendapatkan uang? Sedangkan setiap hari aku harus mengeluarkan uang untuk berbelanja untuk makan semua orang."


"Uang ini digunakan untuk modal lagi, apa menurutmu aku juga menggunakannya?" tanya ayah dengan suara keras.


"Tapi ayah membeli rokok dan kopi dengan uang itu, sedangkan aku dan mas Lukman sama sekali tidak mendapatkan bagian," balasku dengan berani. Aku sudah tidak tahan lagi karena semakin lama semua orang di rumah ini semakin keterlaluan.


"Aku butuh kopi saat aku bekerja agar aku tidak mengantuk. Jadi anggap saja itu uang konsumsi."


"Lalu diaman uang kinsumsiku dan mas Lukman, Ayah? Kalian juga setiap hari makan tanpa modal. Kalau seperti ini terus lebih baik ayah cari saja orang lain  untuk bekerja. Aku sudah tidak ingin mengerjakan pekerjaan ini lagi," kataku dengan berani. Aku sudah tidak ingat aku harus menghormatinya lagi karena perlakuannya yang tidak adil membuatku kehilangan rasa hormat terhadapnya.


"Kamu berani membantahku?" sentak ayah.


"Ada apa ini?" Mas Lukman pulang pada saat yang tepat.


"Mama ...." seru Arka sambil berlati ke arahku. Aku langsung menggendongnya.


Ibu juga ikut keluar karena mendengar suara latang ayah tadi.


"Lihat istrimu, Lukman! Dia berani membantahku," kata ayah sambil mendelik ke arahku.


"Maaf, Ayah, aku tidak bermaksud membantahmu. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya," kataku.


"Tunggu dulu. Ada apa ini?" tanya mas Lukman lagi.


"Mas, kamu lihat kan kemarin Puspa hanya membantu menyelesaikan beberapa meja saja? Tapi ayah memberinya bayaran 50.000. Sedangkan aku tidak pernah mendapatkan bayaranku. Aku hanya meminta hakku saja, tapi ayah nggak kasih aku hakku, padahal aku butuh uanh itu apalagi semua orang disini ikut makan makananku. Aku bilang aku nggak mau kerja lagi, lebih baik cari orang lain saja tapi ayah malah marah," jelasku.


"Fara benar. Selama ini aku hanya diam tapi kali ini aku tidak akan diam saja, Ayah. Aku meminta hakku dan hak istriku. Aku minta keadilan. Kalau ayah masih tidak memberikan bayaran istriku lebih baik ayah cari saja orang lain." kata Mas Lukman.


"Apa ayah tahu? Arka tidak mendapat cukup perhatian, tidak ada yang mengurus Arka dan semalam dia deman. Tidak ada yang tahu kan? Karena kalian semua hanya memikirkan diri sendiri dan uang."


"Ibu, ibu tidak bisa membantu pekerjaan ini tapi ibu bisa kan menjaga Arka dengan baik? Bukankah ibu juga pernah memiliki anak? Tapi ibu tidak melalukan itu, ibu mengabaikan Arka dan tidak memperhatikan Arka."


"Heru, kamu sudah menajdi seorang suami tapi kamu tidak memiliki pekerjaan. Apa kamu nggak malu hidupmu hanya menumpang?"


"Cukup, Lukman! Siapa yang mengizinkanmu untuk mengejek adikmu? Ayah masih mampu menghidupi adikmu dan istrinya," seru ayah.


"Benarkah? Tapi ayah makan saja masih menumpang pada kami," balas mas Lukman.


"Kurang ajar! Kamu sudah berani menginjak-injak ayahmu sendiri sekarang. Lukman, aku tidak mau memiliki anak yang suka membantah. Kalau kamu masih tidak bisa diam maka angkat kaki dari rumah ini!" sentak ayah.


Deg.


Aku langsung tersentak. Ayah mengusir kami?


"Dengan senang hati kami akan pergi dari rumah ini," kata mas Lukman.


"Mas,—"


"Fara, ayo kemasi barang-barang kita." Mas Lukman menarik tanganku masuk ke dalam kamar.


"Mas, tapi kita akan pergi kemana?" tanyaku.


"Fara, maafkan aku. Mungkin untuk sementara waktu aku akan menitipkanmu di rumah orang tuamu selagi aku membereskan masalah ini. Tidak apa-apa kan?"


"Mas,—"


"Percayalah, aku akan menyelesaikan urusan ini dengan cepat. Untuk saat ini kamu dan Arka lebih aman tinggal di rumah orang tuamu."


"Baiklah, Mas, aku percaya padamu."


-Tamat-

Penulis: Elphit

6 Comments

  1. Mertua akhlakless. .

    Semoga fara dan lukman segera mendapatkan pekerjaan yang layak dan mjd sukses, aamiin

    ReplyDelete
  2. Semoga Fara dan Lukman kelak menjadi orang sukses

    ReplyDelete
  3. Mauuu nangisssss bacanyaaa. Nguras emosi kali yaAmpun. Mbak Fara seng sabar yaa

    ReplyDelete