-Cerpen: Kebencian Mertua (Aku tidak Mandul)-Aku masih saja bertahan di rumah yang tentunya akan menikam jantungku setiap harinya. Hidup bersama suami yang kucintai mengharuskanku tinggal serumah dengan makhluk yang paling membenciku--tentu saja dia adalah mertuaku.
Sebaik apapun yang aku lakukan, sekeras apapun usahaku, itu tidak bisa dilihat oleh mereka. Entah dendam apa yang mereka punya terhadapku, entah kesalahan sebesar apa yang aku lakukan sehingga mereka terus menyusahkan kehidupanku.
Tiba-tiba suara teriakan yang terdengar familiar memanggilku. Suara yang sangat aku kenal. Setiap nadanya terdengar meninggi seolah aku adalah budak yang harus memenuhi keinginan majikan.
"Nayra ...!" teriak ibu mertuaku memanggilku.
Aku segera berlari menuju asal suara itu, bahkan dalam waktu sedetik setelah ia memanggilku ... aku langsung bertindak dengan alasan tidak ingin kena marah.
"I-iya, Bu!" jawabku dengan nada yang rendah.
Yah, tentu saja aku harus menjawab panggilan mertua dengan nada yang rendah ... karna setiap ucapan yang keluar dari mulutku akan diprotes nadanya.
Saat melihat ibu mertuaku yang menatap lantai dengan tangan berada dipinggang membuatku memperlambat jalanku menuju kearahnya. Detak jantungku masih tidak beraturan akibat berlari, namun sebisa mungkin aku tenang.
Melihat dari tatapannya yang menatap lantai dengan tatapan tidak suka, membuatku yakin jika kali ini dia mencari-cari kesalahanku. Namun, berkat dia ... aku bisa lebih teliti setiap mengerjakan sesuatu. Dia memang selalu mencari-cari kesalahanku, tapi aku juga tidak akan memberinya celah untuk memarahiku terus-terusan.
"Apa lantainya sudah disapu? Sudah dipel?" tanya dengan nada tidak suka.
"Su-sudah, Bu," jawabku tersenyum.
Senyum memang menjadi senjataku untuk bisa menahan diri meski dia selalu menatapku dengan tatapan yang tidak suka.
"Tunggu apa lagi, hah? Pergi mencuci piringnya. Dasar tidak berguna!" bentaknya.
"Ba-baik, Bu," jawabku tersenyum lagi.
Aku melangkah menuju dapur untuk mencuci piring sesuai dengan perintah ibu mertuaku. Saat mencuci piring, aku malah melakukan kesalahan. Tanpa sengaja aku memecahkan satu piring--ibu mertuaku yang mendengarnya langsung datang kepadaku bersiap untuk menyerbuku dengan berbagai penghinaan.
"Dasar anak yang tidak becus! Kamu tahu enggak, berapa harga piring ini? Ini piring mewah yang bahkan kamu tidak bisa membelinya!" bentaknya kesal.
Aku hanya bisa menunduk dengan air mata yang terjatuh. Padahal kupikir, aku sudah melakukan semuanya dengan sempurna tapi ternyata dia tetap saja akan memarahiku.
"Ma-maafkan aku, Bu. Aku tidak sengaja," ucapku menangis.
....
Malam hari
Aku sudah memasak berbagai macam hidangan untuk makan malam. Suamiku telah pulang kerja jadi, satu keluarga akan makan bersama.
Aku duduk tepat di dekat suamiku dan tiga orang di depanku adalah ibu mertuaku, ayah mertuaku dan ipar perempuaanku. Sepanjang makan malam, aku berusaha untuk selalu tersenyum hingga adik perempuan suamiku merasa muak dan angkat bicara.
"Kak Rey, Kakak masih ingat enggak dengan temanku yang bernama Mina?" tanya adik iparku kepada suamiku.
"Mina ... teman SMP kamu?" tanya suamiku kepada adik tiriku.
"Iya. Mina itu loh yang nikah selisih dua hari dengan hari pernikahan Kakak. Udah 3 tahun, dia udah punya 3 anak loh. Kapan Kakak memberi Debay(Dedek Bayi) kepadaku. Bukan aku yang nikah tapi kok aku yang mersa malu kalau istri Kakak enggak hamil-hamil!" ucap adik iparku menikam jantungku secara tidak langsung.
Aku menunduk dengan air mata yang terjatuh, hingga suamiku angkat bicara dan menjawab perkataan adiknya.
"Ra, apa kau pikir membuat seorang anak itu mudah? Apa kau pikir membuat anak sama halnya mencetak kue? Tidak. Kita sebagai manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, Tuhan yang memutuskan. Yah, mungkin Tuhan berkata, ini bukanlah waktu yang tepat tapi suatu saat Tuhan pasti memberi jalan yang terbaik!" jelas suamiku membuat mulut adiknya bungkam.
Tapi ... ibu mertuaku malah angkat bicara dan semakin memperkeruh keadaan.
"Rey, selama ini kamu banyak ceramah aja. Seandainya dulu kamu menikahi wanita yang jelas asal usulnya, maka kita akan mendapat keuntungan. Ibu malu sama tetangga-tetangga yang udah punya cucu sedangngkan ibu belum! Dengan kehadiran istrimu yang tidak berguna ini hanya menambah pengeluaran perekonomian kita. Enggak ada untungnya dia tinggal di sini!" ucap ibu mertuaku dengan kasarnya berbicara.
Hatiku sangat sakit, bahkan aku tidak sanggup memakan makanan yang kini berada di hadapanku. Aku takut mendengar kata-kata mertuaku, aku takut jika pikiran suamiku diracuni--jangan sampai suamiku berpikir untuk mencari wanita lain, aku takut karna ... aku belum memberinya keturunan.
"Kami telah berusaha, Bu. Hanya saja ...."
Belum sempat suamiku melanjutkan perkataannya, ibu mertuaku langsung memotong.
"Dalam 1 bulan, aku memberi kalian waktu 1 bulan. Jika dalam waktu 1 bulan kalian masih tidak bisa memberiku cucu, maka jangan salahkan aku jika harus memaksa Rey untuk menikah lagi!" ucap ibu mertuaku dengan nada yang meninggi.
Aku terkejut, aku ketakutan, bagaimana jika dalam kurung waktu sesingkat itu aku masih belum hamil? Bagaimana nasibku nanti? Apakah pada akhirnya suamiku Rey akan menceraikanku? Bagaimana dengan kisah cinta kami yang telah berdiri kokoh selama 3 tahun?
....
Setelah perkataan ibu mertuaku yang terlalu menikam sampai jantung, aku membersihkan meja dan mencuci semua piring bekas kami makan tadi.
Sepanjang aktivitasku hanya memikirkan satu hal yaitu perkataan ibu mertuaku.
"Bagaimana ini? Bagaimana jika Kak Rey benar-benar menceraikanku? Bagaimana jika perkataan ibu mertua dan adik iparku bisa mempengaruhi suamiku? Aku takut! Bisakah kita berdua hidup tenang?" Berbagai macam pertanyaan berkecamuk dikepalaku.
Tanpa sadar semua piring telah kucuci bersih. Aku dengan tergesa-gesa berjalan menuju kamar untuk menemui suamiku.
Tiba di depan kamar, aku membuka pintu perlahan. Kulihat suamiku yang sedang duduk di sofa dengan tangan yang menggaruk kasar kepalanya bukti bahwa dia sedang kesal.
"Kak Rey," Aku menyapanya dengan suara lembut.
"Aku ingin menenangkan diri. Tolong jangan mendekat!" pintanya.
Aku mengurungkan niat untuk duduk di dekatnya dan memilih untuk duduk di tepi kasur. Melihat keadaannya sekarang membuatku semakin sedih. Aku sangat tahu bagaimana perasaan suamiku saat ini, rasa sakit yang menyayat di hati.
Aku hanya bisa melihatnya menangis tanpa berkata apa-apa untuk menenangkannya. Hingga dia angkat bicara dengan nada serak yang membuatku tersentuh akan ketulusan yang ia tawarkan.
"Aku mencintaimu, Nay," ucapnya.
Air mataku jatuh karna tak kuasa lagi untuk menahannya.
"Apa kau sudah merasa tenang? Apa aku sudah boleh duduk di sebelahmu?" tanyaku dengan air mata yang masih menetes tapi aku masih saja tersenyum manis melihat wajah tampannya itu.
Dia mengangguk pelan, pertanda dia menyetujui permintaanku. Aku melangkah kearahnya dan duduk disampingnya.
"Aku juga mencintaimu, Rey." Aku tesenyum membalas pernyataan cinta dari suamiku.
Hingga, aku duluan yang berinisiatif untuk mendekatkan bibirku ke bibirnya yang basah. Tadinya aku hanya ingin memberi ciuman untuk menenangkan dirinya, tapi ... melihat mata sayu itu membuatku tak ingin berhenti. Bahkan aku rela tenggelam lebih dalam lagi atas kenikmatan yang kami berdua rasakan.
"Temani aku malam ini!" tegasnya dengan napas yang tidak beraturan.
"Bukankah setiap malam aku selalu menemanimu?" tanyaku sok polos, padahal aku tahu benar apa yang dia maksud.
Dia menatap mataku dalam-dalam kemudian menyentuhku dengan lembut. Yah, malam itu kami melakukannya.
"Kak Rey, berjanjilah padaku. Jangan pernah meninggalkanku!" ucapku dengan nada rendah.
"Selagi kau masih sanggup bertahan menghadapi sikap ibuku, maka aku tidak akan meninggalkanmu!" jawabnya.
"Nay, kau harus tahu. Aku tidak bisa memilih antara kau dan ibuku, karna kalian berdua sangat penting bagiku. Seburuk-buruknya ibuku, sejahat-jahatnya dia ... dia melakukan itu demi kebahagiaanku. Jadi, jangan pernah membuatku memilih salah satu dari kalian!" Lanjutnya membuatku membisu.
Yah, dia benar. Siapapun akan berpikir demikian. Jika harus milih Orangtua dan orang yang kita cintai ... maka jawabannya adalah dua-duanya. Bukankah Orangtua juga termasuk seseorang yang kita cintai. Begitu juga dengan Kak Rey, yang tidak bisa memilih antara aku dan ibunya.
Kini aku paham, hubungan antara ibu dan anak sama sekali tidak bisa di pisahkan. Mungkin Ibu mertuaku membenciku, tapi belum tentu dia akan membenci anaknya sendiri. Jadi, aku rasa ... apa yang dilakukan Ibu mertuaku terhadapku adalah demi kebahagiaan suamiku. Dia hanya merasa suamiku menikahi wanita yang kurang pas dengan kebahagiannya, menikahi wanita yang belum memberinya keturunan.
Mandul? Tidak! Aku tidak mandul. Hanya saja, Tuhan masih merencanakan sesuatu yang terbaik untukku. Belum memiliki keturunan bukan berarti mandul. Aku meyakini satu hal, Tuhan merencanakan hari terbaik untukku. Disaat hari itu tiba, dia akan memberiku malaikat kecil yang bisa mengubah kebencian Ibu mertuaku menjadi kasih sayang.
"Aku tahu, berharap itu ibarat menggenggam sesuatu yang tidak pernah nyata. Meski begitu ... aku masih saja ingin menggenggam harapan itu. Kau benar ... manusia pada dasarnya adalah orang yang tamak!". --Nayra Adreana
TAMAT.
Penulis: Nona Aquarius.
2 Comments
Semoga segera dapat momongan, semangat Nayra
ReplyDeleteAamiin kak
ReplyDelete