Cerpen: Gabus Pucung Bu Ronan Mertua


Morfeus publisher


Di hari-hari terakhir ibu, aku masih ingat tiga hari sebelum beliau benar-benar pergi untuk selamanya, ada satu pesan yang masih kuingat untuk selalu menyayangi anaknya dan berusaha hidup rukun bersamanya sampai maut memisahkan.


Sekarang, di depan pusaranya dengan gundukan tanah yang masih basah, patok kayu bertuliskan nama ibu mertuaku itu sungguh bisa membuat detak jantungku tiba-tiba melambat lalu berubah melompat-lompat cepat. Tapi lebih dari itu, ada sesuatu yang masih berkelindan dalam tempurung kepala. Berkaitan, saling memintal, lalu berkecamuk antara hati dan pikiran. Betapa enam tahun masa-masa tinggal bersamanya hingga cucu laki-lakinya yang masih dalam gendonganku ini lahir, tak sekali pun sebenarnya aku bisa sejalan dengan pemikiran kehidupan dan seluruh tata caranya dalam berkegiatan.


Bahkan untuk memecah biji keluak saja, kami pernah berselisih paham karenanya.


“Dibungkus kain dulu, jadi nanti tu biji ora (1) loncat-loncat keluar Neng.”


Aku mengangguk. Berusaha mengikuti caranya walau dengan setengah hati. Membungkus biji keluak yang akan dijadikan bumbu masakan gabus pucung kesukaaan suamiku. Aku tahu caraku lebih praktis. Aku pernah menjelaskan pada ibu hanya dengan menindih dengan sisi pipih pisau, ditekan tangan sedikit. Tanpa perlu membungkus biji itu dengan kain. Apalagi sampai memecahnya dengan batu ulekan. Tapi sekali lagi, aku lebih memilih untuk tidak melanjutkan berdebat. Ibu punya alasan sendiri agar biji keluak itu nanti tidak berhamburan, tercecer, dan tidak rapi.


“Jadi perempuan itu ye, selain kudu (2) rapi badan, rapi pakaian, rapi di ranjang, kerjaan dapur kalau bisa ya kudu rapi. Enggak berantakan. Jember entar liatnya (3).”


Aku paham. Di bagian deretan kata terakhir ia berusaha membela anak lelakinya. Aku yang lebih paham. Suamiku memang meminta rumah ini agar selalu rapi. Beralasan rumah ini peninggalan mendiang ayahnya yang dibangun dengan susah payah. Aku dituntut juga membantu merawat rumah ini. Bahkan suamiku tak malu untuk selalu menyapu halaman di sore hari sepulang bekerja. Depan dan belakang rumah kami dikelilingi dua jenis pohon. Rumpun bambu dan pohon johar. Tak ayal, dedaunnya selalu bergelimpangan menjelang petang saat magrib hendak datang karena ditiup angin. Bisa dibayangkan memang, halaman rumah kami selalu kotor. Tapi ibuku juga tak pernah mau menebang salah satu jenis pohon itu. Lagi-lagi, kata warisan mendiang suami jadi alasannya.


Dari deretan rumah-rumah yang berjejer rapi, memang hanya rumah kami yang masih mempertahankan dinding kayu. Tetangga kami telah banyak mengubah gaya mereka dengan rumah minimalis modern. Teras kecil dengan dua tiang penyangga besar dan atap lancip menjulang.


Tapi ibu tidak pernah meminta anaknya mengganti bentuk rumah mereka. Bagi beliau, peninggalan suaminya sama pentingnya seperti menjaga catatan sejarah. Dari dulu awal kami menikah, bentuk atapnya limas biasa. Dengan teras depan dan ruang tamu sangat luas. Dua kamar tidur, satu dapur, dua kamar mandi, dan balai ruang tengah tempat biasa kami menonton televisi. Misalkan ada kayu-kayu yang rusak atau kasau penjunjung yang rapuh, ya tinggal diperbaiki. Tak perlu renovasi secara total apalagi mengubah bentuknya.


Tapi, untuk satu dapur di belakang, aku pernah meminta suamiku untuk menambahnya. Berusaha merayunya agar aku tak selalu selisih pendapat dengan ibu mertua ketika akan memasak. Tapi ia bilang, “Nyang dulu bukannya sebelon nikah, ane (4) udah pernah bilang. Ibuku tinggal sendiri. Ane anak lelaki tunggal. Ente (5) udah enggak punya bapak ibu. Kalau nanti udah nikah, udah adatnya ente tinggal di rumah ini ama mertua. Anggap aja ini rumah sendiri.”


Aku diam saja. Tak membalas juga tak mengiyakan. Betapa ini hanya persoalan sesama wanita. Suamiku tak paham apa yang kurasakan. Masak sayur asam katanya keasinan, lalu ibu malah berkelakar jangan-jangan aku masih selalu ingat deretan mantan. Meracik sayur kacang panjang tak sesuai dengan yang diharapkan. Ibu mertuaku lebih suka dipotong-potong dengan jemari. Kata beliau, masakan yang tersaji dari aroma tangan sendiri lebih wangi. Lalu memandangku salah karena memotong kacang panjang tadi dengan pisau. Lebih hemat waktu dan praktis kataku. Tapi, beliau tetap dengan pendiriannya.


Bahkan untuk deretan bumbu cepat saji yang tersusun rapi di rak samping atas kompor, beliau geleng-geleng. Merasa jika perempuan sekarang maunya yang praktis saja. Tidak mau tangannya kuning karena memarut kunyit. Tidak mau mengulek sambal, semua tersedia dalam bungkusan kecil. Tinggal memilih mau masak apa. Nasi goreng, sayur asam, sayur sop, sayur tumis, sayur lodeh, bumbu balado juga bumbu rawon.


Tiba-tiba mata ibu membulat besar. Melihat bungkusan kecil bertuliskan bumbu gabus pucung. Mengambil bumbu dalam kemasan praktis itu lalu menunjukkan di depanku.


“Nyang ini buang saja. Suamimu dari dulu enggak pernah pake bumbu model beginian. Rasanya juga pasti enggak enak. Ditambah lagi bumbu-bumbu begini seratus persen udah pasti enggak alami. Banyak pewarna, banyak pengawet, banyak perasa yang dibuat-buat. Percaya deh sama ibu.”


Sebenarnya aku ingin mengelus dada cuma tidak bisa. Tingkah laku tadi tentu saja terlihat tidak sopan jika kulakukan di depannya. Jujur aku lebih memlih diam. Lalu membuang bumbu tadi ke tempat sampah. Walau ada sedikit nyeri dalam dada. Barisan bumbu tadi sudah kubeli susah-susah dengan menyisihkan uang bedak dan body lotion bulananku. Tapi demi menghormati ibu, aku lebih memilih menuruti kemauannya. Walau dengan setengah hati.


Dari raut muka yang aku perlihatkan sore itu sepulang suamiku bekerja, ia tentu memandangku curiga. Lalu mengeluarkan kata maaf sebelum aku pinta. Di rumah ini, suamiku bilang kalau ia lebih berat memikul beban yang ada. Bagaimana caranya bisa berlaku adil di depanku dan di depan ibunya. Bagaimana caranya mengambil keputusan jika ada permasalahan tanpa menyakiti atau merugikan salah satu pihak. Di dalam kehangatan pelukan dadanya yang bidang, aku merasakan kedalaman kata-kata yang diucapkannya. Meminta maaf padaku jika ibunya pernah melakukan atau mengucapkan kata-kata yang barangkali melukai perasaanku.


“Entah kenapa sayur gabus pucung yang kumasak tidak seenak buatan ibu. Sayur ikan gabus pucung buatan ibu berasa gurih manis dan sedap. Bertabur aroma irisan jagung, kacang panjang, daun seledri, bumbu biji kaluak, dan daun bawang yang begitu wangi. Cara yang ibu lakukan juga sama telah kulakukan. Bahkan sekarang aku tak mau memakai bumbu-bumbu kemasan. Ibu bilang banyak racun di dalamnya. Beliau tak mau nanti kamu dan keluarga kita penyakitan gara-gara selalu menyantap bumbu-bumbu makanan yang tidak sehat. Tapi tetap saja, aku tidak bisa membuat sayur kesukaanmu selezat buatan ibu.”

“Di rumah ini, ente enggak perlu jadi orang lain. Ane tak mau malah jadi beban pikiran ente. Seperti biasa saja. Lakukan saja jika menurut ente benar. Ane pernah pesen sama ente buat ngormatin ibu. Begitu sebaliknya ane selalu bilang ke ibu buat ngormatin ente.”


Seperti ada batu es yang dicairkan di kepalaku, mendadak pikiran dan hatiku yang bertaut panas mendadak dingin mendengar ucapannya. Berusaha kembali membalas kedalaman pelukannya, tepat saat anakku yang masih berumur setahun tiba-tiba bangun dan menangis.


Tangisan anakku membuat ingatan dengan ibu mertua mendadak muncul kembali. Bagaimana aku lebih memilih baluran minyak telon yang aku beli di swalayan ketimbang kerokan bawang merah yang ibu sarankan. Sudah tiga hari ini anak lelakiku demam. Tapi sebagai ibunya aku lebih tahu apa yang harus kulakukan. Tapi sekali lagi, yang aku rasakan ibu mertua seolah sok tahu dengan cara merawat bayi kami tanpa membiarkan kami berusaha belajar sendiri cara mengurusnya. Jika ingat kejadian itu, nyeri di dada tiba-tiba muncul lagi.


Namun sekarang, di depan pusaranya dengan taburan bunga mawar dan kantil yang masih segar dan bergelimpangan di atasnya, aku malah merindukan sosok ibu mertuaku. Betapa dulu aku tak bisa bersikap bijaksana. Kapan saat yang tepat untuk menolak dengan santun dan kapan berkata iya. Terus berusaha menyalahkan beliau karena masih saja berselisih pendapat dalam berbagai hal.


Suamiku menarik lenganku untuk pulang. Aku menggeleng. Enam tahun sudah aku benar-benar diperlakukan seperti anaknya walau aku tidak merasa. Betapa dulu ia rela mencuci semua pakaianku ketika aku operasi proses kelahiran. Beliau yang merawatku. Lalu paham, di waktu-waktu terakhir beliau hendak pergi meninggalkan kami, suamiku baru bilang jika ibu punya gula darah tinggi. Tubuhnya mendadak kurus kering. Diabetes itu juga ia tularkan ke suamiku. Itu sebab ia selalu menyuruhku membuat masakan sehat. Dulu, aku tak paham dengan apa yang selalu diucapkannya.


Suamiku bilang tak usah menyesal dengan apa yang telah kulakukan. Di tepian gundukan itu, sambil menggendong anakku, ia malah menciumi keningku berulang-ulang. Berkata terima kasih padaku karena telah merawat ibunya dengan sepenuh hati. Membujukku untuk segera pulang.


Tapi aku tak bisa. Aku seperti tetap ingin bersamanya. Bahkan jika ia bisa hidup kembali, aku ingin bersujud di kakinya. Betapa aku ingat ketika siang itu pintu diketuk, lalu tiba-tiba dua orang tak dikenal dengan pakaian rapi datang ke rumah kami. Ibu menjelaskan jika mereka adalah para pembebas lahan. Tanah di atas rumah yang kami tempati dan beberapa sawah yang masih tersisa di belakang rumah akan mereka beli demi hunian perumahan elite yang selalu mereka promosikan.


Ibu tetap dengan pendirian. Ibu lebih rela sisa tanah itu untuk pendidikan anakku kelak. Ada saat yang tepat kapan menjual tanah itu. Lalu melihat semua sertifikat tanah milik ibu telah berganti namaku. Beliau bilang jika nanti suamiku meninggalkanku lebih dulu, aku harus bisa menyekolahkan anakku sampai ke perguruan tinggi. Jadi insinyur atau arsitek. Ia ingin menghapus kesan jika orang Betawi hanya suka menjual tanah warisan buat makan. Lalu cukup kerja jadi tukang ojek atau kuli bangunan. Tidak. Ibu punya pandangan sendiri agar aku bisa hidup lebih baik nanti.


“Sebelum pergi ibu bilang ada resep rahasia yang ibu kasih sama ente. Nanti ane punya rencana buka restoran gabus pucung. Namanya ngambil dari nama ibuku. Rumah Makan Gabus Pucung Bu Ronan Mertua. Bagus bukan? Ente setuju tidak?”


Jujur saja aku tidak bisa menjawab apa-apa. Lebih memilih menyelinap dalam ketiaknya lalu tangis itu pecah dan butiran bening terus saja menggelinding tanpa kehendaknya. Terus saja menyusur turun ke pipi dari ujung mata. Dulu aku belum begitu paham apa maksudnya. Sekarang, betapa perkataan ibu satu per satu telah terbuka rahasianya.


... ibu, maafkan saya.

Tambelang-Sukatani, 2021


Keterangan:

(1) ora: tidak

(2) kudu: harus

(3) jember entar liatnya: kotor nanti melihatnya

(4) ane: aku

(5) ente: kamu


Biodata Penulis:

Dody Widianto, lahir di Surabaya. Bekerja dan menetap di Depok, Jawa Barat. Penyuka sayur kentang dan fotografi. Sudah tidak pernah mimpi basah setelah menikah. Karya cerpennya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa nasional seperti Suara Merdeka, Medan Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Tanjung Pinang Pos, dll. Silakan kunjungi akun IG: @pa_lurah untuk kenal lebih dekat.



0 Comments