Cerpen: Parulihan dan Ibu Mertua

Lomba cerpen morfeus publisher


Rumondang menggigil! Pasti Ibu Mertua tersinggung, sebab di acara arisan keluarga yang mereka hadiri, handai tolan lebih banyak menyinyir kapan Ibu Mertuanya mendapat cucu dari dirinya? 

Kalau saja tadi mereka berhalangan hadir di arisan keluarga ini, tentu ia dan Ibu Mertuanya akan manis-manis saja. Untuk apa hadir kalau akhirnya menjadikan Ibu Mertuanya terluka. Rumondang tak kuasa mengalihkan topik obrolan padahal ia telah berusaha setengah mati. Saudara yang berkumpul justru berlomba bicara! Apa daya, Rumondang hanya bisa pasrah. Ibu Mertuanya mengajak pulang lebih awal. Beruntung, Mamak mengerti kondisinya. Mamak mendorongnya untuk mengikuti kemauan Ibu Mertuanya. Mereka meninggalkan arisan dengan sikap saling berdiam diri!

Tahun berganti. Semua masih sama. Yang tetap adalah kecemasan yang melanda jiwa Rumondang. Apa yang tidak dimasukkan Rumondang ke dalam rahimnya. Rapalan doa termasuk kegundahan jiwanya. Segala cara telah ia lakukan demi membahagiakan Parulian, suaminya. 

Lima tahun. Benar, lima tahun sejak mereka selesai melakukan segala ritual adat yang mengesahkan mereka berdua sebagai sepasang suami istri. Lima tahun bukan waktu yang pendek untuk satu penantian yang sia-sia. Di awali sindiran orang-orang, tetangga, dan keluarga Ibu mertuanya. Menyusul, Bapak dan Mamak dari rumah ikut cemas. Apakah putri mereka mandul? Bagaimana mungkin, tidak ada garis keturunan mereka sampai saat ini yang tidak memiliki keturunan. Keluarga mertuanya tempat ia tinggal bersama Parulian, suaminya, tidak perlu dipertanyakan. Ibu Mertuanya melakukan segala cara membantu agar perut Rumondang yang selalu kempis itu tertiup angin lalu mengembung! Ibu Mertuanya tidak pernah kalah selalu mencari segala cara.

Mulai dari bidang kampung. Berpindah ke dokter puskesmas. Beralih ke dokter kandungan klinik terdekat dari rumah mereka. Lalu, mengikuti saran banyak orang untuk menemui dokter spesialis kandungan yang terbaik. Rumondang bersama suaminya dengan sabar melakukan semua itu. Segala macam obat, vitamin, dan hormon ditelan Rumondang dengan sabar. Rumondang berjuang mengatasi segala perubahan hormonal dari dalam tubuhnya karena dampak samping dari segala obat-obat dari banyak dokter itu.

Ibu Mertuanya tidak tinggal diam. Membawa Rumondang menemui orang pintar. Rumondang tidak tahu Ibu Mertuanya mendapat saran dari siapa. Sebagai menantu, Rumondang menurut saja. Ibu Mertuanya membawa sampai ke pelosok kampung. Melihat kondisi rumah serta penampakan orang pintar itu, Rumondang justru takut dan merinding. Sayang ia tidak kuasa menolak. Ibu Mertuanya terlibat pembicaraan dengan orang pintar itu. Tidak lupa mereka sudah membawa ayam jantan hitam belum bertaji sebagai syarat utama. Ketakutan Rumondang terbukti, orang pintar itu menyembur sekujur tubuh Rumondang dengan ramuan yang langsung dari mulutnya. Rumondang benar-benar ingin muntah. Ibu Mertuanya mendelik lebar. Rumondang hanya bisa pasrah. Setelah enam bulan berlalu, haid dari tubuhnya tetap keluar dengan lancar.

Bukan Ibu Mertua Rumondang namanya kalau tidak mencari cara lain. Kali ini Ibu Mertuanya meminta Rumondang membakar daster yang sudah ia pakai. Rumondang hampir gila dengan ide yang diterima Ibu Mertuanya. Kata Ibu Mertuanya, wanita hamil pasti mengenakan daster. Kata orang pintar dari desa lain yang telah ditemui Ibu Mertuanya, ada seseorang yang dendam pada dirinya sehingga ia mengutuk Rumondang agar sulit memiliki keturunan. Pasrah, Rumondang menyerahkan daster miliknya. Mereka berkumpul di halaman belakang karena diharuskan sama-sama membakar sesuai saran orang pintar itu.

Rumondang merasa lelah mengapa harus ia yang terus berkorban? Parulian bagaimana? Rumondang benar-benar memuncak. Rumondang meninggalkan Ibu Mertua, Parulian, dan tukang kebun di halaman belakang. Ibu Mertuanya sampai teriak memanggil namanya. Rumondang tidak perduli ia terus saja melangkah menuju ke kamarnya. Rumondang merasa gila dengan ide membakar daster miliknya. Rumondang membanting pintu kamarnya dengan sangat keras. Rumondang menangis sejadi-jadinya. Sebagai istri ia rela melakukan apa saja demi membahagiakan Parulian dan keluarganya. Kali ini Rumondang tersinggung, kenapa ia selalu pihak yang disalahkan? Mengapa Ibu Mertuanya tidak pernah melirik putranya? Rumondang menangis sejadi-jadinya.

Parulian melarang Mamak menemui Rumondang ke dalam kamar. Parulian tahu, Mamak masih ada perlu dengan istrinya. Barusan Mamak sempat mengutarakan niatnya untuk menemui tukang urut yang terkenal dapat mengubah posisi kandungan istrinya agar cepat hamil. Mamak ingin membahas itu dengan istrinya. Parulian meminta Mamak untuk menunggu di meja makan. Parulian tahu istrinya dalam keadaan kalut sekarang. Parulian tidak ingin menambahi kesusahan istrinya lagi. Parulian membuka pintu kamar pelan sekali.

Rumondang langsung berdiri begitu suaminya masuk ke dalam kamar. Rumondang tidak menghiraukan suaminya. Rumondang menyelinap dari sisi suaminya keluar kamar untuk menemui Ibu Mertuanya. Parulian menahan diri untuk tidak mengejar istrinya. Parulian tahu apa yang hendak Rumondang lakukan di depan Mamaknya. Parulian memilih berdiam di dalam kamar.

“Kamu itu satu-satunya menantu perempuan kami. Parulian anak tunggal kami. Kamu itu yang harus meneruskan garis keturunan keluarga ini, Rumondang?” kata Ibu Mertuanya lembut, “siapa lagi yang akan meneruskan warisan keluarga ini?”

Rumondang memilih diam. Sebenarnya warisan apa yang ingin mereka teruskan pada anaknya kelak? Memang apa harta milik Parulian yang akan diberikan pada anaknya? Parulian memang punya apa? Tanya Rumondang dalam hati. Gitarnya? Ah, bikin pusing saja. Dumel Rumondang lagi.

“Bisa jadi rahimmu bengkok sehingga kesulitan menerima sperma suamimu?” ujar Ibu Mertunya dengan gamlang. Rumondang mengangkat dagu. Rumondang benar-benar tersingung!

“Bagaimana kalau Parulian yang tidak mampu dalam hal ini?” cetus Rumondang tidak perduli.

“Apa? Kamu bilang apa? Maksudmu apa?” Ibu Mertuanya terbata-bata.

“Saya yang tahu siapa Parulian, Bu. Saya yang tahu kondisinya. Selama ini saya menerima dia apa adanya. Sekarang saya sudah tidak tahan lagi. Parulian lemah, Bu. Saya tahu karena saya istrinya. Saya diam, tapi kali ini saya perlu berkata jujur. Kita harus mengobati Parulian, Bu?” ratap Rumondang pasrah.

“Kau ngomong apa? Tidak mungkin ! Parulian itu tinggi tegap. Kamu lihat saja bentuk badannya. Parulian olahragawan sejati. Kamu pasti mengada-ngada!” tangkis Ibu Mertuanya.

“Agar tidak saling menyalahkan, kita ajak saja Parulian ke dokter. Ibu akan dengar sendiri dari dokter tentang kondisi Parulian?” pinta Rumondang.

“Aku tidak percaya dengan segala dokter. Mereka semua sok tahu juga sok pintar?” 

“Kenapa? Ibu takut apa yang saya utarakan tentang Parulian terbukti?”

“Sama sekali tidak! Baik! Saya akan menemui Parulian dan menanyakan dirinya langsung!” Ibu Mertuanya berdiri dengan amarah mencari putranya ke dalam kamar tidur mereka.

Rumondang tetap duduk dengan manis di meja makan. Pintu kamar memang tertutup setelah dibanting Ibu Mertuanya. Rumondang tidak perlu menguping. Suara Ibu Mertuanya terdengar melengking tinggi dengan sangat jelas.

 Sekarang giliranmu, Sayang! Batin Rumondang.   


***Tamat



                                                     

RICARDO MARBUN, kelahiran Jakarta, 27 Nopember. Lulusan Unesa. Menyukai menulis sejak tahun 2010. Karyanya dimuat di berbagai media nasional. Pemenang Utama Travel & Love tahun 2014. Satu Karyanya masuk dalam Kumpulan Cerpen Fakultas Sastra Universitas Negeri Yogyakarta. Pemenang Lomba Cerpen Preman dan Corona, ANP Books, 2020. Pemenang 2 Lomba Cerpen Narrative Writing, 2020, Pemenang 2, Lomba Cerpen Penulis Muslim, 2020, Pemenang 3 Lomba Cerpen Pejuang Antologi, 2020. Pengagum Budi Darma, Pramudya dan Mira W. Tinggal di Surabaya. Ingin menulis sepanjang hayat.



                                                     










     












0 Comments