Cerpen: Siluet di Mata Ibu Mertua

 

Morfeus publisher

"Saya nak kawin lagi, Ris! Dah lama saya hidup sendiri, saya kangen punya pasangan macam orang lain. Punya suami yang bisa jaga saya," Ibu mertuaku bicara di sela kepulan asap rokok yg dihisapnya.

Mas Haris, suamiku diam. Entah sudah untuk kali ke berapa beliau mengatakan hal yang sama. Dan itu bukan isapan jempol belaka, dua tahun yg lalu pun situasi seperti ini sudah pernah terjadi. Beberapa hari kemudian setelah percakapan serupa, ibu mertua membawa seseorang yang ia perkenalkan sebagai suami sirinya kepada kami. Namun itu tidak bertahan lama, dua bulan berselang, ibu membawa kabar kalau dirinya telah bercerai dengan suami sirinya. Karena mereka menikah di bawah tangan, proses perceraiannya pun tidak sesulit dan serumit pernikahan secara hukum pemerintahan.

 Begitulah, setelah kejadian itu ibu mertuaku kembali merantau ke negeri Jiran. Setahun berlalu, beliau kembali untuk menetap bersama kami. Mas Haris tentu saja merasa senang. Ibu memang sudah terlalu tua untuk bepergian jauh apalagi merantau di negeri orang. Mungkin karena terlalu sering beliau pergi merantau ke negeri tetangga itu, dialek dan aksen Melayunya sudah sangat kental.

"Macam mana awa' tak jawab tanya Ibu ini? Keberatankah awa?" Ibu menatap penuh selidik. 

Mas Haris memijat-mijat keningnya. Aku paham betul jika dia sudah melakukan gerakan seperti itu berarti Mas Haris sudah merasa jengkel, hanya saja suamiku itu tidak pernah menunjukkan rasa kesal pada ibunya.

"Bukan begitu, Bu! Hanya saja apa tak sebaiknya Ibu pikirkan kembali apa yg telah Ibu putuskan ini? Jangan sampai kejadian-kejadian yang lalu terulang lagi. Haris tidak mau Ibu kecewa."

"Ah, awa selalu begitu! Setiap saya cakap nak kawin awa selalu cakap macam tu, kalau awa keberatan cakap sajalah! Jangan seolah-olah peduli pada hari esok, mendahului Gusti Allah itu namanya. Belum tentu nasib perkawinan saya kali ini sama seperti perkawinan yang dulu-dulu."

Suasana diskusi sudah mulai panas. Mas Haris sepertinya merasa bersalah dengan apa yang ia ucapkan tadi. Ia menggigit bibir, Mas Haris memang anak yang penurut. Dia begitu sayang pada ibu yg melahirkannya begitu pula pada kedua orang tuaku yang juga adalah mertuanya.

"Ah Ibu, mau tambah kopinya? Saya buatkan lagi, ya?!" Aku mengalihkan pembicaraan mencoba mencairkan suasana.

"Tak usahlah. Awa sama saja macam suami awa tu, kalau saya cakap selalu tak peduli." Ibu sepertinya merajuk lagi. Kalau sudah begini, aku dan Mas Haris tidak bisa berbuat apa-apa. Kami sudah mengibarkan bendera putih untuk keputusan ibu mertuaku itu. Benar saja, seminggu setelah percakapan itu, ibu kembali membawa suami baru yang usianya jauh lebih muda darinya. Mas Haris hanya bisa mengelus dada.

Sering kali aku memergoki suamiku sedang menangis pada sepertiga malam terakhit yang sunyi, mengadu pada Tuhannya akan nasib yg dijalani sang ibu, ia berdoa agar suatu hari nanti ibu mertuaku itu mau merubah kebiasaanya dan kembali menjadi ibu dan nenek yang selama ini kami harapkan. Setiap melihat suamiku terpekur seperti itu, aku jadi merasa sedih. Tapi aku tak berani menghampirinya, ia akan merasa malu jika tahu aku memergokinya sedang menangis. Maka kubiarkan Mas Haris mengadu pada Tuhan sampai hatinya merasa lebih baik.

*

Tujuh bulan setelah keputusan ibu menikah kembali.

"Nak, saya dah pisah sama bapak tiri awa yg sekarang. Saya cape, sikapnya terlalu kekanak-kanakkan. Maunya dia, saya ikut apa yang ia cakap. Mula-mula saya coba tahan, lama kelamaan saya tak sanggup. Saya minta talak," asap rokoknya membumbung tinggi.

Mas Haris sebenarnya sangat benci pada asap rokok, tapi karena yang merokok adalah ibu, ia tidak bisa menegur. Mas Haris hanya memberi isyarat padaku agar Delima, buah hati kami kubawa pergi dari ruang tamu. Asap rokok memang tak baik untuk anak balita.

"Sekarang Ibu mau bagaimana?" Tanya Mas Haris pasrah.

"Entahlah, untuk sementara saya nak tinggal lagi di sini tak apa kah?" 

Mas Haris tersenyum, "Ya tak apa-apa lha Bu! Justru saya dan Ranti senang kalau Ibu mau tinggal di sini. Ranti jadi ada teman bicara bila aku sedang bekerja. Iya kan, Ran?" Mas Haris menoleh ke kamar kami, tempat aku waktu itu berada.

"Tentu, Bu! Saya senang Ibu mau tinggal lagi di sini, rumah jadi nggak sepi kalo Mas Haris kerja, Delima juga jadi ada teman main," jawabku mengamini ucapan Mas Haris. Ibu memuntir puntung rokok dalam asbak, Baranya mati meninggalkan kepulan asap yang masih membumbung yang kemudian hilang sebelum mencapai langit-langit.

Sudah sebulan ibu tinggal bersama kami, Delima senang bermain bersama neneknya, ibu selalu membawa Delima pergi ke tempat yang disukai anak-anak seusia Delima. 

*

Suatu pagi aku melihat ibu mertuaku sedang termenung di teras belakang rumah kami. Pandang matanya tertuju pada titik yang menembus benteng, kebun dan belantara di kejauhan. Ada pilu yang kulihat dari kilat cahaya yang tampak sekejap. Ia tak menyadari kehadiranku. Matanya tetap fokus pada sesuatu yang entah apa itu, kepulan asap rokoknya membentuk huruf o, menggeliat-geliat di udara pagi yang sejuk lalu hilang seperti hantu.

"Sedang melihat apa, Bu? Sepertinya serius sekali?!" Sapaku. Ibu tak bereaksi, hanya ekor matanya saja yang melirik sekilas padaku.

"Entahlah, macam saya tengok wajah almarhum Bapaknya Haris di balik tembok sana. Apa ini firasat saya nak pergi ikut dia?” bisiknya parau.

“Ah, Ibu ada-ada saja. Mungkin yg Ibu lihat hanya lumut yang seperti membentuk wajah seseorang.”

“Kau yakin saya hanya berhalusinasi?”

“Tentu! Kelihatannya Ibu lelah. Lebih baik istirahat saja dulu,” ucapku mengajak ibu mertuaku masuk.

Ibu menurut, aku merasa hari ini ibu mertuaku sangat berbeda. Entah apa yang sedang dipikirkannya, yang pasti beliau tidak seperti ibu mertuaku yang biasanya tak mendengar pendapat orang lain. Aku benar-benar merasa aneh dengan sikapnya hari ini.

*

“Bu, tolong! Untuk kali ini  dengarkan saya. Selama ini saya tak pernah membantah atau tak menuruti apa yang menjadi mau Ibu, saya selalu setuju setiap Ibu menginginkan sesuatu yang menurut saya kadang keterlaluan. Kali ini, saya mohon! Sekalii saja, dengarkan saya! Saya tidak setuju kalau Ibu menikah lagi. Pernikahan itu bukan untuk main-main, Bu! Yang jika sudah bosan mudah diakhiri lantas mencari pasangan baru, tidak sesederhana itu!”

Aku terkejut, ini pertama kalinya Mas Haris naik pitam. Belum pernah aku melihat dia semarah itu. Biasanya dia sangat penyabar. Ibu mertuaku juga sepertinya sangat terkejut dengan sikap Mas Haris, anak yang lembut dan tak pernah berkata tidak itu hari ini benar-benar berbeda dari biasanya.

“Terserah! Kalau Ibu tidak mau mendengar saya, saya tidak apa-apa. Toh selama ini bukankah Ibu memang tak pernah mau tahu apa yang ada dalam hati saya? Ibu tak pernah bertanya apa yang menjadi keinginan saya?! Kali ini cukup! Saya tidak mau Ibu bertindak sesuka hati lagi. Maaf!” Mas Haris pergi meninggalkan kami yang masih terkesima dengan yang baru saja terjadi.

*

Setelah kejadian itu, sikap Ibu jadi berubah, beliau tidak pernah bicara mengenai pernikahan lagi, bahkan Ibu yang biasanya menghabiskan satu bungkus rokok dalam sehari, sekarang sudah jarang terlihat merokok lagi. Aku sebenarnya senang dengan perubahan yang terjadi pada diri ibu, tapi dalam hati aku juga merasa sedikit takut dengan perubahan yang drastis dan sangat tiba-tiba itu.

Mas Haris sepertinya memiliki perasaan sama seperti yang aku rasakan namun sepertinya Mas Haris enggan untuk membahasnya. Ia tak mau kata-katanya nanti malah akan membuat hati ibu terluka. Mas Haris paham betul akan dosa bila membuat orang tuanya menitikkan air mata. Ia tak mau menjadi anak durhaka.

Suatu sore Mas Haris menghampiri ibu yang sedang duduk termenung di teras belakang. Garis tua di wajahnya terlihat sangat jelas belakangan ini. Biasanya ibu mertuaku itu tak pernah lepas dari riasan yang membuat dirinya tampak sepuluh tahun lebih muda dari usianya. Mas Haris bersimpuh di hadapan ibu, digenggamnya kedua tangan tua itu kemudian diciumnya dengan penuh perasaan bersalah. 

Mas Haris tahu perubahan sikap ibu itu terjadi karena bentakkan yang pernah ia katakan beberapa waktu lalu saat ibu berbicara mengenai niatnya untuk menikah lagi yang hanya berjarak tiga bulan saja dari perceraian terakhirnya.

Ibu mengelus rambut Mas Haris, tak sepatah pun kata keluar dari mulutnya. Beliau hanya terus mengusap-usap puteranya dengan tangannya yang gemetar. Aku terenyuh dengan pemandangan yang tengah kusaksikan. Tanpa terasa air mataku ikut menetes. Akhir-akhir ini ibu memang jarang sekali bicara, beliau baru akan bicara bila aku atau Mas Haris memancing percakapan, di luar dari itu ibu lebih sering diam.

Suasana rumah seperti berada di garis demarkasi, membuatku merasa tidak nyaman dengan keadaan seperti ini. Aku sering mencoba mengajak Mas Haris dan ibu untuk ngobrol bersama seperti sebelumnya, tapi hal itu tidak mencairkan suasana yang terlanjur membeku.

Hingga hari itu tiba, 

Ibu tiba-tiba saja menghilang, kami sudah kelelahan mencari keberadaan beliau tapi ibu tetap tak bisa ditemukan. Dua hari sejak kepergian ibu, seorang pegawai pos mengantar sepucuk surat yang ditujukan kepada Mas Haris, surat dari ibu mertuaku.


Kepada Haris anakku dan Ranti menantuku

Assalamualaikum...

Maaf jika selama ini ibu membuat kalian merasa tidak nyaman, ibu bukannya ingin mempermainkan pernikahan seperti yang kalian bayangkan. Ibu hanya sedang mencari sosok ayahmu yang mungkin bisa ibu temukan pada diri orang lain. Maaf ibu masih belum bisa mengikuti apa yang menjadi keinginan kalian.

Setelah ibu menemukan sosok seperti ayahmu, ibu janji akan berhenti!

Doakan ibu agar pencarian ini adalah yang terakhir. Ibu akan datang bersama jiwa ayahmu yang bersemayam dalam diri seseorang.

Wassalamualaikum....

Dari ibu yang ingin mempertemukanmu dengan jiwa ayahmu.

***Tamat

Ciater, 10 April 2021


Karya: N. Lilis Nuraeni (LiesNoor)

3 Comments

  1. Menohok endingnya Kak. Cerpen yang dikemas apik
    Good ^~^

    ReplyDelete
  2. Selalu suka baca karya-karya Neng Lilis, humanis sekali ❤️❤️

    ReplyDelete
  3. Sepenggal kisah kehidupan yang dikemas apik dengan kejutan di endingnya👍👍🙂

    ReplyDelete