Suamiku Perkasa. Bab 24

 

Judul: Suamiku Perkasa

Author: Blacksugar

©Morfeus Publisher


Bab 24


Sampai kantor, Roy langsung berlari menuju sofa tempat Gera biasa duduk menantinya dengan bosan. Roy terkekeh pilu mengingat bagaimana Gera yang kesal menemaninya. 

"Ge..." Suara Roy tercekat saat melihat kotak makan yang berisi brownise coklat yang Gera bawa tadi. 

Roy langsung memakannya. "Ini enak sekali, Ge. Seharusnya kau menyuapiku sekarang." 

Seorang Boss yang dingin dan kejam ini sekarang berubah melow hanya karena satu wanita. Ia ingin sekali mencari Gera, namun takut kalau ini bukan waktu yang tepat. 

"Lebih baik aku tidur disini saja dan menunggu kehadiran Gera besok pagi." Dengan keyakinan yang sebenarnya tidak ada, Roy meyakinkan dirinya bahwa Gera akan tetap bekerja untuknya esok pagi. 

"Ge..." Roy terus saja meracau menyebut nama Gera dan Gera. Ia lebih terlihat seperti orang yang kehilangan semangat hidupnya sekarang. Menyedihkan. 

***

"Sudah Papa bilang, bukan? Jangan meremehkan hidup. Semuanya berat." 

Ternyata Gera memilih untuk pulang ke rumah Papanya. Semoga saja Luis tidak mengikutinya. Karena selama ini Gera menyembunyikan identitas aslinya. 

"Pa, tolong hentikan. Gera lelah, Pa. Ingin istirahat." Gera memelas untuk masuk kamar. Malas dengan ocehan-ocehan mereka. 

"Masuklah ke kamarmu, Ge! Besok Papa akan meminta penjelasan darimu." Dengan malas Gera mengangguk.

Sudah lama sekali semenjak Gera memutuskan untuk hidup mandiri dan keluar dari gemerlap kekayaan ayahnya. Ia sama sekali tak nyaman dengan itu. 

Akhirnya ia bisa menumpahkan semua beban hidupnya selama ini di kamar dimana dulu ia sering menghabiskan waktu dengan mendiang Mamanya. 

"Ma, Gera rindu." Isak tangisnya terdengar sangat memilukan. 

Kamar yang begitu luas ini membuat Gera ingat bagaimana ia dulu. Rasa rindu yang menyeruak mengingatkannya pada mendiang Mamanya. Seseorang yang paling Gera sayangi. Bagi Gera hanya dia yang bisa mengerti dirinya.

"Mungkin besok Gera akan cari Mama. Sudah sangat lama, bukan? Gera tega banget nggak pernah menyempatkan waktu untuk menemui Mama." Ia berbicara seolah sang Mama ada di depannya. 


Suara isak tangisnya menggema di kamar besar ini. Gera merebahkan tubuhnya kelelahan hingga tertidur dengan jejak-jejak air mata yang masih tersisa di pipinya. 

Keesokan harinya....

"Nona Gera? Bangun, Non. Tuan menyuruh Non Gera untuk turun dan sarapan bersamanya." Salah satu karyawan disana berusaha membangunkan Gera yang masih tertidur lelap karena lelah. 

"Iya, Bi. Gera sudah bangun dan akan turun. Setengah jam lagi." Jawabnya dengan malas.

"Ta-tapi Tuan sudah menunggu Non Gera di meja makan." Pelayan itu masih berusaha membangunkan Gera. 

"Ini masih gelap, Bi. Sudah pukul berapa?"

"Sudah pukul 07.30, Non." 

"Apa?!" Refleks Gera terduduk.

"Yasudah, Bi. Bilang Papa Gera turun dalam 5 menit." Pelayan itu mengangguk dan berlalu dari kamar Gera. 

Gera bergegas ke kamar mandi dan segera turun. Disana Papanya sudah menunggu.

"Pagi, Pa." 

"Hei, sunshine! Papa kangen sarapan bareng seperti ini." Gera mengangguk mengiyakan Papanya. 

Selama ini Gera juga sangat ingin berkunjung. Tapi tak bisa. Gera hidup sendiri bukan berarti memutus hubungannya dengan sang Papa. Hanya saja Gera ingin mandiri dan malas dengan kehidupan Papanya yang jauh dari kata sederhana. 

"Ge, selama ini kerja dimana? Papa yakin kamu sudah lulus kuliah juga, 'kan?" Gera hampir tersedak dengan pertanyaan Papanya. 


"Sudah dong, Pa. You know what?" Pertanyaan Gera mengundang rasa penasaran sang Papa hingga membuat alisnya menyatu. 

"Gera lulus dengan predikat terbaik. Papa tidak bangga?" 

"Sure. Tentu saja Papa bangga. Kamu sudah mandiri, terbaik pula. Papa akan kasih kamu hadiah." Tidak seperti anak pada umunya, Gera tidak bersemangat mendengar bahwa ia akan mendapat hadiah. 

"No, Papa. Jangan lagi." Seolah Gera sudah bosan dengan kekayaan. 

"Why? Papa hanya ingin memberikanmu sebuah mobil. Bukan barang yang besar." David sudah tahu anaknya seperti apa. Ia akan menolak semua hal mewah yang ingin ia berikan untuk Gera. 

"Sekali saja, nak. Papa juga ingin memberimu hadiah." Sekarang jadi David yang memelas.

Gera menggeleng keras. "Tidak, Papa. Gera lebih bahagia hidup sederhana. Ada baiknya uangnya Papa tabung saja untuk keperluan masa tua Papa nanti." David sebenarnya sangat terharu dengan sikap anaknya yang sangat jauh dari kata menyusahkan.

David menghela napas berat. "Baiklah. Papa menyerah. Lalu dimana kamu berkerja untuk memenuhi kehidupanmu setiap hari? Papa ingin tahu." 

Deg! Gera terkejut mendengar pertanyaan Papanya. Ia harus menjawab apa sekarang? 

'Gera sekarang jadi asisten pribadi di sebuah perusahaan besar. Dan melayani nafsu buas Boss Gera jika dia ingin.' Nggak mungkin dong jawabnya seperti ini. Bisa-bisa Gera di kurung. 

"Hmm.. Gera.. Gera kerja di toko Pa. Lumayan untuk belanja kebutuhan sehari-hari." Terpaksa Gera membohongi David. 


"Boleh Papa tahu alamatnya? Biar Papa bisa mengunjungimu sekali waktu." 

Dengan cepat Gera menggeleng. "Gera tidak mau orang lain tahu tentang Papa. Ada saatnya mereka akan mengetahui itu semua." 

David hanya mengangguk. Ia sangat tahu anaknya seperti apa. Malas mengajaknya tawar menawar karena David sudah pasti akan kalah. 

"Ah ya, Pa. Mungkin Gera tinggal disini sedikit lama. Apa Papa tidak keberatan?" Sekali pun dengan Papa sendiri, Gera tetap harus mengutamakan etika. 

David mengangguk. "Sure. Papa senang jika itu benar terjadi." 

Sudah mendapat izin tinggal, Gera beranjak kembali ke kamar mewahnya. Sebenarnya ia sangat malas tinggal di rumah ini. Setelah mendiang Mamanya pergi, rumah ini jadi sangat sepi. 

"Bi, Bi Iem mana ya? Kok aku nggak lihat dari kemarin." Tanya Gera pada salah satu pelayan di rumah Papanya. 

Bi Iem adalah pelayan yang paling akrab dengan Gera. Bisa dibilang Bi Iemlah yang sering menemaninya dulu. Merawat dan melayaninya. Dia bisa menyesuaikan gaya bertemannya dengan Gera. Mengetahui bahwa Gera sangat benci jika dilayani seperti seorang putri. 

"Maaf, Non. Bi Iem sepertinya sedang keluar dan dia belum tahu Non Gera ada di rumah." 

"Jika dia pulang, tolonh suruh ke kamar ya, Bi." 

Di kamar, Gera menunggu kehadiran Bi Iem. Ingin menumpahkan segala cerita dan kisahnya selama ini. Ia sungguh tak sabar ingin bertemu Bibi tersayangnya itu. 

Tok... Tok... Tok....

"Permisi, Non." Seorang wanita paruh baya memasuki kamar Gera pelan. 

Ekspresi terkejut Gera lemparkan dan refleks dia menjerit. " Bi Iem! Aku kangen!" 

Dua insan beda usia itu berpelukan. Berbagi rindu satu sama lain. Bi Iem bahkan sampai menitikkan air mata harunya. 

Tanpa memunggu babibu, Gera langsung nyerocos bercerita ke Bi Iem. Kadang Bi Iem tertawa, kadang juga terharu memdengar kisah sederhana seorang Gera yang sebenarnya adalah anak seorang konglomerat.

"Cukup ceritaku, Bi. Apa ada yang ingin Bibi ceritakan tentang Papa?" Bi Iem cepat mengangguk antusias. 

"Apa Non Gera tahu perihal Tuan memiliki seorang kekasih muda?" 

Gera terkejut dan menatap Bi Iem kaget. "Benarkah, Bi?" Bi iem hanya mengangguk saja disiksa batin seperti itu. 


"Heem. Tapi, wanita itu terkesan sedikit angkuh, Non. Saya tidak yakin Non Gera bisa menerima wanita itu." Bi Iem menceritakan Gera sangat dramatis. Membuat Gera tertawa karena dirinya. 

Sedih sebenarnya. Gera merasa seolah Papa mengkhianati Mamanya. Walaupun sudah meninggal dunia. Tetap saja Mamanya tak tergantikan. 

Gera menghela napas berat. "Sudahlah, Bi. Biarkan saja. Itu mungkin menjadi hiburan untuk Papa agar tidak terlalu sepi.  Lagipula, kasihan juga Papa jika harus terlalu sibuk dengan pekerjaannya." 

Dari dulu Gera tidak pernah memaksakan kehendaknya baik kepada David atau pun Sarah, Mamanya. 

Hampir seharian Gera bercengkrama dengan Bi Iem. Bercerita ini itu hingga menceritakan tentang Roy. Bukan tentang dia yang ditiduri Roy. Namun perangai Roy yang Gera ceritakan pada Bi Iem. 

Tok... Tok... Tok....

"Ge, Papa akan ke kantor. Apa kau mau ikut sebentar saja?" Ternyata Papanya yang datang. Menawarkan agar Gera mau ikut.

"Untuk apa Papa?" 

David menggeleng. "Hanya ingin mengenalkanmu pada karyawan-karyawan Papa." 

"Papa sudah tahu jawaban Gera, bukan?" David mengangguk. Sudah pasti jawabannya tidak.

Penolakan Gera tidak membuat David kecewa apalagi marah. Karena itu hal yang sangat biasa sejak dulu. 

Sejak kepergian David, Iem juga pamit untuk kembali bekerja. Ia menyuruh Nonanya untuk beristirahat. 


'Roy bagaimana, ya?' batin Gera berbisik.

"Astaga! Aku ngapain sih mikirin dia? Hah? Cemburu? Big no! Nggak mungkinlah aku cemburu dengan pria seperti dia." 

Gera menggeleng keras menepis pikirannya yang tertuju pada Roy. Ia sebenarnya rindu dengan kelakuan Roy yang beberapa hari ini  sangat menyebalkan. 

"Gera, fokus! Disini kamu diam agar tidak bertemu apalagi memikirkan dia. So, stop it! Kamu hanya membuat otakmu lelah berpikir." Gumamnya pada diri sendiri. 

Hal lain yang membuat Gera tidak betah di rumah ini adalah karena ia tak bisa melakukan apapun. Segalanya dilakukan oleh para pelayan. Jadi membosankan. 

***

"Luis! Bagaimana bisa kau kehilangan Gera? Kau membuat kepalaku terasa ingin pecah!" Umpatan demi umpatan Roy lontarkan pada Luis. 

"Maaf, Boss. Malam itu saya sudah izin untuk memantau Nona Gera lagi. Tapi Anda yang mencegat saya dan menyuruh saya untuk menyaksikan wanita yang malam itu Boss siksa." Niat Luis mengelak, tapi ia lakukan dengan halus agar Tuannya tidak salah paham.

"Ini semua gara-gara wanita itu!" Seluruh isi ruangan itu hancur diamuk Roy. 

'Ge, seandainya kamu tahu kalau disini Roy sedang mengamuk karenamu. Semua jadi hancur karena emosinya.' Luis membatin sembari menyaksikan atraksi penghancuran oleh Bossnya. 

Kehilangan Gera membuat Roy mengamuk. Ia sangat marah pada Dewi yang dengan berani menganggunya malam itu. 

Roy terkekeh menertawakan dirinya sendiri. Ia teringat dirinya yang menunggu Gera di sofa itu hingga pagi. Namun yang ditunggu tak kunjung datang. 

"Jika berhenti, kau bahkan tak memberitahuku. Sekarang aku tak bisa berhenti memikirkanmu, Ge. Kau benar-benar membuatku gila, Gera. Kembalilah." Cicitnya berlutut. 

Setiap hari Roy menatap pintu ruangan itu dan membayangkan Gera datang dengan wajah kesalnya. Wajah malas karena selalu menemaninya hingga bosan. 

"Aku rindu itu semua." Gumam Roy tersenyum pilu. Sudah terhitung tiga hari Gera menghilang. Hebatnya, Roy tidak bisa menemukan jejak sedikit pun. 

Tok... Tok... Tok....

Seseorang membuka pintu ruangan Roy.

"Ada apa, Dinda?" Ternyata sekretaris seksi itu. 

Dengan langkah yang dibuat-buat Dinda menghampiri Roy. "Pak, jangan lembek dong." 

Dengan berani Dinda menyentuh dan merapikan kerah kemeja Roy yang nampak berantakan. Anehnya Roy hanya diam saja ketika disentuh. 

"Pak, boleh kutawarkan sesuatu? Kau pasti akan suka." Sekarang rambut Roy ia sentuh. 

Roy hanya diam ketika Dinda memainkan rambutnya yang mulai memanjang dan berantakan. 



Bab 25: Suamiku Perkasa. Bab 25

Bab 26: Suamiku Perkasa. Bab 26

0 Comments