Suamiku Perkasa. Bab 79

 


"Siapa kamu?! Tidak tahu sopan santun. Asal masuk rumah orang saja!" Bentak Ibu itu marah. Luis yang bertugas masuk sendiri tetap dengan pembawaannya, tenang. 

"Maaf, Bu. Saya hanya mau kemari dan menjemput anak dari Bos saya." Jawab Luis sopan. Wanita itu melotot. "Bos kamu siapa?" 

"Bos Roy." Mendengar jawaban Luis, Ibu itu langsung diam dan tegang. Seakan bibirnya tidak bisa digerakkan lagi. "Kenapa, Bu? Ada masalah?" Desak Luis mendekati Ibu itu. Smirk licik yang Luis tampilkan berhasil membuatnya semakin ciut. 

"Ternyata kamu yang membuat ulah!" Roy datang dari arah belakang dan mengepung Ibu itu bersama beberapa anak buahnya. 


"A-apa maksudmu? Jangan kurang ajar pada orang tua seperti itu!" Bentak Ibunya Sinta terbata-bata. 

Roy mendekati wanita tua itu dengan langkahnya yang begitu angkuh. "Kurang ajar? Dan orang tua kau bilang?! Tingkahmu saja tidak layak dikatakan dewasa. Itu perbedaan yang sangat jauh." Sisi kasar Roy mulai terlihat sekarang.

"Bu, tolong bekerjasamalah dengan kami. Jika tidak, Bos kami akan memanggil polisi jika Anda terus saja membantah dengan emosi." Salah satu anak buah Roy mencoba memberi penawaran dan itikad baik dengan si Ibu. 

"Panggil saja polisi! Aku tidak takut. Kalian ini brengsek semua! Beraninya keroyokan saja!" Bantah Ibu itu kasar. Melihat itu, rahang Roy mengeras. Wanita ini sangat menguji kesabarannya. 

Helaan kasar Roy terdengar jelas. "Baiklah, Luis, panggil polisi dan suruh masuk ke sini untuk meringkus wanita tidak tahu malu ini." Titah Roy diangguki Luis. 

Bukannya takut, Ibu itu malah makin menantang dengan sangat angkuh. "Kalian menuduh tanpa bukti yang jelas. Polisi tidak akan bisa berkutik denganku!" Ujarnya sombong. Ia menyilang tangannya di depan dada dan mendelik lalu memutar bola matanya malas. 

"Steve, tolong bawa Rico ke rumah sakit sekarang! Aku akan menelpon dokter Lucas untuk menangani Rico. Dan telpon Clay atau Luisa untuk membawa Gera menemui Rico di rumah sakit!" Suruhnya. Steve mengangguk dan segera membawa Rico yang sudah terkulai lemas. 

Betapa tersayat hatinya melihat anak bungsunya yang lemas dan pucat. Kepalanya berdenyut membayangkan apa saja yang wanita ini suntikkan ke dalam tubuh anaknya. "Cepat katakan! Apa yang kau lakukan pada anakku?! Katakan!" Bentak Roy. Ia menggeram marah. 

"Sialan, kau! Aku lebih tua darimu, anak setan!" Jerit wanita itu tak mau kalah. Mendengar dirinya disebut anak setan, emosi Roy semakin tersulut dan sudah siap meledak. Matanya merah dan menatap wanita itu nyalang. 

"Kau bilang aku anak setan, sedang kau sendiri tidak sadar jika kelakuanmu lebih rendah dari hewan!" Roy tak mau kalah. Apalagi ini sudah menyangkut keluarganya. 

Tangan Roy sudah mengepal keras. Hatinya terasa sangat panas menahan amarah yang sudah berapi di ubun-ubunnya. "Raden, cepat bawa wanita sialan ini pergi dan berikan hukuman. Jika tidak aku bisa menghabisinya di sini sekarang juga." Rahang Roy mengeras, tangannya mengepal, suara dengan napas beratnya benar-benar menandakan jika ia dalam keadaan marah besar sekarang.


"Heh! Kamu itu tidak memiliki bukti apapun! Jangan asal tuduh. Anak kamu  kutemukan tersesat! Seharusnya kamu berterima kasih padaku! Tidak tahu diuntung." Omelnya masih tak mau mengaku kalah. 

Berhadapan dengan wanita ini membuat Roy semakin lama semakin geram dan ingin mencincang kasar tubuh gempalnya itu. "Toni, nyalakan. Biarkan wanita ini mendengar bukti nyata yang kau temukan di sini. Raden, simak baik-baik!" Suruh Roy. Semuanya mengangguk dan menyimak. 

Toni memutar rekaman saat dirinya mendengar percakapan antara Ibu itu dengan entah siapa. Mendengar semuanya, wajah wanita tua itu berubah panik dan pucat pasi. "Kenapa? Takut? Masih mau mengelak? Bitch!" Umpat Roy kesal. Tapi ia sangat puas melihat bagaimana wanita itu takut akan dirinya sekarang. 

"Kenapa diam? Berbicaralah, sialan! Anak setan ingin mendengar omelanmu itu!" Bentak Roy. Semakin kesini ia semakin tak bisa mengontrol amarahnya pada wanita ini.

"I..itu bukan a...aku! Se...S...seseorang menyuruhku untuk melakukannya." Cicitnya. 

"Ah! Jangan banyak bicara! Bukti sudah ada, jelaskan semuanya nanti di kantor polisi saja! Telingaku sakit mendengar ocehanmu!" Bantah Roy mempermalukan wanita itu. 

Terdengar suara langkah kaki yang sedikit berlari. "Ibu, ini ada apa?" Tanya Sinta kaget melihat banyak pria di rumahnya. Terlebih ada Roy, mantan Bos besarnya. "Maaf, Pak. Ada apa ini? Tolong jelaskan pada saya!" Pinta Sinta dengan air mata yang sudah membasahi wajah ayunya. Ia tidak tahu kenapa ia menangis, hanya saja perasaannya sungguh tidak enak sekarang. 

"Tanyakan langsung pada Ibumu. Sudah tua, lupa usia! Jangan banyak tingkah, seharusnya kau diam saja dan menikmati sisa hidupmu!" Gerutu Roy memalingkan wajahnya. Ia malas menatap dua wanita yang kini mengemis-ngemis meminta ampun darinya. 

Luis menjelaskan semuanya pada Sinta, yang ternyata sejak kejadian Sinta pergi bekerja dan tidak tinggal di rumah. Betapa syok dirinya mengetahui rencana jahat Ibunya. Ia tak habis pikir. Sekarang ia tidak bisa apa-apa. Semua sudah terjadi. Dengan berat hati ia melepaskan Ibunya untuk diperiksa di kantor polisi. Ia harus bersikap bijak. Ini kesalahan Ibunya. Ia harus bertanggung jawab. 

Sementara Roy berlalu pergi dan terburu-buru menuju rumah sakit. 

***

"Sayang, bagaimana keadaan Rico?" Tanya Roy ketika melihat Gera duduk termenung di sebelah ranjang pasien. Dengan lesu Gera membalas tatapan Roy. Lalu menggeleng lemah. 

Roy mengerti betul bagaimana perasaan istrinya sekarang. Rasa lelah yang ia pikul dari Sumba hingga hatinya yang kacau karena kehilangan putra bungsunya. Roy sangat sadar bahwa Gera adalah istri sempurna untuknya. 

Ia biarkan Gera  istirahat dan tertidur di kamar rumah sakit bersebelahan dengan Rico. Sementara Gera terlelap, Roy pergi untuk menemui Lucas. Ia berniat menanyakan keadaan putranya. Karena sebelum tahu apa yang terjadi sebenarnya, ia tidak akan bisa tenang. 

"Luck, bagaimana kondisi putraku?" Tanya Roy saat ngopi bersama sang dokter. Lucas menghela napas berat. "Apa Gera tidak menceritakan semuanya padamu?" Tanya Lucas. Roy hanya menjawab dengan menggeleng. 

"Roy, kondisi Rico saat ini sedang dalam bahaya. Dia koma. Efek samping obat tidur yang terlalu berlebihan. Sepertinya Rico sudah beberapa kali mendapat suntikan obat tidur. Tapi aku berjanji padamu, aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan Rico. Bagaimanapun juga dia adalah keponakanku." Terang Lucas. Ia tidak bermaksud membuat Roy khawatir. Namun jika ia menyembunyikan semuanya, itu sama saja dengan berbohong. Seperti ini akan lebih baik. Segala sesuatu akan lebih mudah dikomunikasikan, pikir Lucas. 

"Brengsek! Wanita itu akan menanggung akibatnya!" Roy menggeram dan mencakar kursi kayu tempatnya duduk sekarang. 

"Roy, jangan gegabah. Bisa saja wanita itu memang disuruh oleh seseorang yang sudah pasti memusuhimu. Kau harus mencari kebenarannya dulu sebelum bertindak. Jangan asal semau saja!" Lucas tahu sifat Roy yang keras seperti apa. Maka dari itu, ia merasa harus mengingatkan Roy akan tindakannya. 

Tatapan tajam Roy menggambarkan dendam yang sangat besar. Pantas saja wanitanya murung dan sedih. Putra mereka dalam bahaya. Ia juga merasa terpuruk menghadapi kenyataan yang seperti ini. Kenapa masalah selalu saja menimpa mereka. Kejadian ini dengan terpaksa membuat rencana pernikahan Gera dan Roy ditunda dulu. Tak apa, batin Roy. Putranya yang harus diutamakan sekarang. 

"Siapapun dalang dibalik semua ini, aku berjanji tidak akan mengampuninya." Roy bersumpah pada dirinya sendiri untuk menghukum siapa saja yang sudah dengan sangat lancang membahayakan putranya seperti ini. 

Setelah puas menangisi semua ini, Roy kembali menemui Gera di ruang rawat Rico. "Sayang, kau harus kuat. Rico anak yang cerdas dan hebat. Sudah pasti dia anak yang kuat! Kau tidak dengar apa yang kakak-kakaknya katakan? Dia sepertimu. Tangguh dan penuh kebaikan. Berhentilah menangis. Jika Rico tahu, ia akan ikut sedih, sayang." Roy berusaha menenangkan Gera dan menyeka lembut air mata wanitanya itu. "Kau harus kuat agar Rico juga ikut kuat. Kau semangat untuknya!" Tambah Roy sambil memeluk Gera erat. Sesekali ia mencium kening Gera lembut. Berharap wanitanya akan berangsur tenang. 

Malamnya Roy pulang untuk menemui dua putranya yang tentu saja masih bersedih di rumah David. Bagaimana jika mereka tahu kondisi Rico, pasti akan semakin sedih. Tapi Roy harus jujur dan menghadapi mereka. Terutama David dan Luisa. 

"Kids, Papa pulang..." Seru Roy memanggil anak-anaknya yang sedang berguling-guling malas di sofa ruang tamu. Mendengar Papanya memanggil, dua anak itu langsung terkesiap dan berdiri. Menyerbu Roy dengan pelukan kecil mereka. "Papa, dimana Rico?" Tanya Ray langsung. 

"Rico sudah ditemukan, sayang. Hanya saja masih perlu perawatan di rumah sakit." Terang Roy. 

"Bagaimana bisa di rumah sakit, Pa? Rico terluka?" Giliran Rio yang bertanya. Roy tersenyum miris. "Orang jahat itu membuat Rico sakit. Tapi sekarang sudah dirawat oleh Paman Lucas. Mama juga sudah menemani Rico di sana." Tutur Roy. 

"Kami juga ingin ke sana, Papa!" Seru Rio diangguki Ray. 

Roy mengerti bagaimana rindunya mereka pada Rico yang sedang terbaring di rumah sakit. Hanya saja Roy tidak mau mengambil resiko lagi. Anak-anaknya dalam bahaya sekarang. Sementara dia saja belum tahu pelaku dibalik hilangnya Rico. "No. Kalian tetap di sini bersama Kakek dan Tante Luisa. Akan lebih aman jika tetap di rumah. Papa janji akan membawa Rico pulang secepatnya. Deal?" Roy menunjuk pipinya agar dicium oleh dua anak menggemaskan itu. 

Cup!

"Pinter! Sekarang ayo kita tidur. Papa sudah rindu ingin membacakan kalian dongeng." Roy sengaja seperti ini, hitung-hitung untuk menghibur anak-anaknya. 

Setelah si duo kembar tertidur lelap, Roy segera keluar dan menghubungi Raden. Ia ingin menanyakan kelanjutan kasus ini. Semoga saja sudah menemukan titik terang. 

"Bagaimana, apa kau sudah menemukan titik terang?" Tanya Roy. Ia urung menghubungi Raden. Roy mengunjungi Raden ke kantor polisi saja. Akan lebih jelas berbicara langsung. 

"Ibu itu sudah mau jujur siapa dalang dibalik semua ini setelah kami mendesaknya dengan berbagai alasan. Ini sedikit sulit untuk dipecahkan, Roy. Tapi tidak akan lama, semua akan terungkap." Tutur Raden yakin. 

Roy memainkan rahangnya yang sudah ditumbuhi bulu-bulu halus. Sembari berpikir, ia memejamkan mata. "Jadi sepertinya ini adalah ulah salah satu orang yang memusuhiku?" Tanya Roy. Raden mengangguk, "itu bisa saja benar, Roy." Jawabnya. 

"Sepertinya ini semua sudah direncanakan dengan matang. Tapi siapa yang memusuhiku hingga sekejam ini?" 

0 Comments