Suamiku Perkasa Bab 78

 

Novel suamiku perkasa

"Apa?!" Pekik Roy langsung berdiri. Gera menggelengkan kepalanya lemah. Tangisnya pecah, ia terduduk lemas di sofa. "Tidak mungkin, Bi. Bagaimana bisa itu semua terjadi?" Gera benar-benar tidak percaya akan apa yang ia dengar hari ini. 

Roy menggendong Gera yang kini sudah terjatuh pingsan. Ia membawa Gera menuju kamar dan menyuruh Iem untuk menjaga Gera ketika dia pergi. Rencananya Roy akan mencari Luis terlebih dahulu. Menanyakan kronologi sebenarnya seperti apa.

Dengan kecepatan tinggi Roy menyetir mobilnya. Bahkan ia sudah tidak peduli jika ada polisi yang mengejarnya. Anaknya bisa saja sedang dalam bahaya sekarang. "Siapapun pelakunya, aku tidak akan memberi ampun. Apapun alasannya. Dia sudah sangat berani mengacaukan hidup anak-anakku." Roy menggeram hebat dan membanting kasar tangannya ke setir mobil. 

Sampai di rumahnya, terlihat semua anak buahnya dan juga anak buah David sudah berkumpul di sana. "Luis, bagaimana semuanya terjadi?!" Tegas Roy bertanya. 

"Kenapa kau tidak menghubungiku sejak kemarin?! Astaga!" Geramnya sambil mengacak kasar rambutnya. 

"Maafkan saya, Bos. Kami sama sekali tidak terpikirkan kesana karena sibuk mencari dimana Rico berada." Jawab Luis tunduk. 

Roy sangat syok mendengar cerita Luis mengenai kronologi kejadiannya. Terlebih ketika Luis menceritakan kalau hal ini kemungkinan adalah ulah oknum yang memusuhinya. 

"Saat Ray memberitahumu ciri-ciri orang itu, bagaimana rupa wanita yang bersama Rico?" Tanya Clay tiba-tiba datang dari arah belakang. 

"Ray mengatakan kalau wanita itu sudah lumayan tua jika dilihat dari ubannya. Berperawakan pendek dan sedikit gemuk. Yang paling Ray ingat, dia bilang Ibu itu mempunyai tompel yang cukup besar dibagian Pipi kanannya." Papar Luis. Clay hanya mengangguk-angguk sambil berpikir. 

Roy kesana-kemari menanyakan bagaimana hasil pencarian ke anak buahnya. Ia semakin menggila saat dikabari bahwa anaknya belum makan sejak kemarin. 

"Roy, sepertinya aku mencurigai satu orang. Dan yang pasti kemungkinan orang itu memiliki masalah denganmu." Tutur Clay dari belakang Roy. Ro berbalik dan bertanya, "Siapa yang kau maksud?" 

***

"Mama! Maafkan Ray. Ini semua salah Ray yang tidak bisa menjaga Rico." Tangis Ray pecah saat pulang dan menemui Mamanya yang sudah menangis sesenggukan. Gera sudah tersadar dan kini sedang duduk gelisah di ruang tamu. Iem melarangnya untuk terlalu banyak bergerak. 

"Tidak, sayang. Jangan berkata seperti itu. Kalian sama sekali tidak salah. Orang lain sengaja menjebak kita seperti ini. Tenanglah. Rico akan segera pulang dan kembali bermain bersama kalian." Sebisa mungkin Gera menenangkan kedua anaknya. Ia peluk Ray dan Rio dengan sangat erat. 

"Berhentilah menangis, sayang. Kalian harus tenang." Gera mengelus lembut kepala anaknya. Dadanya terasa sesak menahan tangis karena harus membuat Ray dan Rio tenang. 

Saat dua anaknya berhasil tidur, Gera menemui David. Dengan berat hati David menceritakan semuanya pada Gera. Membuat putrinya lagi-lagi mengeluarkan air mata. "Izinkan Gera ikut mencari Rico, Pa." Pinta Gera lirih. Namun David menolak keras. 

"Ray dan Rio membutuhkanmu di sini, nak. Jangan pergi." Kata David.

Beberapa saat berbicara dengan David, Gera memutuskan untuk keluar dan menemui anak-anaknya kembali. Namun saat Gera melewati ruang tamu, langkahnya terhenti. "Luisa." Lirih Gera. 

Luisa berlari dan memeluk Gera. "Ge, maafkan aku. Ini semua terjadi karena keteledoranku. Aku yang lalai dalam menjaga mereka. Maafkan aku, Ge." Luisa terisak mengingat semua yang sudah terjadi. Gera menggeleng dan membalas pelukan Luisa.

"Jangan berkata seperti itu, Luisa. Kau tidak salah. Tenanglah." Hibur Gera mencoba tegar.

Mereka hanya bisa menunggu berita dari Roy dan juga yang lainnya. Bahkan hari sudah beranjak malam. Di luar juga sudah sangat gelap. 


"Clay!" Pekik Gera saat melihat Clay datang dengan tergopoh-gopoh. "Aku kira yang datang Roy membawa Rico." Lirih Gera sedih. 

"Hei, tenanglah! Mereka sedang pergi mencari Rico sekarang." Hibur Clay. 

"Aku cemas, apakah dia baik-baik saja di sana?" Cicit Gera lirih. Luisa hanya bisa meratapi kebodohannya dengan menunduk. Isak tangisnya terdengar sangat jelas. Clay memeluknya dan berusaha menenangkannya seperti seorang saudari. "Aku tahu bukan kau yang salah, Luisa. Tenanglah." Bisiknya lirih. 

"Kalian pasti tahu, Rico adalah anak yang sangat cerdas. Persis seperti kau dan Roy." Ujarnya sambil mengelus lembut punggung Gera. Wanita itu hanya mengangguk. 

Ia tak habis pikir, bagaimana bisa orang itu dengan sangat tega menculik anaknya. Rico masih sangat kecil. Jika memang penculiknya hanya menginginkan uang, lalu untuk apa dia menyembunyikan Rico hingga berhari-hari. 

***

Roy dan anak buahnya sudah berpencar. Luis juga menyarankan agar Roy menyuruh beberapa polisi untuk meringkus pelaku. "Tapi tunggu dulu, Luis. Kita masih perlu beberapa bukti lagi untuk memperkuat tuduhan." Bantah Roy. Luis mengangguk, ia tidak terpikirkan sampai kesana. 

"Suruh siapapun yang sekiranya tidak dikenal oleh Sinta dan juga Ibunya. Pura-pura untuk mampir dan numpang ke kamar kecil. Lalu lihat keadaan di dalam rumah itu." Titah Roy diangguki Luis. Segera Luis menelpon salah satu anggota yang ikut mencari untuk segera menyamar dan mengunjungi rumah Sinta.

Beberapa menit kemudian, Luis memberitahukan kepada Roy bahwa Toni sudah di depan rumah Sinta. Ia akan menyamar sebagai pekerja listrik, karena memang dialah yang ahli dalam hal ini. Dengan begitu, akan memudahkan rencana mereka juga. Toni juga akan memiliki lebih banyak waktu tanpa harus dicurigai oleh seisi rumah. Roy juga sudah mengizinkan rencana Toni. 

Roy juga sudah memasang alat penyadap suara dan juga beberapa kamera yang terpasang di pakaian juga alat-alat kerjanya. Itu semua sudah otomatis terhubung dengan laptop yang sudah Toni sediakan bersama Roy. Sementara Toni bekerja, Roy mengintai dari kejauhan sembari menyimak video yang terekam langsung dari kamera juga penyadap suara. 

Sejauh ini rencana Toni masih berjalan lancar. Ia sengaja merusak salah satu sambungan listrik agar bisa terkesan benar-benar memperbaiki sesuatu di sana. 

"Bos, bagaimana ini? Aku sudah muak dengan anak ini. Memberikannya obat tidur saja membuatku bosan. Kenapa tidak sekalian menghabisinya saja. Lalu setelah itu kita bakar untuk menghilangkan jejak." Ujar seorang wanita, dengan samar-samar Toni bisa mendengarnya. 

"Untuk apa?! Ini sudah sangat lama. Jika pria menjengkelkan itu tahu, bisa mati aku!" Serunya lagi jengkel. 

"Dia sangat rewel jika sudah sadar. Kau mau menyiksaku?! Jika kau tidak mengambilnya besok pagi dan memberi imbalan untukku, aku akan menaikkan tarifnya." Terdengar wanita itu membuat tawaran. 

"Baiklah. Kalau begitu aku akan memberinya obat tidur dengan dosis tiga kali lipat. Arrghh! Aku muak mendengarnya menangis. Kalau tidak memikirkan dendamku pada si Roy brengsek itu, aku tidak akan sudi menculik apalagi menyentuh anaknya ini. Sialan!" Omelnya. 

Selesai mendengar pembicaraan Ibu itu, Toni segera pamit pergi karena pekerjaannya sudah selesai. "Tunggu sebentar, aku akan memberimu upah agar kerjamu tidak sia-sia." Ujar si Ibu berjalan masuk menuju sebuah ruangan yang menurut Toni adalah kamar Ibu itu. 

Ini adalah saat yang tepat untuk Toni masuk ke dalam kamar tempat si Ibu itu berbicara tadi. Betapa terkejutnya Toni melihat siapa yang tertidur di ranjang kamar itu.  "Hei! Sedang apa kau di sana?!" Bentak Ibu itu mengejutkan Toni. "Maaf, Bu. Saya hanya melihat kemana arah sambungan ini." Jawab Toni tenang. Untung saja dia sudah berhasil mengambil gambar seseorang yang tertidur di ranjang itu. Setelah selesai dengan pengintaiannya, Toni segera berlalu pergi. 

***

"Sialan! Ternyata dia pelakunya. Dia yang sudah dengan sangat lancang menculik anakku!" Roy sangat murka dengan tindakan Ibunya Sinta. 

Wajah pria itu memerah, tangannya pun mengepal keras. Melihat siapa pelakunya, membuat tekadnya semakin kuat untuk menghukum orang yang dengan sangat berani menganggu hidupnya. "Lihatlah apa yang akan aku lakukan untuk membalasmu, sialan!" Geram Roy marah besar. 

"Apakah Anda sudah mendengar semua pembicaraan wanita itu dengan jelas, Bos?" Tanya Toni. 

Roy nampak berpikir. "Wait! Aku kira tidak ada pembicaraan penting selain terkait penyamaranmu tadi." Kata Luis bingung. 

"Bos benar, Ton. Kami hanya fokus pada videonya saja. Karena suaranya entah kenapa putus-putus bahkan tidak terdengar. Mungkin karena jangkauan yang terlalu jauh membuatnya tidak bisa terdengar jelas." Luis menimpali, melengkapi kalimat Roy yang masih gantung. 

Toni mengacak rambutnya kasar. "Astaga! Percakapannya sangat penting, Bos. Andai saja Bos bisa mendengarnya." Toni mengerang. Untung saja ia menyiapkan rekaman untuk jaga-jaga jika dibutuhkan sebagai barang bukti. 

Roy segera mengambil alat perekam itu dan mendengarnya langsung. Luis juga ikut mendengarkan melalui earphone. "Sial!" Roy menggeram kesal mendengar percakapan itu. 

"Bos, ini artinya kita harus secepatnya membawa Rico pergi dari sana. Bahaya jika kita menunggu besok. Itu akan beresiko tinggi." Luis mencoba memberi gambaran pada Roy menurut apa yang ia simpulkan dari rekaman tersebut. 

Roy mengangguk. "Kau benar, Luis. Beri aba-aba untuk kumpul sekarang. Di sini." Perintah Roy tegas. 

Saat semuanya sudah siap, mereka langsung berangkat menuju rumah Sinta untuk menjemput Rico. Luis sengaja memberi perintah untuk berhenti beberapa meter sebelum sampai di rumah Sinta. Roy memberikan kepercayaan untuk memimpin misi ini pada Luis. 

"Mas, ini ada apa, ya? Kenapa ramai sekali?" Tanya salah seorang ibu. Ternyata tindakan mereka ini mengundang rasa penasaran warga sekitar. Karena tidak sedikit yang menonton mereka dengan wajah sangat serius. "Maaf menganggu, Bu. Kami hanya melakukan latihan patroli saja." Jawab Luis setenang mungkin agar mereka tidak curiga dan menjadikan misi ini menjadi tontonan publik.

Beberapa tinggal di mobil, dan sebagian lagi mengikuti Roy menuju rumah itu. Seperti rencana awal, mereka akan melibatkan satu atau dua orang polisi agar tidak menjadi penyerbuan tanpa perintah. 

"Aku benar-benar tidak sabar ingin menghukum wanita sialan itu!" Geram Roy.

 Pintu terbuka, namun tidak ada dia di sana. Mereka memanfaatkan hal tersebut untuk segera menerobos dan membawa Rico pergi. Saat melihat bagaimana kondisi Rico yang terbaring di atas ranjang, Luis hendak membawa Rico pergi, "Hei! Siapa kau?!" 

0 Comments