Suamiku Perkasa. Bab 81



 "Roy, kau akan sangat terkejut jika mendengar ini!" Belum juga duduk, Raden sudah membuat Roy semakin penasaran dengan informasi yang sudah mereka dapat. Tatapan bingung Roy menghentikan langkahnya otomatis. 

"Duduklah, dan tenang. Kau akan mendapatkan jawabannya sekarang!" Ekspresi wajah Raden tidak bisa digambarkan. Ada senyuman tetapi juga ada raut wajah kaget dan cemas di dalamnya. 

Dengan perasaan berdesir Roy mendudukkan bokongnya dengan tenang. "Katakan saja langsung, Raden!" Desak Roy sudah tak bisa menahan rasa penasarannya. 

"Kau ingat pria bernama Deri yang beberapa hari lalu terlacak oleh kepolisian?" Roy mengangguk. "Anak buahku, Toni juga berhasil melacak dan menemukan nama yang sama." Tutur Roy dengan tampang seriusnya. 

"Oke. Sekarang, tim sudah berhasil menyelidiki sosok bernama Deri yang kau bilang kau sama sekali tidak mengenalnya."

"Roy, dia suruhan musuhmu. Kau ingat Devan? Dia yang memberi perintah pada Deri. Dan ternyata Deri ini adalah adik kandung Devan yang memang tidak dikenal publik. Secara tidak sadar, dia memang rajin menjumpai Devan di penjara." 

"F*ck!" Umpat Roy geram. "Lalu apa tindakan selanjutnya?" Tanya Roy kaku. 

"Maaf, Roy. Mungkin kau akan sedikit kecewa. Ibunya Sinta akan dibebaskan karena dia tidak tahu menahu masalahmu dengan Devan. Dia hanya menginginkan imbalan yang diberikan Devan jika berhasil menculik anakmu saja." Terang Raden. Ia mengerti betul bagaimana perasaan Roy. Kawannya ini paling tidak suka jika harapannya pupus begitu saja. Tapi mau bagaimana lagi, ini adalah perintah hukum.

Roy mengerang lemas. "Den, kamu tahu sendiri Ibu itu sudah mencoba melenyapkan Rico. Bagaimana hukum bisa tidak adil seperti ini sih?!" Dengan kasar Roy menggebrak meja Raden. 

"Maaf, Roy. Semuanya bukan kehendakku. Kau tahu itu!" 

"Oke. Aku akan diam perihal wanita tua itu. Tapi tolong, tindak lanjuti seadil-adilnya Devan juga saudaranya. Aku tidak mau tahu.  Jika tidak, aku yang akan menghukumnya setimpal." 

Dengan hati bergemuruh keras Roy pergi meninggalkan Raden begitu saja. Raden yang memang sudah tahu watak Roy, ia tak mau mengganggunya saat sedang marah. Bisa fatal akibatnya. 

"Bos, ada apa?" Tanya Luis saat merasa ada yang tidak beres dengan Bosnya. 

"Diam, Luis! Ini semua kacau. Kacau! Wanita sialan itu akan diberi kebebasan begitu saja. F*CK!" Roy memekik keras. Cermin di depannya retak karena ia pukuli hingga membuat buku-buku jemarinya berdarah. 

Luis sendiri tidak bisa berkata macam-macam saat Roy sedang seperti ini. Ia harus diam dan menelan semua umpatan yang Roy lontarkan walaupun itu memang bukan untuknya. "Apa yang harus aku lakukan, Luis?!" 

Betapa terkejutnya Gera saat melihat Roy datang dengan tangan yang meneteskan darah segar. Deras sekali hingga menetes dan berceceran di lantai. "Astaga, Roy! Apa yang terjadi?!" Pekikan Gera terdengar sangat nyaring di rongga telinga Roy. 

"Kenapa kau sangat heboh? Ini sudah biasa, sayang. Kau berlebihan." Timpal Roy dengan geraman ringannya. "Jangan berbohong padaku! Kau kira aku baru mengenalmu? Beritahu aku kenapa tanganmu sampai seperti ini!" Suruh Gera. Ia fokus mengobati Roy dan membalutnya dengan perban agar tidak terkena barang keras. 

Tidak mau menjawab, Roy memilih untuk mengecup lembut bibir Gera. Menahannya, dan mencoba membuka akses untuk masuk ke dalam bibir ranum itu. Gera sadar, posisinya sekarang harus menghibur Roy. Mungkin dengan cara bercinta, perasaan pria ini akan sedikit lebih tenang. 

Decakan dan lumatan terkesan erotis memenuhi ruangan. Dua insan yang sedang bercumbu semakin terbuai oleh nafsu. Ciuman mereka semakin dalam dan membuat Gera terbawa. Ia membalas lumatan demi lumatan yang Roy berikan, sesekali menggigit kecil bibir berisi itu membuat si empunya semakin terbakar gairah. Sesapan mereka menjadi semakin intens saat lidah satu sama lain saling membelit dan bersatu, bertukar rasa dan bersama-sama menelan nikmat. 


"Roy, kau membuat diriku terasa seperti terbakar. Bolehkah aku meminta lebih?" Bisik Gera. Matanya sudah berkabut nafsu. Akalnya dikuasai gairah yang membara. 

"As your wish, baby!" Balas Roy. 

Tubuh Gera terbalik karena dibanting sedikit keras oleh Roy. Namun hal itu membuat Gera tertawa ringan, tentu saja begitu, ia sudah sangat bernafsu hingga lupa akal sehatnya. "Kau benar-benar berhasil menggodaku, Nona!" Seru Roy dengan geraman seraknya. Ia berdiri dan segera melepas celananya, ia sudah tidak tahan karena selangkangannya terasa sangat sempit akibat miliknya yang sudah menegang sempurna. 

"Wow! Sangat kokoh, Roy." Gumam Gera sambil memainkan batang rudal Roy yang mengacung sempurna bak sedang menodongnya dengan pistol. "Tentu saja. Dan batang besar ini sudah siap untuk mengoyak dinding ketatmu itu, sayang." 

"Kau nakal, Roy! Tapi sangat seksi. Aku menyukainya." Goda Gera lagi. Roy sangat tidak menyangka Gera akan berkata seperti itu. Wanitanya kini berubah menjadi sedikit nakal. Hal itu mengundang senyum tipis yang membuatnya terlihat sangat tampan. 

"Wah, rupanya kau sudah pintar menggoda sekarang. Kau juga sangat menggoda, sayang."

Dalam sekali hentakan baju Gera sudah sobek di tangan Roy. Ia melemparnya ke sembarang arah, menyisakan bra warna soft pink yang membungkus sempurna gunung bulat yang menggoda itu. Tak tahan, Roy segera membuka paksa hot pants Gera tanpa meninggalkan kelembutan. Celana dalam juga bra dengan warna senada dilempar begitu saja oleh Roy. Menampilkan pemandangan yang membuat mata Roy tak bisa berpaling setiap kali melihatnya. 


"Eunghh...." Gera melenguh pelan saat Roy berhasil menjilat bagian leher jenjang Gera. Itu sangat geli, tapi membuat candu. Tangan Roy mulai berkelana mencari mainan hingga sampai pada gunung kembar milik Gera. 

Lenguhan dan desahan Gera tak henti-hentinya lolos dan memenuhi ruangan. Roy benar-benar membuatnya gila. Ia sangat pintar memancing gairah Gera hanya dengan sentuhan dari tangan dinginnya. "Kau tahu, aku sangat suka jika disentuh olehmu, Roy. Rasanya seperti melayang tinggi." Bisik Gera. 

Bibir mereka saling memagut satu sama lain. Saling mencecapi semakin dalam dan membuat libido mereka memuncak. "Roy, masuki aku, babe!" Gera memelas dengan mata teduhnya yang sudah dipenuhi kabut gairah. Ia merasakan miliknya sudah sangat basah sekarang. 

Hingga 4 ronde, Roy masih bertahan dengan permainannya. Mengoyak dengan sisa-sisa tenaga. Lenguhan panjang Roy lolos karena sudah mencapai puncak kenikmatan. Ia merebahkan diri di sebelah Gera. Napas mereka yang tersengal bersahut-sahutan. Saling memuji satu sama lain, dan mengutarakan kerinduan yang teramat menyiksa selama ini. 

"Aku tak sabar untuk acara pernikahan kita, Roy." 

"Same. Aku ingin melihat anak-anak bahagia dengan cara yang utuh." Timpal Roy. 

Puas bercengkrama dengan gairah yang membara, mereka akhirnya memilih untuk istirahat. Besok Gera dituntut untuk datang ke kantor karena sudah lumayan lama tidak bekerja. Tapi hal itu tentu saja akan mengundang emosi Roy jika tahu. Ia harus memikirkan dari sekarang, bagaimana cara membujuk Roy. 

***

 Sore hari Roy pulang untuk menemui anak-anaknya dan juga Gera. "Kids, Mama kalian dimana?" 

"Bekerja, Papa." Jawab Ray riang. 

"Biasanya jam segini seharusnya Gera sudah pulang. Tapi ini sudah telat 30 menit, Roy." Jawab Luisa sembari melihat jam tangannya. 

Roy terdiam, ini harus diluruskan. Bukan maksudnya Roy mencurigai Gera, hanya saja ia tidak suka jika seorang wanita harus bekerja apalagi sampai lembur. Terlebih wanitanya. 

"Hai, kids! Mama pulang!" Seru Gera dari pintu utama. Langkahnya terhenti saat melihat Roy juga ada di sana, dengan ekspresi datarnya. Gera tahu maksudnya apa. 

"Masuk kamar, aku ingin membicarakan sesuatu denganmu." Titah Roy mendahului Gera. 

Jantung Gera berdegup cukup kencang. Ia tahu apa yang akan terjadi sekarang. Mentalnya harus siap, ia harus bisa menghadapi Roy. 

"Duduk!" 


"Roy, kapan kau kemari?" Tanya Gera berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia tersenyum lembut di depan Roy, namun Roy tahu, itu adalah senyum lelah Gera. 

Tidak langsung berbicara, Roy hanya menatap Gera tajam. Mata hitamnya terlihat membara sekarang. "Roy, ada apa?" Cicit Gera bertanya, ia takut menatap Roy. 

"Kau bilang ada apa?! Ge, sudah kubilang berhenti bekerja. Jangan ke kantor lagi! Anak-anak butuh kamu! Aku juga butuh kamu!" Bentak Roy membuat Gera semakin menundukkan kepala. 

Gera mencoba menyentuh Roy dan membujuknya agar tidak marah dan terdengar oleh anak-anak mereka, tapi Roy menepis tangan Gera dengan kasar. "Roy, ini hal wajar. Tolong, jangan marah." Bujuk Gera lembut. 

"Apa maumu?!" Roy menggeram dan memelototi Gera. Ia meremas tangan Gera. "Aw!" Roy panik saat Gera memekik kesakitan. Dilihatnya tangan Gera, jemari-jemari itu kemerahan. 

"Jelaskan padaku ini karena apa!" Suruh Roy. Ia kasihan melihat Gera, tapi dia juga kalah akan emosinya yang marah melihat Gera bekerja sampai sesore ini. 

"Aku cuma sedikit lelah karena harus mengetik beberapa lembar, Roy. Jangan cemas. Aku tidak apa-apa." Gera masih bisa berbicara lembut untuk melawan Roy. 

Roy mengacak rambutnya kasar. "Berhenti bekerja!" Gumam Roy tanpa melihat ke arah Gera. 

"Tidak bisa begitu, Roy! Tidak gampang mencapai titik ini." Bantah Gera dengan suara yang mulai meninggi. Mendengar bantahan Gera, Roy meradang. "Wow! Kau sudah pintar membantah sekarang!" 

"Roy, kau salah paham! Aku bukannya membantah, ini kenyataannya. Aku bisa menjadi marketing manager tidak dengan sekali helaan napas. Aku berkorban, Roy! Perjuanganku tidak mudah!" Gera sudah berdiri dan membantah tudingan Roy. "Kau salah besar jika menyuruhku berhenti begitu saja." Lirih Gera sembari menyeka air matanya. 

Roy menggenggam tangan Gera membuatnya meringis kesakitan. "Kau lihat ini?! Ini akibat yang kau bilang kerja keras! Kau sampai terluka! Sebenarnya kau bekerja atau menyiksa diri? Anak-anak bahkan jarang bisa menghabiskan waktu bersamamu!" 

"Jika kau ingin membeli sesuatu atau sekedar menghamburkan uang, kau bisa memakai uangku! Uangku tidak akan habis untuk kau pakai!" Bentak Roy lagi. 

Gera mendongak mendengar apa yang Roy katakan dengan nada sekeras itu. Ia berdiri dan menantang tatapan nyalang Roy. Mengikis jarak antara mereka dan berdiri tegak. "Kau memang kaya, Roy. Tapi selama ini kau kemana saja?! Kau dimana, hah?! Aku bekerja sekeras ini untuk menghidupi anak-anakmu!" 

"Aku ingin anak-anak hidup layak! Walaupun tidak seperti diriku dan juga kau yang berada di bawah kekuasaan orang tua. Aku mau anak-anak hidup bahagia walaupun saat itu masih tanpa kau!" 

Roy merasa tertampar dengan ucapan Gera. Tatapan nyalang ya berubah menjadi tatapan bersalah. "Lalu sekarang kau mau apa?! Kau mau menyuruhku untuk tetap berhenti bekerja? Kau tahu pintu keluar dari rumah ini, silahkan!" Suruh Gera menunjuk pintu kamarnya. 

Sedikitpun Roy tidak bisa berucap. Lidahnya kelu. Ia mengaku kalau dirinya memang terlalu posesif pada Gera. Lalu bagaimana caranya sekarang, bagaimana bisa ia membalik keadaan agar Gera tidak marah padanya? 

0 Comments