Suamiku Perkasa. Bab 82

 


"Aku tahu kau sangat kaya, Roy. Tapi itu bukan berarti kau bisa merendahkan pekerjaanku. Aku mengorbankan usaha yang begitu besar untuk dapat menjadi seorang marketing manager. Kau tidak tahu saja bagaimana susahnya aku meraih itu semua." Lirih Gera. 

"Kau bahkan tahu sendiri kalau Papa juga bukan orang sembarangan. Jika aku berniat hanya menghamburkan uang, untuk apa aku memilih hidup sendirian dari dulu? Aku benci harta instan, Roy. Makanya aku mau mendidik anak-anak dengan caraku sendiri." 

Gera mengangkat wajah dan menatap teduh Roy. "Jika kau tetap tidak terima, tolong, pergilah sekarang juga. Aku bisa membesarkan anak-anak sendirian. Pergi!" Gera menekan kata pergi sambil menunjuk lurus daun pintu kamarnya. 

"Ge, jangan seperti ini. Aku minta maaf, aku hanya khawatir padamu. Kenapa jadi seperti ini?!" Ujar Roy bingung.

"Caramu yang salah, Roy. Pergi dan rubah sikapmu dulu jika kau masih ingin di sini." Bantah Gera dingin. 

"Tapi, Ge..." 

"Pergi sekarang atau aku yang pergi? Lagi." Ancam Gera. Mau tidak mau Roy harus beranjak pergi saat ini juga walaupun langkahnya mungkin seberat batu hitam yang sangat besar.

Selepas kepergian Roy, Gera menangis sejadi-jadinya. Ia kelelahan, tapi Roy malah mengajaknya berdebat. Ini sangat menyiksa batin. Ia mengerti sikap baik pria itu, tapi tidak seperti ini caranya. Mereka bisa berbicara baik-baik, karena Gera sampai posisi ini pun membutuhkan perjuangan yang tidak mudah. 

"Ge, sudah. Jangan menangis. Tenanglah." Luisa datang dan memeluknya hangat. "Kau bisa melewati semuanya. Aku yakin kau tidak lupa bahwa kau memang wanita yang tangguh." Luisa memang tak pernah bosan menyanjung Gera sebagai mana mestinya. 

Hanya isak tangis yang memenuhi ruangan ini sekarang. Andai saja Roy mau membicarakannya dengan cara yang lebih lembut, mungkin Gera akan memikirkannya. Tapi Roy masih saja seperti Roy yang dulu. Masih egois dan kasar padanya. "Roy masih di bawah bersama anak-anak. Triplets tidak mengizinkan Roy pergi, Ge." 

 Mendengar itu membuat Gera berpikir lebih dalam. Jika ia memutuskan untuk berpisah dengan Roy, anak-anak yang akan jadi korbannya. Sudah cukup bagaimana menderitanya triplets tanpa kasih sayang seorang Papa. 

"Kurasa kau harus membicarakan ini bersama Roy baik-baik." Kata Luisa. Ia tidak sembarangan mengatakan itu, jika saja ia tidak memikirkan triplets, untuk apa dia mengorbankan perasaan sahabatnya itu jika Roy memang menyakitinya. Tapi anak-anak sudah sangat lama merindukan sosok Roy sebagai Papa biologis mereka. 

"Panggilkan Roy, tolong." Lirih Gera sambil menyeka kasar air matanya. 

Luisa keluar dan tak lama kemudian, Roy datang dengan langkah pelannya. Terlihat jelas di wajahnya ada guratan khawatir juga takut. "Dimana aku harus duduk?" Tanya Roy lirih. Ia tidak berani asal mengambil sikap sekarang. Wanitanya sudah tumbuh sangat dewasa dan matang. Hal itu membuatnya tidak bisa berbuat seenaknya saja. 

"Duduk saja di dekatku, jika kau mau. Mau berjauhan juga boleh." Jawab Gera tanpa menatap Roy. Ia sedikit gugup sekarang. 

Senyum tipis terselip di bibir Roy saat mendengar jawaban Gera. "Mana bisa aku jauh dari kamu, sayang. Aku bisa gila nanti." 

Gera menatap dalam mata tajam Roy, mengambil napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara. "Maafkan aku, Roy. Aku sudah bersikap kasar padamu." Cicit Gera. Air matanya lolos lagi. 

"Stt... Aku yang salah, sayang. Aku yang kurang sabar dan mengerti keadaanmu. Aku terlalu egois jika itu menyangkut dirimu." Terang Roy. Ia mendekap Gera lembut. Mengelus puncak kepala wanitanya dengan rasa sayang yang teramat dalam. 

"Bisa kita membicarakannya dengan baik?" Roy mengangguk dengan senyum indahnya. 

Pembicaraan mereka berangsur membaik. Semua sudah jelas, dengan beberapa syarat yang sudah mereka setujui. Ini semua demi anak-anak. Mereka harus bisa menyampingkan ego mereka masing-masing. 

"Bersiaplah, satu minggu lagi kita akan menikah. Anak-anak pasti sangat excited." Bisik Roy.

"Geli, Roy." 

"Tapi nikmat, bukan?" Goda Roy membuat wajah Gera memerah seperti kepiting rebus. 

"Jangan pernah lembur lagi, jika kau terus seperti ini, aku tidak akan menyalahkanmu. Tapi aku akan menuntut kantor tempatmu bekerja. Camkan itu!" Tekan Roy sekali lagi. 

H-1 pernikahan Roy dan Gera. 

"Sayang, aku sudah tidak sabar untuk malam pertama kita!" Seru Roy saat mereka di kamar dan berbincang.

"Aw!" Gera menjitak kepala Roy gemas. "Malam pertama kau bilang!? Kau sudah merenggutnya beberapa tahun yang lalu, kau tidak mungkin melupakan itu!" 

"Tentu saja. Tapi jangan lupa, kau yang memaksa agar aku memasukimu malam itu." Seketika wajah Gera matang karena malu. 


"Jangan menggodaku. Aku ingat kesalahanku. Apa kau menyesalinya?" 

"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, baby!" Gera menggeleng. "Sama sekali tidak. Sebaliknya, aku bersyukur karena sudah mengenalmu walaupun dengan cara yang sedikit tidak nyaman. Tapi secara tidak sadar kau sudah menyelamatkanku dari seseorang yang berniat jahat padaku."

"Kau sudah tahu alasannya kenapa aku melakukan itu. Aku terpukau sejak pertama kali melihatmu. Bahkan aku menyuruh Luis untuk tetap mengintai rumahmu sepanjang hari. Aku benar-benar gila padamu sejak melihat wajahmu yang dipenuhi make up luntur. Dan yang pasti kebaya yang melekat indah di tubuhmu." Roy menghela napas panjang. 

"Aku tidak sabar ingin melihatmu mengenakan kebaya lagi." Gumam Roy sambil mengelus lembut pipi Gera. 

Wanita itu mendongak dan tersenyum menatap Papa dari anak-anaknya itu. "Besok pagi aku akan memakai kebaya di pernikahan kita. Kau sadar betul akan hal itu, Roy!" 

Sejenak mereka saling mengingatkan memori-memori kelam juga indah yang pernah mereka lewati bersama-sama. Membayangkan masa depan yang indah, itu sudah pasti. Karena mulai besok pagi, hidup mereka akan berubah sepenuhnya. Semua yang sudah mereka rencanakan dari jauh-jauh hari. 

Semalam suntuk para karyawan wedding organizer pesanan Gera mengerjakan dekorasi untuk pernikahan Roy dan dirinya. Mereka memilih dekorasi dengan warna peach pastel, senada dengan dress code yang sudah ditetapkan. Berbagai macam bunga segar memenuhi sudut-sudut ruangan. Meja berbaris rapi, dan makanan yang sudah disiapkan dengan begitu apik di atas meja. 


"God, makanannya terlihat sangat nikmat. Hmm..." Gumam Luisa. Ia berdiri mematung di depan tumpukan makanan yang menggunung itu karena masih belum ada tamu yang datang. Ini masih sangat pagi. 

"Aku tahu apa yang ada di dalam pikiranmu, Luisa. Kau bisa mengambilnya sepuas dirimu!" Celetuk Roy membuat Luisa tersentak kaget. Kehadirannya yang tiba-tiba membuat wanita muda itu sangat malu. 

Ia tersenyum canggung. "Te...terima kasih, Roy. Kau sangat baik!" Sanjung Luisa terbata-bata. "Kau jauh lebih baik dariku. Maka dari itu, aku ingin melihatmu bahagia dengan cara yang kau suka. Anggap saja rumah sendiri." Kata Roy. Ia memilih kembali ke kamar untuk melanjutkan persiapan. 

"Ckckck... Kau hebat, sist! Roy sangat menghormatimu." Goda Luis yang datang menghampirinya. "Kau bisa saja, Luis. Aku kan tamu di sini. Itu makanya dia menghormatiku." Bantah Luisa tegas. 

Luis hanya takjub pada saudaranya ini. Sikapnya sudah seperti orang dewasa, tetapi jiwanya masih sangat kekanakan. "Makan sepuasmu dan tetaplah menjadi orang baik!" Luis mengecup pelan kening Luisa. Ia sudah sangat lama merindukan adik kecilnya ini. 

"Sayang, kemarilah!" Rengek Clay yang baru terbangun. Ia memanggil Luis dari ambang pintu. Pria itu menghampirinya dan meninggalkan Luisa yang sedang asik bergumul dengan banyak sekali makanan. 

"Clay mandilah! Tamu akan segera datang. Jangan bercinta melulu. Gera yang jadi pengantin, kau yang tak henti-hentinya mendesah semalaman." Sindir Luisa dibalas senyum lebar oleh Clay. 

"Berhenti menjadi anak kecil dan belajarlah bercinta! Kau akan kecanduan saat merasakannya." Seru Clay tak terkontrol membuat wajah Luisa Semerah tomat sekarang. 

Luis segera menutup mulut Clay dan menggendongnya. Ia malu karena semua orang yang bekerja menatap ke arah mereka. Wanita ini memang gila, pikir Luis. 

Sementara Gera, ia masih sibuk berdandan. Ditemani seorang make up artist, penampilannya benar-benar dibuat sempurna hari ini. "Damn! Kau sangat indah, baby!" Bisik Roy membuat bulu kuduk Gera meremang. 

"Jangan menggodaku, Roy. Acaranya sebentar lagi akan dimulai." Gera mengerang kesal karena Roy terus saja menggodanya. 

"Biar saja. Kita masih punya beberapa menit untuk bercinta." Bisik Roy. Gera memukul dada Roy membuat pria itu mengerang kesakitan. 

"Tanganmu sangat keras!" Erang Roy menyipitkan mata indahnya. Gera memberi isyarat untuk Roy mendekat. "Seperti batangmu, honey!" Bisik Gera membalas. 

"Bisa kau tinggalkan kami sebentar?" Roy menyuruh wanita yang merias Gera untuk keluar meninggalkan mereka berdua. 

 Gera menatap Roy tidak suka."Roy, acara kita sudah hampir mulai. Tolong, jangan berulah lagi!" Gera menggerutu kesal karena Roy terus saja menggodanya. Dalam hati ia sangat melayang dengan pujian-pujian itu, namun disisi lain, pasti tamu sudah datang dan menunggu mereka. 

"Stt... Jangan marah dulu sayang. Aku tidak akan berbuat macam-macam sampai acara kita selesai." 

"Lalu apa maksudmu sampai menyuruh  make up artist keluar dan menyisakan kita berdua di sini?" Gera memutar bola matanya malas. 

Dengan tatapan yang begitu dalam, Roy mengikis jarak antara mereka. Napas Gera tercekat melihat ketampanan yang sangat tegas pada wajah Roy yang berada persis di depan wajahnya. Ia semakin gugup saat hidung mereka bersentuhan, bahkan bibir mereka hanya berjarak beberapa senti saja. 

Aroma mint menguar terbawa oleh napas dingin Roy. "Terima kasih sudah bersedia menerima semua kekuranganku, sayang. Kau adalah wanita yang sangat istimewa dalam hidupku. Terima kasih telah menghadirkan tiga malaikat kecil di antara kita, mereka yang menyadarkanku akan betapa kuat dan tangguhnya dirimu." Bisik Roy membuat wanita yang akan menjadi istrinya itu menelan ludahnya kasar. 

"Bersiap-siaplah untuk bahagia bersamaku, sayang. Dan tetaplah berusaha untuk mencintaiku seperti ini.  Aku sangat mencintaimu, Gera." Kalimatnya ditutup dengan ciuman lembut Roy pada bibir Gera. 

Gera tak bisa berkata-kata mendengar itu semua. Pasalnya, dia sendiri juga merasa amat beruntung bisa dipersatukan lagi dengan pria yang menjadi Papa dari anak-anaknya ini. 

 Pernikahan digelar sangat meriah dengan berbagai dekorasi istimewa juga aroma khas bunga-bunga yang masih segar. Semua tamu terlihat sangat kompak dengan dress code senada dengan pengantin. Gera sendiri mengenakan dress panjang menjuntai berwarna peach dengan sedikit aksen warna putih. Potongan off shoulder yang membuat kulit mulusnya terekspos dan bersinar. 

"Mama sangat cantik, seperti peri." Seru Rico. Triplets menjadi pendamping Gera saat berjalan menuju tempat dimana Roy sedang berdiri tegak menunggunya. 

Pria gagah itu tak mau melepas tatapannya barang sedetikpun dari wanita yang sudah sah menjadi istrinya ini. Senyum Gera membuat Roy seakan terbang dengan bunga-bunga ini. 

"Aku sangat mencintaimu, sayang." Ujar Roy saat Gera sudah ada di depannya. 


"Aku lebih mencintaimu, Roy." Balas Gera tersenyum malu. 

Triplets sudah kembali menuju Luisa, meninggalkan pengantin duduk bersandingan di altar. Pengisi acara menginstruksikan mereka untuk berciuman di depan para tamu. 

"Aku akan menahan diriku sekarang, jika tidak, aku bisa saja menyetubuhimu di sini. Kau sangat menggoda, Nona." Goda Roy membuat Gera tersipu malu. 

Bibir mereka saling memagut cukup lama, hingga membuat para tamu bersorak gembira. Acara riuh karena tepuk tangan tamu-tamu undangan. 

Acara kembali dilanjutkan dengan resepsi yang tak kalah mewahnya. Triplets menemani Gera dan Roy bercengkrama. Hingga terlihat seorang anak perempuan seusia triplets datang menghampiri mereka. Gera tersenyum hangat menyambut anak itu, begitu juga Roy dan anak-anak. 

"Daddy!" Seru anak itu. Senyum Gera berubah kaku saat melihat tatapan anak itu tak lepas dari Roy. 

"Dimana Daddy-mu, nak? Kau anaknya siapa?" Tanya Gera berjongkok di depan anak itu. Bukannya menjawab, anak itu malah menunjuk Roy. Napas Roy seketika tercekat mendapati anak itu menunjuk dirinya. 


0 Comments