Arga. Bab 38

 


Bab. 38

Makan malam.


Kini Arga sudah berada di dalam ruangan dokter ortopedi untuk memeriksakan cidera tubuh bagian belakangnya.


"Maaf Tuan muda anda harus melepas bajunya. Perawat tolong bantu Tuan muda!" ucap sang dokter.


"Bagaimana dokter apa ada bagian yang patah?" tanya Raka penasaran. Karena Rakalah yang saat ini menemani Arga datang ke rumah sakit.


"Tidak ada Pak Raka. Hanya sedikit memar akibat benturan sebuah benda keras."


Raka tampak menghela nafas lega setelah mendengar penjelasan dari dokter. Bagaimana tidak, ia masih mengingat bagaimana paniknya saat Arga dan keluarga Ramiro menghubunginya dan mengatakan bahwa Tuan muda mereka mengalami cedera.


Hal itu tentu saja membuat Raka kalang kabut karena khawatir dengan kondisi sahabat sekaligus bosnya itu.


"Tapi kenapa rasanya begitu sakit?!" protes Arga karena sang dokter telah menganggap ringan sakitnya.


"Maaf Tuan muda itu karena adanya benturan tubuh dan benda keras hingga menyebabkan pecahnya pembuluh darah kecil atau yang bisa disebut juga dengan kapiler. Namun, sama sekali tidak ada masalah dengan tulang anda." Dokter menjelaskan.


Sekarang Raka baru mengerti tentang sikap berlebihan semua orang kepada kondisi sahabatnya itu. Namun ia bisa mengerti mengingat status dan posisi penting Arga sebagai sang pewaris.


"Saya akan meresepkan obat pereda rasa sakit dan salep agar memarnya segera hilang," imbuh dokter setelah berhasil duduk dari balik meja kerjanya.


"Tolong berikan obat terbaik, Dok!" pinta Raka yang juga ikut duduk di hadapan sang dokter. Sedangkan Arga kini berusaha beranjak dari ranjang pasien dengan bantuan seorang perawat.


"Tentu Pak Raka."


Setelah berhasil menebus obat dan keluar dari rumah sakit. Kini Arga sudah berada di apartemen milik Raka. Mereka sengaja memilih tempat ini atas permintaan Arga yang tidak ingin diganggu saat beristirahat.


"Sekarang bilang sama gue sebenarnya apa yang telah terjadi sama loe. Kenapa loe bisa kayak orang kena penyakit encok begitu?" tanya Raka setelah meletakkan minuman dingin di atas meja tepat di hadapan Arga.


"Ck, ini semua gara-gara gadis gila itu. Bisa-bisanya dia menendangku dari ranjang!" Arga bercerita sambil berdecak sebal. Masih begitu terlihat amarah di matanya.


"Apa? Jadi, loe kayak gini hanya karena terjatuh dari atas ranjang?! Oh astaga tapi-  ha ... ha ... ha ... sumpah ini konyol banget!"


"Apa loe bilang tadi 'hanya'?!" murka Arga karena sahabatnya itu ternyata juga meremehkan sakitnya. "Hentikan tawa bodoh itu atau loe mati!" ancamnya kemudian.


Raka yang mendengar ancaman sahabat sekaligus bosnya itu seketika menghentikan tawanya tapi tidak bisa menyembunyikan raut geli yang ada di wajahnya.


"Gue kira loe abis jatuh dari monas. Segitunya kalo merintih sakit. Dasar anak Mommy!" cibir Raka hingga mendapat lemparan bantal dari Arga.


Hal itu bermula ketika sang Mommy mengetahui keadaan putranya saat ia tak sengaja melihat Arga berjalan sembari memegangi pinggang. Hingga membuatnya panik dan memanggil semua orang untuk menghubungi dokter.


Berlebihan memang tapi begitulah adanya. Sebagai seorang pewaris tunggal kerajaan bisnis Ramiro semua orang sangat menjaga Arga layaknya berlian yang sangat berharga.


"Tutup mulutmu itu. Awas saja nanti apa yang bakal gue lakuin sama gadis bodoh itu!" Kilatan amarah kembali terlihat dari sorot mata Arga.


"Ingat dia istri loe! Emang loe mau bikin apa sama dia?"


"Kita lihat aja nanti!" jawab Arga dengan seringainya.


"Tapi dia keren banget loh, bisa nendang seorang pewaris Ramiro dari atas ranjang. Sungguh prestasi yang sangat membanggakan. Kapan-kapan gue juga mau berguru sama dia."


"Kalian berdua sama gilanya!"


"Jadi sekarang bagaimana. Loe mau tetep di sini apa pergi ke kantor? Ingat Ga, kita ada meeting penting siang nanti!" ucap Raka mengingatkan.


"Jam berapa meeting-nya?" tanya Arga sembari menyandarkan punggungnya di sandaran sofa.


"Setelah makan siang."


"Batalkan saja. Gue masih mau istirahat di sini!"


"Tapi ini pertemuan penting dengan SADANA corp. Tuan besar sendiri yang memberikan perintah."


"Bodoh amat gue nggak peduli!"


Raka hanya bisa pasrah dengan keputusan bosnya itu. Memangnya pegawai rendahan macam dia bisa apa?


*****


Pemandangan berbeda tampak di meja makan keluarga Ramiro karena malam ini untuk pertama kalinya Bening akan makan malam bersama keluarga barunya tersebut.


Namun, ruang makan yang didesain mewah dan elegan itu hanya diisi oleh dia dan Tuan sepuh. Entah di mana penghuni rumah lainnya. Bahkan sang suami belum juga menampakkan batang hidungnya sejak insiden tadi pagi.


Ekor mata Bening menyapu meja makan besar yang tampak kosong karena tidak ada orang yang menduduki kursinya. Tidak sebanding dengan banyaknya aneka makanan yang sudah tersaji di atas meja.


'Makan berdua saja apa perlu makanan sebanyak ini. Bukankah ini termasuk pemborosan, mubazir lagi.' Bening membatin.


"Kenapa Bening, apa kau tidak suka dengan hidangannya?" Suara Tuan sepuh membuyarkan lamunan gadis itu. Ia pun refleks mengalihkan pandangannya ke arah pria tua itu.


"Ti-tidak Opa bukan seperti itu. Makanan ini sudah terlalu banyak jika hanya untuk dinikmati kita berdua," jawab Bening apa adanya.


"Tapi kenapa kau hanya melihatnya saja? Ayo makanlah!" ujar Tuan sepuh karena sedari tadi ia melihat cucu menantunya itu hanya menatap hidangan di depannya.


"Opah, apa Bening boleh bertanya?"


"Katakan!"


"Ke-kenapa kita hanya makan malam berdua saja. Di mana semua orang?!" tanya Bening dengan sedikit ragu karena takut menyinggung perasaan kakek mertuanya itu.


"Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Lagi pula aku sudah terbiasa hidup seperti ini."


"Jadi, kalo tidak ada Bening Opa akan makan malam seorang diri? Apakah selalu seperti itu?!"


"Iya, ayo makanlah makananmu, kita mengobrol sambil makan. Biasanya aku melarang saat bicara di meja makan tapi peraturan ini pengecualian untukmu," jawab Tuan sepuh santai kemudian menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.


'Kasihan sekali pria tua ini. Di usia senjanya saat ini seharusnya ia mendapat kebahagiaan dari keluarganya. Bukan malah diabaikan seperti ini.'


Tuan sepuh memang dikenal keras, angkuh, dan juga kejam. Namun sejauh ini hanya pria tua itulah yang terlihat lebih baik dan ramah kepada Bening dari pada anggota keluarga yang lainnya. Bahkan hanya pria tua itu yang mau berbicara kepadanya. Seperti malam ini yang membebaskan Bening untuk mengobrol di meja makan.


"Kenapa mereka tidak menemani Opa makan? Dulu waktu di desa, keluarga kami selalu makan bersama walaupun kami makan dengan menu sederhana. Tapi terasa enak jika dinikmati bersama. Mungkin karena kebersamaan itulah yang membuat rasa makanannya menjadi berbeda," ucap Bening bercerita, terlihat binar kebahagiaan saat ia menceritakan moment indah keluarganya dulu.


Tuan sepuh yang mendengar cerita yang keluar dari bibir gadis itupun mendesah pelan. Ia tampak meletakkan sendok garpu yang ada di tangannya.


"Mungkin cara hidup kami berbeda dengan cara hidup kalian. Kalian pasti keluarga yang sangat bahagia!"


Bening mengangguk antusias mengiyakan pernyataan pria tua tersebut.


"Iya Opa benar. Kami sangat bahagia walau hidup dalam kekurangan. Tapi setelah Ayah meninggal-" Bening menunduk sedih tak mampu melanjutkan ucapannya.


"Sudah jangan bersedih. Doakan saja Ayahmu mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan," ucap Tuan sepuh untuk menghibur Bening. Entah sejak kapan ia mulai menyukai gadis ini. Perlahan namun pasti gadis yang sudah berstatus menjadi cucu menantunya itu berhasil mengambil hatinya yang sudah terbiasa keras kepada orang lain.


"Amin ...! Dan mulai saat ini Bening yang akan menemani Opa agar tidak merasa kesepian lagi."


Seulas senyum terlukis dari wajah keriput pria tua itu. Hatinya menghangat mendengar penuturan Bening. Sudah lama ia tidak merasakan perasaan seperti ini. Perasaan memiliki seorang keluarga.

0 Comments