Arga. Bab 41-42

Penjara cinta sang taipan


 Bab. 41

Alergi debu.


"Sial! Semakin kurang ajar saja gadis itu. Pertama, dia sudah hampir membuat pinggangku patah. Kedua dia sudah mulai berani meracuni makananku! Entah apalagi yang akan gadis liar itu lakukan jika aku tidak segera bertindak!" umpat Arga sembari berjalan mondar mandir di dalam ruang kerjanya.


Ia terlihat frustasi dengan satu tangan di pinggang dan satu tangannya lagi meremas rambutnya sendiri.


"Aku pasti akan membuat perhitungan denganmu gadis bodoh!" 


Sedari tadi Arga tidak bisa tenang di dalam ruang kerjanya karena otaknya sibuk memikirkan tingkah laku istri kecilnya itu yang kian hari kian kurang ajar menurutnya. Bahkan Arga sampai tidak bisa fokus dengan pekerjaannya.


Seharian ini Arga hanya bisa berdiam diri di rumah karena ingin memulihkan tubuhnya dari dehidrasi akibat diare yang membuatnya banyak kekurangan cairan tubuh.


Namun, sebagai seorang pewaris tunggal yang memiliki beban dan tanggung jawab pekerjaan besar. Ia tidak bisa berdiam diri dan ongkang-ongkang kaki begitu saja.


Karena tumpukan pekerjaan sudah menantinya. Mau tidak mau Arga pun berakhir di ruang kerja pribadinya seperti saat ini. Sekaligus ingin menjauhi gadis yang belum lama dinikahinya. Guna menstabilkan emosinya yang selalu tersulut jika bertemu dengan gadis yang menurutnya bodoh itu.


Dengan cekatan tangannya beralih menyambar benda pipih yang tadi ia lemparkan ke atas meja.


"Halo Raka, loe di mana sekarang?!" tanya-nya kepada orang di seberang telepon setelah berhasil mendekatkan ponsel ke telinga.


Ceklekk-


Pintu pun terbuka menampilkan Raka dengan telepon seluler di samping telinganya.


"Halo Ga, gue di sini!" jawab Raka dengan seringai lebarnya. "Sudah, tutup telponnya!" imbuhnya saat melihat benda pipih itu masih menempel di telinga sahabat sekaligus bosnya itu.


Klikk-


Kedua sahabat karib itupun langsung mematikan sambungan telpon mereka secara bersamaan. Tadi saat ponsel Raka berdering karena  panggilan Arga. Ia sudah berada di depan pintu ruang kerja bos sekaligus sahabatnya itu.


"Ada apa dengan muka loe?!" tanya Raka saat melihat wajah frustasi sahabatnya.


"Gadis itu berulah lagi," jawab Arga geram.


"Kali ini apa yang Bening lakukan sama loe?!" tanya Raka antusias karena dilanda rasa penasaran yang berlebih.


"Gue yakin loe nggak akan percaya setelah mendengar ini!"


"Wah, loe makin bikin gue penasaran, Ga!"


"Tadi pagi gadis bodoh itu hampir saja ngeracunin gue, Rak! Hingga gue harus bolak balik keluar masuk kamar mandi!"


"Apa?! Bagaimana bisa?!"


"Dia ngasih gue makanan sampah yang bikin gue diare sampai dehidrasi!"


"Wait- Makanan sampah? Makanan sampah seperti apa maksud loe?!"


"Loe tahu terasi nggak? Dia ngasih gue makan sambal terasi, Man!"


"Apa! Terasi?!" pekik Raka kaget yang kemudian diangguki oleh Arga.


"Hwa ... ha ... ha ... ha ...!" 


Raka sudah tidak mampu lagi menahan tawanya. Istri sahabatnya ini benar-benar konyol. Bagaimana bisa gadis itu berfikir untuk memberi makan Arga dengan makanan ala rakyat jelatah seperti itu. Ia sungguh tidak habis pikir.


"Coba katakan bagian mananya yang lucu? Apa kau ingin mati!" teriak Arga tidak terima karena Raka malah menertawakannya.


"Ini sih lebih konyol dari kejadian loe ditendang dari ranjang, Ga. Sepertinya gue harus bener-bener berguru sama istri loe itu!"


"Jangan bicara sembarangan. Atau gue robek mulut loe!" ancam Arga.


"Nggak asik loe. Mainnya suka ngancam!" cibir Raka.


"Entah apa lagi yang akan gadis bodoh itu lakukan nanti?" desis Arga tajam. Matanya masih berkilat penuh amarah.


"Kalo dipikir-pikir tuh gadis unik deh!" celetuk Raka.


"Unik apanya? Kalo kampungan, liar dan bodoh sih iya!"


"Dia itu unik karena berani ngelawan elo! Dan dia cewek satu-satunya yang tidak bisa terpikat sama pesona loe itu. Sungguh satu di antara seribu cewek yang memiliki karakter seperti itu."


"Sudah puas loe mujinya?!"


"Hadeh, baperannya kambuh lagi nih anak!"


"Stop ngomongin gadis bodoh itu lagi. Sekarang mana berkas yang gue suruh bawa tadi?!"


"Kerja ... kerja ...!" ucap Raka setelah memberikan map yang ada di tangannya kepada Arga.


*****


Sementara Bening yang sudah terbiasa bekerja keras sedari kecil merasa bosan karena tidak memiliki kegiatan lain selain rebahan dan rebahan lagi. Sungguh kehidupannya saat ini begitu monoton.


Tadi Bening sempat pergi ke taman belakang guna ingin melihat apakah ada kegiatan yang bisa dikerjakannya. Menanam bunga barang kali, atau mencabuti rumput. 


Namun, seluruh pekerja di sana tiba-tiba menampilkan wajah ketakutan saat Bening mendekat karena mereka takut dipecat kalau saja gadis itu tetap memaksa untuk membantu pekerjaan mereka.


Melihat mereka yang memohon dan menghibah membuat Bening mengalah dan menyingkir dari sana karena tidak tega. Ia tidak mau menjadi sebab seseorang kehilangan pekerjaannya.


Pergi ke dapur pun sama. Setelah kejadian tadi pagi sang Nyonya besar benar-benar memberikan ultimatumnya untuk melarang Bening melakukan kegiatan apapun atau sekedar masuk ke dalam dapur.


Jika Bening melanggar peraturan tersebut maka seluruh koki yang bekerja di rumah ini yang akan mendapat hukuman-nya dengan kehilangan pekerjaan mereka.


Mau tidak mau di sini lah Bening sekarang. Terkurung di dalam kamar sepanjang waktu dengan rasa bosan yang teramat sangat.


"Hidup jadi orang kaya ternyata membosankan juga ya!" monolognya.


"Sekarang aku harus melakukan apa biar tidak mati kebosanan? Bahkan seluruh pelayan di rumah ini menolak untuk aku membantu mereka. Lagian kenapa sih Nyonya berkuasa itu harus mengeluarkan ultimatum seperti itu?!" celotehnya sambil membalik tubuhnya menghadap kanan.


"Bagaimana jika aku membersihkan kamar ini saja? Idemu bagus juga bening!" ucapnya kemudian.


Gadis itupun segera beranjak dari kursi santai yang telah dibuatnya untuk rebahan tadi kemudian berlari keluar untuk mengambil alat kebersihan. Untung saja para pelayan di rumah ini tidak ada yang curiga dengan apa yang Bening lakukan. Mungkin karena terlalu fokus dengan pekerjaan mereka.


Kini Bening sudah berdiri sambil membawa alat kebersihan di tangannya. Ekor matanya tampak menyusuri setiap sudut ruangan.


"Semuanya sudah bersih. Jadi apa yang perlu dibersihkan?" lirihnya penuh rasa kecewa. Namun kemudian-


"Ahayy ... aku ada ide. Bagaimana jika aku buat kotor saja kamar ini kemudian aku bersihkan lagi!"


Bening pun mengendap-endap untuk mencari pasir di halaman samping dan segera menaburkan pasir-pasir itu di setiap sudut kamar.


Kini kamar yang selalu bersih dan tertata rapi sudah tidak ada lagi. Karena banyak pasir di mana-mana. Bahkan kamar ini sudah tampak berdebu akibat hembusan angin yang masuk melalui jendela kamar yang membantu menerbangkan pasir-pasir itu.


"Lah kok jadi begini sih. Kenapa tiba-tiba anginnya kencang sekali?" 


Bening sudah berniat akan menutup jendela kamar saat Arga datang dan masuk ke dalam.


"Apa-apaan ini!" Mata elangnya melotot tajam melihat kamarnya dipenuhi debu yang bertebaran di mana-mana.


"Haccim ... haccim ... haccim ...!"


Arga tidak bisa berhenti bersin. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Ia sangat mengutuk debu yang masuk ke dalam paru-parunya.


Bening yang merasa bersalah langsung menutup jendelanya dengan maksud ingin menghalau angin yang akan masuk ke dalam kamar. Namun, tindakannya itu berujung fatal karena udara di dalam kamar tersebut menjadi pengap. Hingga Arga semakin susah bernafas.


"Kenapa kau tutup jendelanya? Aku tidak bisa bernafas bodoh! Aku alergi debu!" ujar Arga sembari menutup mulut dan hidungnya.


"Maaf ... maaf! Aku tidak tahu." Bening pun kembali membuka jendelanya.


Melihat wajah sang suami tiba-tiba pucat, membuat Bening panik sendiri.


"Astaga kenapa dengan pria itu?" Bening berlari menghampiri suaminya yang masih berdiri dengan bersandar di dinding.


Bening pun segera membantu suaminya itu berjalan meninggalkan kamar.


Bab. 42

Hukuman untuk Bening.


Raut cemas yang diliputi amarah begitu terlihat jelas dari mimik wajah semua orang yang sedang duduk di ruang keluarga. Kecuali Bening, wajah gadis itu tampak begitu cemas dan ketakutan.


Bagaimana tidak, ide konyolnya tadi membuat sang suami harus mendapat bantuan selang oksigen dan saat ini sedang dalam pengawasan dokter.


"Sekarang Bisakah kau jelaskan kepadaku, apa yang sebenarnya terjadi, Bening?!" Suara Nyonya Diana menggelegar sampai terdengar di setiap penjuru ruangan.


Ya, saat ini Bening sedang disidang oleh keluarga suaminya atas apa yang telah diperbuatnya tadi. Semua orang telah berkumpul kecuali sang Papa mertua karena masih belum pulang dari kantor.


"Sa-saya-" lirihnya dengan bibir bergetar. Bening masih diam menunduk tak berani mengangkat wajahnya. Ia terlihat semakin meremas ujung pakaiannya.


"Jawab! Kenapa kau diam saja. Apa kau tidak punya mulut untuk berbicara?!" hardik Nyonya Diana.


"Coba jelaskan kepada Opa. Apa yang sudah kau lakukan kepada cucuku tadi, Bening?!" timpal Tuan sepuh ikut bicara.


Mendengar sang Opa sudah membuka suaranya membuat Bening semakin dilanda rasa bersalah. Ia segera bangkit dari duduknya kemudian berlutut di depan Kakek mertuanya tersebut.


"Maafin Bening, Opa. Bening tidak sengaja. Bening tidak tahu kalau Tuan muda punya alergi debu," ucapnya sambil meneteskan air mata.


"Tidak sengaja kau bilang! Dua kali kau ingin mencelakai putraku tapi dengan mudahnya kau bilang tidak sengaja!"


Plakk-


Satu tamparan keras mendarat di pipi mulus Bening. Hingga sudut bibir gadis itu robek dan mengeluarkan darah.


"Diana tahan amarah mu!" teriak Tuan sepuh.


"Bagaimana aku bisa menahan diriku saat melihat putra ku sendiri nyaris celaka karena perempuan kampungan ini. Seharusnya aku berfikir ulang saat ingin menjadikan mu menantuku!" marah Nyonya Diana tidak terima.


"Maafkan Bening, Mi. Bening bersalah, silahkan hukum Bening!" lirih gadis itu sembari memegangi pipinya yang sudah membengkak.


"Tentu saja kau harus dihukum karena kekurang ajaran mu itu. Kau-"


"Cukup Diana!" potong Tuan sepuh. "Biar aku yang bertanya kepada Bening!" imbuhnya kemudian.


Kini pandangan Tuan sepuh sudah beralih kepada gadis yang masih berlutut di hadapannya.


"Bening, coba ceritakan kepada Opa, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa cucuku sampai bisa sesak nafas seperti itu?!" tanya Tuan sepuh dengan penuh ketegasan.


"I-itu ka-karena-" Belum selasai Bening menjelaskan Nyonya Diana sudah kembali menyelah-


"Tentu saja karena dia ingin membunuh putraku!" tuduh sang Ibu mertua.


"Tidak! Itu tidak benar. Demi Tuhan saya tidak pernah berniat seperti itu. Saya tidak pernah tahu kalau Tuan muda alergi dengan debu. Saya bersumpah!" sanggah Bening.


"Tapi bagaimana bisa putraku menghirup begitu banyak debu di dalam kamarnya sendiri. Apakah pelayan yang selama ini tidak becus membersihkan kamar putraku!"


"Bukan Mommy, bukan seperti itu. Semua pelayan di rumah ini sudah melakukan pekerjaannya dengan baik. Tapi saya lah yang bersalah karena sudah mengotori kamar Tuan muda dengan pasir," jawab Bening terus terang. Karena ia tidak mau ada orang yang tidak bersalah ikut terseret dalam masalahnya.


"Apa! Pasir?!" tanya Nyonya Diana tak percaya.


"I-iya Mommy," jawab Bening dengan menunduk takut.


"Tapi bagaimana bisa kau berfikiran untuk membawa pasir ke dalam kamar putraku?!" Nyonya Diana semakin tersulut emosi mendengar penjelasan Bening.


"Itu saya lakukan karena saya merasa bosan tidak melakukan kegiatan apa-apa seharian ini. Awalnya saya berniat mengotori kamar agar dapat membersihkannya lagi. Karena dengan begitu saya bisa melakukan pekerjaan dan mengusir kebosanan. Sekali lagi maafkan saya yang telah berbuat sesuatu tanpa berfikir dulu."


"Pemikiran macam apa itu. Apa kau sudah gila? Di luar sana banyak sekali orang yang memimpikan hidup kaya raya tanpa bekerja tapi kau malah-" 


Nyonya Diana tidak sanggup lagi melanjutkan ucapannya. Ia sungguh tidak habis pikir dengan isi otak gadis yang sudah berstatus sebagai menantunya itu. Kalau saja bisa ditukar tambah, ingin sekali Nyonya Diana melakukan itu sekarang juga.


Sedangkan Tuan sepuh yang sedari tadi ikut menyimak. Sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Beliau lebih memilih untuk kembali ke kamar dan beristirahat.


"Aku serahkan masalah ini kepadamu, Diana. Aku akan kembali ke kamarku untuk beristirahat!" Tuan sepuh segera beranjak dari duduknya dibantu sang asisten.


Sepeninggal Papa mertuanya, membuat Nyonya Diana semakin menjadi-jadi terhadap Bening. 


"Dengarkan aku gadis bodoh! Aku membawa mu ke rumah ini bukan untuk membuat putraku celaka. Aku akan menghabisimu jika terjadi sesuatu yang buruk menimpah Argaku. Sudah cukup aku bersabar dengan tingkah lakumu selama ini. Jika aku bisa membawamu ke mari, aku juga pasti bisa menghilangkan mu dari muka bumi ini!" desis Nyonya Diana sembari mencengkeram wajah Bening dengan tangannya. Hingga kuku-kuku panjangnya berhasil melukai gadis itu.


"Maafkan saya Mommy. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi," jawab Bening dengan linangan air mata.


"Aku akan menghukum mu agar kau tidak berbuat seenaknya lagi. Dan satu hal lagi, jangan pernah memanggilku Mommy jika kita hanya berdua seperti ini. Aku jijik mendengarnya! Apa kau mengerti?!"


"Mengerti Mommy."


"Panggil aku Nyonya!"


"I-iya Nyonya. Maaf!"


"Grace! Bawa gadis ini ke gudang. Kurung dia dan jangan pernah ada yang berani membukanya sebelum aku perintahkan!" titah sang Nyonya.


"Baik Nyonya!"


Asisten Nyonya Diana yang bernama Grace itupun menyeret Bening menuju gudang.


"Ayo, cepat jalan!"


Bening hanya bisa pasrah mendapat perlakuan kasar dari asisten Ibu mertuanya itu. Melawan pun ia tidak berdaya.


Brukk-


Tubuh Bening dilempar begitu saja di atas tumpukan barang-barang bekas. Untung saja tidak ada benda keras yang mengenai tubuhnya.


"Aww ...!" Bening meringis sakit saat mendapati lengannya berdarah.


"Nikmati hukumanmu bersama dengan tikus-tikus menjijikkan itu!" ejek Grace sebelum mengunci pintu gudang.


Ya Tuhan apa benar ia akan bermalam dengan binatang yang paling Bening takuti itu? Bening sudah bergidik ngeri hanya dengan membayangkan-nya saja.


"Semoga tidak ada tikus ataupun kecoak di tempat ini," doanya.


Perlahan ia bangkit mengamati keadaan sekitar. Mencari sesuatu yang bisa dia pakai untuk tidur malam ini. Karena tidak mungkin kan ia akan tidur di lantai yang dingin ini.


"Mungkin di sana ada benda yang aku butuhkan!" monolognya.


Bening pun melangkah menuju lemari tua yang nampak usang. Perlahan ia membuka pintu lemari itu. Dan senyumnya mengembang melihat tumpukan selimut yang terlipat rapi di sana. Walaupun sedikit apek karena mungkin sudah tersimpan lama. Tapi Bening sangat mensyukurinya.


"Setidaknya malam ini aku tidak kedinginan. Nggak apa-apa bau apek sedikit."


Bening pun mengeluarkan selimut itu dan mengibas-ibaskan-nya sebentar guna menyingkirkan debu yang menempel.


Berbicara mengenai debu. Bening jadi teringat dengan suaminya yang saat ini sedang terbaring dengan selang oksigen. Rasa bersalahnya pun kembali muncul.


Walaupun Arga sangat menyebalkan baginya tetapi saat melihat sang suami terbaring sakit seperti ini membuatnya tidak tega. Apalagi penyebab sakit pria itu karena ulah dirinya.


"Bagaimana keadaan Tuan pemaksa sekarang ya. Apakah kondisinya sudah membaik atau malah? Ah Bening jangan berfikir yang tidak-tidak. Semua ini juga karena dirimu!" ujar Bening seraya memukul kepalanya sendiri.


"Tidak disangkah orang searogan itu memiliki begitu banyak alergi. Selain makanan pedas dan debu. Dia alergi apalagi ya kira-kira?"

0 Comments