Bab. 59
Menjadi yang terbuang.
Mulai malam ini ikatan darah di antara kita sudah terputus! Aku sudah tidak memiliki anak seperti dirimu. Pergi dari rumah ini karena mulai detik ini, aku haramkan kau menginjak rumahku!
Kata-kata kejam dan ingatan masa lalu itu kembali terngiang. Membuat pusaran kelam yang berusaha ia lupakan harus kembali muncul kepermukaan.
"Kenapa dulu kalian tega membuangku. Aku benci kalian semua, tapi aku juga sangat merindukan kalian. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Hiks...hiks..."
"Maaf, Ibu tidak apa-apa?" tanya sopir taksi dari balik kemudi karena sejak masuk ke dalam taksinya sang penumpang terus menangis tanpa henti hingga membuatnya merasa prihatin.
"Saya tidak apa-apa Pak. Lanjutkan saja perjalanannya!" jawab Sandra dengan suara parau.
Mendapat jawaban seperti itu dari penumpang wanitanya, membuat sang sopir kembali fokus mengemudi sesuai tujuan sang penumpang kemana ia ingin diantarkan.
Ya, wanita yang beberapa saat lalu menjadi pengintai itu adalah Sandra. Ia mengintai rumah orang tuanya sendiri. Rumah yang sudah belasan tahun di tinggalkannya. Wanita itu hanya ingin memastikan keadaan keluarganya. Namun, masih pantaskah ia disebut sebagai keluarga setelah hari pengusiran itu.
Ternyata kepergiannya selama ini tidak mengubah apapun tentang kehidupan orang-orang itu. Mereka terlihat hidup layak sama seperti biasanya. Bahkan terlihat lebih bahagia. Haruskah Sandra juga ikut merasa bahagia atau kah dia harus menangisi nasib dirinya karena telah lama dilupakan.
Walau dalam mimpi sekalipun apakah namanya pernah disebut? Tapi nyata lebih menyakitkan dari seribu mimpi yang setiap malam datang mencekam.
Rasa sakit menjadi yang terbuang membuat Sandra membangun dinding kokoh sebagai pembatas hubungan darah yang mengalir antara dirinya dengan sang putri, Bening. Entah di mana anak itu kini berada ia pun tak tahu dan tak ingin mencari tahu.
Seandainya pria itu tidak pernah hadir dalam kehidupannya, maka rasa sakit itu juga takkan pernah ia rasakan. Tapi semua sudah terjadi tak ada lagi yang harus disesali.
Karena rasa sakit itu pula yang membuat Sandra menggali lubang tak kasat mata di dalam hati sang putri karena ia tidak ingin sakit sendirian.
Jika tak bisa bahagia bersama setidaknya bisa merasakan sakit yang sama.
Papa, masih kah kau ingat diriku. Pernah kah kau menyebut namaku sekali saja dalam mimpimu?
"Sudah sampai, Bu!" Suara si sopir taksi membawa Sandra kembali ke alam sadarnya.
"Terima kasih Pak. Ini ongkosnya, kembaliannya silahkan Bapak ambil!" ujar Sandra sembari menyerahkan dua lembar uang kertas berwarna merah.
"Terima kasih banyak Bu. Semoga Tuhan membalas kebaikan Ibu."
"Sama-sama Pak."
Sandra pun keluar dari taksi yang mengantarnya tadi, setelah memakai kembali kaca mata hitamnya karena ia tidak ingin menjadi pusat perhatian penghuni rumah Juwita dengan mata sembabnya itu. Di luar halaman ia sudah disambut dengan sapaan beberapa pengawal yang bertugas menjaga rumah Juwita.
Ya, Sandra memutuskan untuk tinggal di rumah sahabatnya itu, begitu mereka sampai di kota kelahirannya.
"Selamat datang Ibu Sandra," sapa salah satu pengawal.
"Terima kasih." Sandra pun melenggang masuk ke dalam rumah.
Baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu, suara Juwita sudah menyambutnya.
"Dari mana San? Pagi-pagi sudah menghilang saja!"
"Sorry, Ta. Aku ada keperluan sedikit di luar tadi."
Juwita mengernyitkan alisnya, seperti menginginkan sebuah penjelasan. Melihat ekspresi sahabatnya itu Sandra kemudian berkata. "Kita bicara di kamar saja!"
Juwita yang mengerti pun mengikuti langkah Sandra yang telah lebih dulu meninggalkan tempat itu.
"Sudah bisa jelaskan ke mana kau pergi tadi?" Juwita memulai perbincangan, sesaat setelah mereka sampai di dalam kamar yang ditempati oleh Sandra.
Sandra dengan santai meletakkan tas jinjingnya di atas nakas. Kemudian melepas kaca mata hitam yang sedari tadi bertengger di hidungnya.
"Ada apa dengan wajahmu. Kau habis menangis? Jangan bilang tadi kau pergi ke-"
Juwita tak berani meneruskan kata-katanya ia lebih memilih menutup mulutnya sendiri dengan telapak tangan. Lengkap dengan mata yang membola sempurna. Yang menandakan bahwa wanita cantik itu tengah shock.
"Ya kau benar, aku pergi karena aku ingin melihat pria yang darahnya telah mengalir di tubuh ku!"
"Kalian sudah bertemu?"
Sandra menggeleng sebelum berkata. "Sayangnya tidak. Aku hanya melihat wanita itu. Wanita yang dulu sangat ku cintai walau tak setetespun darahnya mengalir di tubuhku!" Dadanya kembali sesak mengingat apa yang sempat ia lihat di rumah itu. "Mereka tak pernah mengingatku. Bahkan mungkin kehidupan mereka lebih baik setelah kepergianku," imbuhnya.
Juwita yang tak kuasa melihat kesakitan yang terpancar dari netra sahabatnya itu, langsung berhambur memeluk Sandra untuk memberinya kekuatan.
Seakan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja, karena ia tak sendiri lagi sekarang. Ada dirinya yang akan selalu menemani.
"Sudahlah San jangan bersedih lagi. Semua pasti akan baik-baik saja. Aku percaya kau wanita kuat!" ujar Juwita sembari mengusap punggung bergetar Sandra yang kini menangis dalam pelukannya.
"Sekarang aku percaya bahwa aku benar-benar dibuang, Ta. Bertahun-tahun lamanya aku menunggu, tapi tak satupun dari mereka yang berusaha datang untuk mencariku. Aku berusaha menepis kenyataan bahwa mereka sudah tak mengharapkan ku lagi. Tapi- hiks ...!" Sandra tak mampu lagi melanjutkan ucapannya.
"Ssttt ... sudah jangan diteruskan lagi. Aku tahu perasaanmu, aku mengerti. Tapi yakin lah mereka juga pasti merindukanmu hanya saja mereka tidak menyadarinya. Karena darah lebih kental dari pada air."
Sandra semakin menenggelamkan kepalanya di bahu sang sahabat. Berusaha menumpahkan segala kesakitannya yang ia pendam selama ini. Sedangkan Juwita dengan senang hati dijadikan sandaran oleh sahabatnya itu.
Mungkin Juwita tidak akan bisa setegar Sandra seandainya ia yang berada di posisi Sandra saat ini.
*****
Sari tampak mengompres pipi Bening yang sudah membiru dengan sangat hati-hati.
"Aww ... ssttt ... sakit, Sari!" rintih Bening saat Sari tidak sengaja menekan lebam di pipinya.
"Maaf Nona, tahan sebentar! Sedikit lagi selesai."
Setelah selesai mengompres lebam di pipi sang majikan. Sari tampak memandang sendu wajah Bening. Bahkan kini matanya tampak berkaca-kaca, gadis itu sungguh tak tega melihat Bening diperlakukan seperti ini.
"Nona yang sabar ya. Sari yakin badai ini pasti berlalu. Dan Nona bisa mendapat kebahagiaan Nona sendiri," kata Sari.
"Makasih Sari, selain Opa kamulah yang terbaik di rumah ini. Karena bersama mu aku bisa melupakan kesedihanku."
"Saya juga bersyukur mempunyai majikan seperti anda Nona. Selain cantik anda juga sangat baik. Karena berlian akan tetap menjadi berlian walaupun ada di dalam lumpur sekalipun."
"Oohh ... manis sekali. Dari mana kau belajar kata-kata manis seperti itu?" ucap Bening sembari mencubit pipi gadis itu.
"He ... he ... he ... saya belajar dari buku yang saya baca, Nona."
"Sari juga suka baca buku? Sama donk ya. Dulu pas di kampung aku punya koleksi banyak buku dan novel romantis. Tapi-"
Ada kilatan sendu yang terpancar dari raut wajah Bening jika berbicara tentang kampung halamannya dulu karena dengan begitu ia akan teringat dengan Sandra ibunya.
"Ada apa Nona. Kenapa tiba-tiba bersedih?!"
"Tidak apa-apa Sar, aku hanya mengingat Ibuku di kampung!" jawab Bening berusaha menghalau air mata yang akan menetes di pipinya.
"Ibu anda juga pasti merindukan anda, Nona!"
"Ehm ... Sar!"
"Iya Nona!"
"Apa kau ingin tahu satu rahasia?"
"Apa itu Nona?" tanya Sari penasaran.
"Lihat ini!" ucap Bening sembari menunjukkan foto Ibunya.
"Cantik sekali. Apakah ini Nona? Tapi sepertinya ini foto lama."
"Ini foto Ibuku sewaktu muda dulu, Sari."
"Pantas mirip sekali dengan anda, Nona. Saya kira tadi itu foto anda. Cantik sekali dan kecantikan itu sekarang menurun kepada Nona," puji Sari.
Bening memang menunjukkan foto Ibunya kepada Sari tetapi ia tidak menceritakan dari mana dia mendapatkan foto tersebut.
0 Comments