"Makanlah, Nak. Seharian kamu tidak makan," kata ayah ketika dilihatnya Mayang hanya membolak-balikkan makanan di atas piring. Jangankan makan, memejamkan mata saja Mayang tak bisa. Ingatannya sedang tertuju pada Andi dan Putri. Sedang apa mereka? Apakah mereka menyadari kepulangannya? Sudah makankah anak-anaknya?
"Mayang tidak lapar, Yah. Ayah makan saja dulu." Mata Mayang bersorot sedih saat melihat ayam goreng di depannya. Makanan itu adalah kesukaan Andi dan Putri. Oh, Tuhan. Mayang rindu buah hatinya ....
"Tidak perlu menunggu lapar kan untuk makan?"
"Mayang ingat Putri dan Andi. Mayang ingin tahu apakah mereka sudah makan? Apakah mereka baik-baik saja tanpa Mayang?" sahut Mayang lesu. Dia kangen sekali dengan anak-anaknya. Terutama Putri berkali-kali anak itu menghubunginya, tetapi Mayang tidak memperdulikannya karena ketika mengingat Putri, diingatnya pula pengkhiatan suaminya. Namun, sekeras apa pun Mayang ingin membenci Putri, dia tak bisa. Kehadiran Putri dan Andi dam hidupnya anugrah yang diberikan oleh Tuhan. Dia sendiri yang memberi harapan mereka hidup. Dan mere jugalah yang memberi Mayang kehidupan sebagai ibu. Kehidupan yang lebih dari sepuluh tahun ia dambakan.
"Bu ... ada telpon dari Pak Alex." Dengan tergesa-gesa Bik Mun menghampiri Mayang.
"Bilang saja saya tidak ada, Bik."
"Tapi kata Pak Alex Non Putri sakit. Sekarang lagi dirawat di rumah sakit."
Begitu mendengar perkataan Bik Mun, Mayang langsung mengambil tasnya dan menyambar kunci mobil yang ada di atas meja. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, tak henti-hentinya Mayang berdoa agar Putri kesayangannya tidak mengalami sakit parah. Maafkan Mama, Sayang ... Mama jahat karena telah meninggalkan Putri ....
***
Begitu smpai di ruang inap Putri, hanya Puji dan Andi yang ada di sana. Ternyata bukan hanya Putri yang sakit, Andi pun sedang di infus. Sakit hati Mayang melihat kedua tangan anaknya ditusuk oleh jarum suntik. Puji menceritakan semua yang terjadi pada Mayang tanpa ada yang dikurangi dan ditambahkan. "Non Putri demam setelah itu, Bu. Andi juga ikutan demam tinggi karena syok." Sambil menangis Puji mencurahkan ketakutan serta kebingungannya. Mayang memeluk gadis itu dan membawanya ke luar kamar agar tidak mengganggu Putri dan Andi yang sedang tidur pulas.
"Ke mana Papanya anak-anak?" tanya Mayang begitu Puji sedikit tenang.
"Tadi katanya mau ke kantin, Bu. Sampe sekarang belum balik."
Mendidih darah Mayang mendengar jawaban Puji. Dan begitu dia melihat Hilda berjalan bersama Alex, Mayang langsung berjalan menghampiri mereka dan menampar Hilda dengan keras. "Ada hak apa kamu memukul Putri? Kamu memang orang yang melahirkannya, tapi akulah yang merawatnya. Aku yang memberinya susu, kasih sayang, dan aku juga yang mengganti popoknya. Tak pernah sekali pun aku memukul Putri atau membentaknya!"
"Mayang!" Setengah berteriak Alex memanggil nama istrinya. Dan baru kali ini Mayang mendengar suara suaminya begitu tawar. Begitu dingin. Seolah-olah dialah yang bersalah dan patut disalahkan.
"Apa, Mas? Mas Alex marah karena aku memukul perempuan ini? Marahkah Mas saat dia memukul Putri? Aku, ibunya yang merawat Putri sejak bayi, tak pernah sedikit pun mencubit Putri dan Andi! Apa haknya memukul Putri, Mas!"
"Hilda adalah ibu Putri! Dialah ibu kandungnya. Hilda punya hak untuk mengajar Putri!" Dan ketika melihat paras istrinya berubah, barulah Alex menyesali kata-katanya.
"Mari kita cerai, Mas," kata Mayang sebelum dia berbalik dan berjalan ke arah Puji yang sudah mampu menyusun puzzle-puzzle di kepalanya. Ia menghampiri Mayang lalu memeluknya. Di bahu Puji-lah tangis Mayang pecah. Di bahu nanny yang selama ini menemaninya merawat kedua anaknya. Dialah saksi hidup bagaimana Mayang mengasihi dan mencintai mereka. Dia juga menyaksikan ketika Mayang harus begadang kalau Putri atau Andi sedang sakit. Padahal, saat itu masih ada dirinya dan Kani, tapi Mayang ingin merawat mereka dengan tangannya sendiri karena itulah yang seharusnya dilakukan seorang ibu berapa banyak pun pembantu yang dimiliki.
***
"Mama ...." Andi lebih dulu bangun dan menyadari kalau Mayang ada di samping tempat tidurnya.
"Iya, Sayang. Maafkan Mama karena pergi ninggalin Andi, ya." Diciumnya anak itu. Dipeluknya pelan-pelan dan tidak terasa air matanya mengalir lagi.
"Mama gak akan pergi lagi kan, Ma? Kalau Mama pergi, Andi mau ikut Mama."
"Pasti, Sayang. Pasti. Mama gak akan pergi ke mana-mana tanpa Andi dan Putri."
Lagi-lagi air mata membasahi pipi Mayang. Dan melihat pemandangan itu, Puji pun ikut manangis. Dari Mayang dia banyak belajar apa arti menjadi seorang ibu. Ibu bukan hanya dia yang melahirkan, tetapi ibu adalah dia yang merawat anak-anaknya penuh cinta dan kasih sayang. Dialah ibu yang tak memiliki hubungan darah, tetapi rela memberikan nyawanya.
***Bersambung ....
0 Comments