Izinkan Aku Mengobati Lukamu. Bab 5



"Sore, Om, Tante ...." Juwi, Desi, dan Nunik menyapa begitu melihat Mayang dan Rahman yang duduk di ruang tamu. Baru saja mereka pulang dari rumah sakit. 
"Sudah mau pulang?" 
"Iya nih, Tan. Kalau malam baru pulang, bisa dimarahin nyokap!" Juwi memang yang paling cerewet di antara mereka bertiga. Paling bisa membawa suasana. Di dalam raut wajahnya, seolah-olah Juwi tak punya beban apa-apa selain berat tubuhnya. 
"Biar diantar Pak Supri, ya." Mayang tidak menawarkan, tapi meminta. "Supaya orangtua kalian tidak kuatir."
"Wah, kalau Tante Mayang maksa sih kita gak nolak. Biar Pak Supri ada kerjaan gitu, Tan. Dari tadi ngelus-ngelus mobil melulu."
Mereka semua tertawa kecuali Rahman. Dia hanya tersenyum sambil memandang perempuan di depannya. "Pak Sup ...."
Pak Supri, suami Kani yang memang umurnya terpaut jauh langsung berjalan tergesa-gesa. 
"Nggih, Bu."
"Tolong anterin anak-anak ke rumah ya, Pak. Buka jendela kalau sudah sampe depan rumah. Biar tahu kalau Pak Supri yang antar."
"Baik, Bu. Ayo Nona-nona calon dokter. Langsung masuk mobil. Keburu malam."
"Kita pergi dulu ya, Tan ...." Mereka semua berpamitan, tetapi Juwi masih sempat-sempatnya menggoda.
"Jangan lupa undang kita kalau Om dan Tante nikah, ya ...."
Astaga. Mayang malu bukan main. Pasti Putri yang memberitahu mereka. Habisnya, siapa lagi? Ternyata semalam saat di dalam mobil, anaknya pura-pura tidur. 
"Ayo kita menikah minggu depan," kata Rahman begitu mereka hanya tinggal berdua. 
"Tapi, Mas. Aku belum ngasih tahu anak-anak."
Lelaki itu menggeser tubuhnya mendekat ke arah Mayang. Diambilnya tangan wanita itu dengan erat dan khidmat. "Mayang ... anak-anak sudah dewasa. Mereka pasti mengerti."
"Nah, betul kata Om Rahman!" Suara Putri tiba-tiba muncul entah dari mana. Lekas Rahman melepaskan tangan Mayang dan menggeser tubuhnya menjauh. Duh, malunya. Kepergok kalau sedang bermesraan. 
"Sudah baikan, Put?" Rahman tetap tak bisa menyembunyikan rasa gusar di depan Putri. 
"Sudah, Om. Makasih ya, Om. Sudah bantuin Putri."
"Sama-sama. Oya, kalau begitu Om pulang dulu, ya."
"Om gak nginep lagi?"
"Ah, gak. Urusan Putri kan sudah selesai."
"Ya, urusan sama Mama kan belum kelar, Om!"
"Hus! Jangan goda Om Rahman!" Mayang menyenggol bahu putrinya dan laki-laki itu pun cepat pergi. Rasanya serba salah. Masih tua, tapi masih diledekin anak muda.
"Mama kecewa ya Om Rahman pulang?" ledek Putri yang siap kabur ke kamarnya. 
"Putrii! Seneng sekalinya ngeledekin Mama?" 
Gadis itu lari ke kamarnya sambil tertawa. "Habisnya Mama kayak anak remaja, sih. Pake malu-malu segala."
***
"Pengumuman apa sih, Ma?" tanya Dira begitu selesai minum susunya. 
Putri yang masih mengantuk pun menguap. Tumben-tumbenan pagi begini mama mau ngasih pengumuman penting.
"Ma, tunggu Putri gosok gigi dulu deh, Ma. Mulutnya bau pete!" ejek Andi ketika adiknya menguap.
"Sialan! Enak aja bau pete. Mulut gue bau bunga tujuh rupa!"
Dira tertawa kecil dan langsung ingat film horor yang semalam ditontonnya dengan Puji. "Mbak Putri temannya Suzana, ya?"
"Sundel bolong, dong!"
Gadis cilik itu tertawa lagi sampai matanya basah. Meskipun di antara mereka bertiga Dira-lah yang tak mengenal papa mereka, tapi gadis itu merasa tak pernah kekurangan kasih sayang. Semua orang yang ada di rumah menyayanginya tak terkecuali Rahman. Pria itulah yang selalu mendampingi ketika Mayang hamil. Dia jugalah yang mengantarkan Mayang ke dokter kandungan. Dan sampai Dira lahir pun, Rahman-lah yang kerepotan dibuatnya. "Aku akan menganggap Dira seperti anakku sendiri, Mayang. Kamu boleh menolakku sebagai suamimu, tapi tolong jangan tolak aku untuk menyayangimu anakmu."
Mayang terharu dibuatnya. Pria itu selalu di sampingnya dalam keadaan sesulit apa pun. Itulah sebabnya dia masih mampu berdiri ketika ayah Mayang meninggal. Dan ketika Dira mulai berumur satu tahun, gantian ibu Mayang yang meninggalkannya. Wanita itu merasa dirinya lelah karena Tuhan memberinya cobaan bertubi-tubi. Namun, Rahman-lah yang memberinya kekuatan padanya. "Lihatlah Dira dan Andi, May. Jika kamu lemah, bagaimana nasib mereka? Tegakah kamu merampas kasih sayang seorang ibu dari tangan mereka?"
Diperhatikannya Dira dan Andi yang sedang terlelap. Setelah kematian ibunya, Mayang merasa sendirian. Orang yang selalu memeluknya saat dia merasa lelah menghadapi peliknya dunia tak ada lagi. Mayang tak tahu ke mana lagi dia harus menyandarkan diri. 
"Mayang," kata Rahman menggenggam tangan wanita itu. "Aku tak memaksamu untuk mencintaiku, tapi aku akan selalu ada jika kamu membutuhkanku. Bersandarlah di bahuku, May. Mungkin aku tak sebaik mantan suamimu, tapi percayalah aku tak akan pernah mengkhianatimu." 
Kata-kata itulah yang membuat Mayang luluh dan perlahan membuka hatinya meski dia tak mau menikah dulu. Namun, kini lain cerita. Dira sudah paham dengan situasi yang terjadi, Andi dan Putri sedang menempuh semester akhir. Mayang tak mau Rahman menunggunya terlalu lama. 
"Mama dan Om Rahman ingin menikah. Gimana menurut kalian?" 
"Hore, Dira punya Papa!" Dira lansung berjingkrak-jingkrak. Sejak dulu Rahman memang sudah seperti papanya dan pria itu sangat memanjakan dirinya. 
"Kalian gimana, Sayang?" Mayang melihat Putri dan Andi.
"Kita gak keberatan, Ma." Andi dan Putri saling berpandangan. 
"Mama berhak bahagia dan Om Rahman-lah yang paling berhak mendapatkan wanita sebaik Mama." Kata-kata Andi membuat Mayang tak bisa menahan tangisnya. Dan melihat itu, ketiga anaknya memeluk Mayang dan menangis bersama sampai mereka tak sadar jika Rahman sedang berdiri di ambang pintu. 
"Gak jadi masuk, Pak?" Puji bertanya sopan. 
"Gak jadi, Puj. Jangan bilang Ibuk saya ke mari, ya. Nanti saya datang lagi."
 

0 Comments