BAB 22: ISTRI KEDUA SUAMIKU


 "Gimana keadaan Karin, Pah?" tanya Rosmia pada suaminya yang baru saja selesai mengangkat telepon dari Brian. Pria itu mengatakan bagaimana kejadian di rumah Karina dan untuk sementara waktu, dia akan menjaga Karina di rumahnya. 

"Kata Brian, dia baik-baik saja, Ma. Sekarang sedang nonton film bersama adiknya."

Mama menyandarkan kepalanya di bahu Papa yang rambutnya sudah tak botak lagi. Meski terlihat jarang, helaian rambut di kepalanya juga mulai tumbuh seperti rambut putrinya. "Ini semua salah Mama, Pah. Gara-gara Mama, Kehidupan anak kita jadi berantakan."

"Sudahlah, Ma. Jangan bicara ngelantur."

Seolah tak mendengar perkataan suaminya, Mama terus saja bicara sambil menumpahkan air matanya. Hatinya sakit ketika mengetahui putrinya diselingkuhi oleh pria yang paling dicintainya. Dan kini hatinya makin terasa pedih saat mendengar kabar bahwa Adam telah memukul Karina. Oh, betapa terluka batinnya. Karina memang anak yang nakal, sulit diatur, tetapi tak pernah sekali pun Rosmia melayangkan pukulan pada anaknya. Ya, Tuhan. Ingin rasanya dia mendatangi Adam dan melampiaskan kemarahan padanya. Lupakah lelaki itu terhadap pengorbanan putrinya yang tak sedikit?

"Sendainya Mama tidak mencintai Papa waktu itu. Seandainya saja Mama tidak egois dan merebut Papa dari wanita lain ...."

"Mama menyesal sudah mencintai Papa?"

Mama mendongakkan kepalanya dan menatap wajah Papa. Tanpa ragu dia berkata,"Tidak. Kalau Mama tidak mencintai Papa waktu itu, tidak mungkin ada Karina, Pa."

"Mama tidak salah, Ma. Ini semua karena Papa. Seandainya saat itu Papa bisa mencegah Karin menikah dengan Adam ...."

Belum sempat Papa melanjutkan kalimatnya, Mama menggenggam erat tangan suaminya, satu-satunya pria yang ia cintai semasa hidupnya. "Papa juga tidak salah, Pah. Ini adalah takdir yang harus kita lalui. Meskipun bukan Adam suami Karin, akankah anak itu memaafkan kita dan tidak melampiaskan kebenciannya pada Karina?"

Papa tidak menjawab. Dia tidak tahu harus berkata apa, yang jelas dia tak menyesali apa pun yang telah terjadi. Walaupun dia kembali ke masa lalu, Santoso akan tetap mencintai Rosmia, ibu dari anak yang paling dia sayangi.

***

Ibu dan Dokter Brian terperangah ketika melihat Karina keluar dari kamar Ririn. Senyumnya malu-malu dengan wajah tertunduk. 

"Jelek, ya?" Karina bertanya untuk memastikan. Selain di rumah orangtuanya, dia tak pernah sekali pun melepaskan wig. Bahkan jika itu di depan suaminya sendiri. 

"Kamu tetap cantik!" jawab Ibu sungguh-sungguh. Bagi wanita tua sepertinya, kecantikan tak lagi hanya soal penampilan, tetapi ada yang lebih penting daripada itu. 

"Tuh, kan. Ririn juga bilang apa, Mbak. Daripada pakai wig terus, kan panas!" Ririn langsung menarik wanita itu untuk duduk di sofa dan entah mengapa, seolah-olah gadis itu sengaja memberi tempat duduk yang berdekatan dengan Brian hingga tak sengaja tangan mereka saling bersentuhan hingga menimbulkan getar-getar yang mampu mengusik jiwa. 

"Mas, minta duit dong."

Bukannya Brian yang menyahut, tapi justru Ibu yang membalas. "Lho, kan jatah bulananmu masih, Rin."

"Ah, itu kan gak cukup kalau buat ke salon, Bu. Besok Ririn mau ke salon sama Mbak Karin. Iya kan, Mbak?"

Karin tak menjawab, tetapi gadis itulah yang sejak tadi merencanakan tentang salon dan juga shoping di mall. Dia pasrah dijadikan tameng, tetapi juga tidak marah karena Karin sendiri sama sekali tidak menangkap niat jahat gadis itu. Justru karena Ririn-lah Karin berani melepas wig yang menutupi kepalanya. Ririn jugalah yang tadi mengoleskan pelembab dance memoles sedikit makeup di wajahnya. Katanya, wajah Karin tidak pernah dirawat dan kulitnya terlihat lebih tua. Ah, Karin jadi malu. Namun, bukankah gadis itu memang berkata yang sesungguhnya? Dan Karin sendiri juga tidak mengingkari itu.

Brian hanya tersenyum, tidak berkomentar. Diambilnya dompet di sakunya dan mengeluarkan kartu kredit berlogo diamond lalu menyerahkannya pada Karina. "Pakailah sesukamu, Rin. Sekarang sebaiknya kau tidur."

"Cieeeh, yang sayang sama calon istri. Buu, Mas Brian udah gak sayang lagi sama Ririn, nih!"

Brian mengambil bantal yang ada di belakangnya kemudian melempar pada Ririn yang duduk di samping Ibu. Gadis itu pura-pura menjerit dan terus mengadu pada ibunya, tetapi Karin yang melihat pemandangan itu yakin bahwa Brian sangat menyayangi adiknya.

***

Ririn begitu antusias karena hari ini dia pergi bersama Karina. Dia tak sabar lagi ingin menjadikan wanita itu kakak iparnya. Selain karena dia begitu menyayangi Karin, dia juga tak mau Brian keburu menjadi perjaka tua.

"Mbak, kapan Mbak Karin dan Mas Brian nikah?"

Karin yang sedang sarapan tersedak mendengar pertanyaan Ririn.

"Hus, jangan tanya yang aneh-aneh," sela Ibu sambil memberikan obat pada Karin. "Brian bilang kamu lupa bawa obat, semalam dia memberikan ini pada Ibu."

"Ah, makasih, Bu," balas Karin kaku. "Oya, di mana Brian, Bu?"

"Dia sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali. Begitulah dokter, gelar saja yang mentereng, tetapi kerjanya kayak kuli. Harus siap siaga satu kali duapuluh empat jam!"

Karin tak membalas lagi. Ia merasa canggung dan merasa perlu menjelaskan situasi yang sebenarnya. "Bu, Rin, sebenarnya aku sudah menikah dan punya anak," kata Karin setelah menghirup napas panjang dan terasa berat di dada.

Namun, reaksi Ibu dan Ririn sungguh ada di luar perkiraan Karin. Mereka sama sekali tidak kaget. Tidak juga merasa  Karin wanita yang tak punya adab karena bersama laki-laki lain meski dia sudah menikah. "Ah, gak masalah, Mbak. Jaman sekarang kan banyak orang kawin cerai."

"Ririn ...." Ibu mengeram marah karena merasa  anak gadisnya itu tak punya sopan santun dan terlalu lancang.

"Ah, kan Ririn benar Bu. Lagipula kita semua tahu kalau Mbak Karin sudah menikah, kan?"

Ups! Buru-buru Ririn menutup mulutnya karena kelepasan bicara. Karin sendiri merasa aneh, merasa ada yang disembunyikan oleh keluarga Brian.

Melihat gelagat Karina, Ibu langsung menggenggam tangan Karina. "Boleh minta waktunya sebentar Cah Ayu? Ibu mau bicara."

Karina mengangguk dan mereka berdua pun pergi ke kamar Ibu. Kamar sederhana yang bersih dan segar karena jendelanya telah terbuka. Sekilas, Karin bisa melihat bagiamana rapi dan hijaunya taman belakang rumah karena dihiasi bunga dan juga beberapa sayuran. Ibu Brian pasti ibu rumah tangga yang rajin pikir Karin.

"Duduklah, Rin." Tidak ada sofa atau kursi di kamar itu, jadi Karin duduk di atas ranjang sembari menunggu Ibu yang mengambil sesuatu dari dalam lemari.

"Ini foto Ririn saat baru lahir." Ibu duduk di sebelah Karina dan memperlihatkan selembar foto bayi mungil yang amat cantik. Bahkan, kecantikan itu terus ada sampai dia dewasa. "Brian meminjam kodak milik teman sekolahnya dan mencetak foto Ririn. Katanya, biar punya kenang-kenangan."

Dari bibir Karin hanya keluar kata 'oh' lantaran dia tidak tahu harus berkata apa.

"Saat Ririn lahir, ayahnya sudah meninggal. Dia tidak meninggalkan apa-apa selain becak. Dan saat Ibu mau melahirkan, Brian-lah yang mengantar Ibu menggunakan becak itu. Namun, siapa sangka bahwa becak yang dikendarai Brian menabrak mobil."

Tiba-tiba ingatan Karin kembali ke masa lalu. Saat dia masih duduk di bangku SMP. Mungkinkah ....

"Meski hari itu kami mendapat musibah, untungnya Tuhan masih berbaik  hati. Dia mengirimkan.seorang malaikat untuk menolong kami," lanjut Ibu yang tak mampu lagi membendung tangisnya. Digenggamnya  tangan Karin dengan penuh kasih. "Dan akhirnya kami menemukan malaikat itu lagi."

Karin kehabisan kata-kata. Itukah sebabnya dia merasa tidak asing dengan Ibu. Ia merasa sudah pernah melihatnya, tetapi lupa entah kapan dan di mana. Kini dia juga menyadari  satu hal, Brian sudah mengetahui dirinya yang sebenarnya. Itu sebabnya lelaki itu terus bersikap baik dan selalu mengejarnya. Ia ingin balas budi karena dahulu Karina pernah menolongnya. Lalu ... balas budi jugakah pernyataan cinta lelaki itu?

"Terima kasih, Rin. Maafkan Ibu karena baru sempat berterima kasih."

Karina menggenggam tangan Ibu dan mengelusnya. "Tidak perlu minta maaf, Bu. Karin senang ternyata bayi itu tumbuh menjadi gadis cantik."

"Dan nakal? Ibu sampai kuwalahan mengurusnya."

"Apakah karena Karin Ibu ngasih nama Ririn nama yang sama?"

Ibu tersenyum lebar dan mengelus pipi Karina yang tak begitu halus. "Bukan Ibu, tapi Brian. Dia ingin adiknya tumbuh menjadi gadis yang cantik dan baik sepertimu."

"Kecantikan dan kebaikan itu sudah hilang, Bu. Seperti yang Ibu tahu, Karin sudah menikah, ditambah sekarang juga penyakitan."

Wanita paruh baya itu mampu membaca kesedihan dan keraguan Karina. Dipeluknya Karin yang tengah bimbang dengan pikirannya sendiri. "Kecantikan dan kebaikan sesungguhnya bukanlah apa yang bisa dilihat oleh mata, Rin. Ibu juga berharap kamu bisa melihat ketulusan anak Ibu. Percayalah, Brian mencintaimu bukan karena apa yang telah kamu lakukan untuk kami. Melainkan karena kamu memang pantas mendapatkannya."

0 Comments