Pesona Istri Kecilku (13)

Novel pesona istri kecilku

 Semula Dewangga sendiri berpikir bahwa dia membenci Sinta, tetapi setelah mengenal gadis itu meski hanya sehari, melihat betapa polosnya Sinta, dan betapa lemahnya gadis itu, ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Dia ingin melindungi Sinta untuk sebab yang dia sendiri pun tak mengerti. Terlebih lagi neneknya menyukai gadis itu. 


Dokter Setiawan tersenyum melihat sahabatnya yang termenung sambil menyandarkan kepalanya di sofa. Pemandangan yang sangat langka. "Kalau kamu tidak jadi menikahinya, aku tidak keberatan menjadikannya istri," goda lelaki berkaca mata itu. Dia memang tidak setampan Dewangga, tubuhnya juga lebih kurus, tetapi dia adalah orang yang bisa diandalkan. Dan yang terpenting lagi Dokter Setiawan adalah pria mapan yang tak suka bermain perempuan. Barangkali itu jugalah yang menjadi penyebab kenapa dia masih sendiri. Padahal, banyak suster-suster muda yang naksir padanya. Entah apa yang dicarinya sampai umur empat puluh, tetapi masih betah melajang. 

Dewangga yang mendengar candaan sahabatnya itu merasa jengkel. Ia melempar bantal ke wajah Dokter Setiawan. "Sialan! Kalau kebelet kawin, nikahilah suster-sustermu atau pasienmu!"

"Suster-suster di rumah sakit emang banyak yang cakep, tapi gak ada yang blasteran! Apalagi yang matanya biru. Kalau pasienku, semuanya penyakitan!" jawab Dokter Setiawan menahan agar tidak tertawa. Jarang-jarang dia bisa menggoda Dewangga seperti ini. Kesempatan langka!

Mata biru ... Dewangga bergumam. Ia jadi penasaran apakah gadis itu sudah selesai makan. Dan kalau sudah selesai makan, apakah dia akan mandi? Ah, andai saja ....

Cepat-cepat Dewangga menggelengkan kepalanya cepat dan mengusir pikiran kotor itu. Untuk apa dia tahu Sinta ingin mandi atau tidak? Untuk apa juga dia membayangkan mandi bersama gadis kecil yang pantas menjadi anaknya itu? Kacau! Dewangga benar-benar merasa dirinya kacau sejak bertemu dengan Sinta. 

"Pergilah ke Bali. Di sana banyak bule yang matanya biru!" sahur Dewangga gemas. Dia tidak suka kalau ada lelaki lain menginginkan calon istrinya meskipun itu hanya sekadar candaan. 

"Bule di sana kulitnya putih-putih. Rambutnya juga pirang. Yang begitu bukan seleraku!"

Dewangga makin kesal saja. "Lantas, seperti apa seleramu?" tanya Dewangga makin gondok.

"Yang seperti calon istrimu. Lokal rasa bule! Ha-ha-ha!" Dojter Setiawan tertawa puas. Dia senang melihat Dewangga marah seperti itu karena seorang gadis. 

Sialan! Sekali lagi Dewangga melempar sesuatu ke arah sahabatnya yang tertawa puas itu, tetapi kali ini bukan bantal yang empuk. Melainkan sepatunya yang sebelah kiri.

"Eits! Jangan lempar sepatu dong, Bos!" Dokter Setiawan berhasil menangkap sepatu Dewangga sebelum mendarat di wajahnya. "Lempar duit aja. Lagi bokek, nih! Waktunya bayar cicilan!"

Dewangga tidak menanggapi lagi. Suasana hatinya sedang buruk, ditambah lagi dengan candaan kawannya yang dianggap tidak lucu sama sekali. Hatinya makin jengkel!
"Cepet menyingkir dari rumahku atau aku akan melemparmu keluar gerbang!"

Dokter Setiawan langsung beranjak dari kursinya sambil tersenyum senang. "Santai, Mas Bro. Galak amat! Ntar cepet tua, lho. Makin kelihatan kalau kamu kayak bapaknya Sinta!"

Belum sempat Dewangga melempar jambangan yang ada di sebelahnya, Dokter Setiawan sudah lari terbirit-birit. Tidak percuma dia sering lari-lari di koridor rumah sakit kalau kebetulan ada pasien yang membutuhkannya di ruang UGD.

***

Sinta terkejut ketika Dewangga tiba-tiba masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Sebaliknya Dewangga juga terperanjat ketika melihat pemandangan di depannya. 

Gadis itu langsung mengetatkan handuk yang melilit di tubuhnya. Berusaha menutupi dada dan pangkal pahanya, tetapi itu percuma saja. Handuk yang dipakai itu adalah milik Dewanggga dan ukurannya terlalu kecil. Selain itu, meski tubuh Sinta tergolong kurus, tetapi di bagian-bagian tertentu terbentuk sangat sempurna. Pinggangnya yang ramping serta dadanya yang nampak bulat dan penuh meski sudah ia tutupi dengan tangannya. 

Sesaat Dewangga yang melihatnya pun tidak bisa berkata-kata. Dia tidak menyangka apa yang tadi dia bayangkan menjadi kenyataan. 
Sebisa mungkin lelaki itu bersikap tenang, padahal hatinya sedang tak karuan karena melihat pemandangan itu. Dan saat matanya bertemu dengan mata biru Sinta, lelaki itu seolah tenggelam ke dalam birunya lautan. Sangat tenang, menggoda, dan mematikan. Itulah efek mata biru Sinta menurut Dewangga.  Mata yang mampu membuatnya bersikap di luar kebiasaannya.

"Ehem!" Lelaki itu berusaha mengusir kekakuan di antara mereka. "Itu handuk saya."

"Mma—maaf, Pak. Akan aku lepas." Spontan Sinta melepas handuk itu dan membuat Dewangga sangat terkejut. Dengan jantung yang seperti mau meledak, dia membalikkan badan sambil menelan air liurnya. Dia benar-benar tidak mengerti, Sinta itu polos, bodoh, atau dengan sengaja melakukannya?

"Lupakan saja! Cepat pakai handukmu lagi."

"Pak Dewa gak marah aku pake handuk Pak Dewa?" 

Ya, ampun! Dewangga benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Suara Sinta yang terdengar lugu seperti anak lima tahun itu membuatnya kesal. 

Akhirnya lelaki itu berjalan miring sambil memejamkan mata mendekati tempat tidurnya. Ia menarik selimut dan berjalan cepat ke arah Sinta yang sudah melilitkan handuknya kembali. 

"Aku marah karena handuk itu terlalu kecil!" jawab Dewangga gelagapan sambil melilitkan selimut tebal di tubuh Sinta. Sekarang, bagian tubuh wanita itu tidak ada yang terlihat kecuali wajahnya. Gadis itu persis seperti kepompong sebelum menjadi kupu-kupu.

"Soalnya cuma ini aja yang ada, Pak. Gak ada yang gede." 

Arrggh! Dewangga jadi makin kesal. Lelaki itu mengangkat tubuh Sinta dan menaruhnya di atas tempat tidur. 

"Duduk di sini. Jangan bergerak dan jangan bicara," katanya lagi dengan suara tegas. Seperti seorang bos yang memerintah karyawannya.

"Pak Dewa marah sama Sinta? Gara-gara pakai handuk Pak Dewa?" tanya Sinta yang sama sekali tidak mengerti ucapan Dewangga. Padahal pria itu sudah menyuruhnya diam, tetapi tetap saja gadis itu bicara seperti radio rusak.

Melihat mata gadis itu yang memandangnya dengan heran, bibirnya yang kemerahan dan mengerucut, serta suaranya yang lembut dan terdengar manja, membuat Dewangga makin kesal saja. Gadis itu memang polos, bodoh, tapi dia juga sering membuatnya naik darah.

"Sinta?" tanya Dewangga dengan penekanan sambil memandangi Sinta yang mendongakkan wajah.

"Ya, Pak?"

"Kamu tidak mengerti yang saya ucapkan?"

"Pak Dewa nyuruh Sinta duduk di sini, kan?"

"Terus?"

"Nyuruh Sinta gak boleh ngomong." Sinta langsung menutup mulutnya. Melihat wajah calon suaminya yang tegang dan seperti ingin meledak, dia merasa agak takut. 

Setelah mendesah panjang, Dewangga berbalik dan berjalan menuju lemarinya. Di sana hanya ada pakaiannya, tidak ada pakaian seorang gadis. Terpaksa dia mengambil kaos miliknya yang berwarna putih dan celana pendek. "Pakai ini." Pria itu melempar pakaiannya ke atas tempat tidur lalu keluar kamar. 

Huh! Sinta memang gadis aneh. Dia menjengkelkan, tetapi kenapa aku tidak membencinya?

0 Comments