"Pak ...." Betapa lembut dan merduanya Sinta, membuat Dewangga yang sejak tadi menunggu di luar kamar menoleh, tetapi ketika melihat gadis itu berdiri di ambang pintu, membuatnya membalikkan tubuh lagi.
Astaga! Lelaki itu menepuk keningnya. Sekarang Sinta memang telah berpakaian, tubuhnya tidak lagi memperlihatkan lekuk seperti tadi, tetapi gadis itu tidak memakai bra! Dewangga bisa melihat dengan jelas bagaimana ujung dada gadis itu.
"Di mana bra-mu? Kenapa tidak memakainya?" tanya Dewangga yang masih membelakangi calon istrinya. Rasanya bukan hanya darahnya yang mendidih dan naik ke kepala, tetapi jantungnya juga berdetak-detak sangat cepat seperti musik disko.
"Bra?" Sinta bertanya kebingungan. Kata-kata itu asing baginya. Dan sekarang dia jadi ingat kejadian tadi saat Mona ingin mencongkel bola matanya. "Kenapa sih orang Jakarta suka ngomong yang sulit Sinta pahami? Tadi sof len, sekarang bra."
Ya, Tuhan! Rasanya Dewangga ingin menjerit.
Mau tak mau Dewangga membalikkan badan mengarah ke Sinta, tetapi dia mencoba untuk tidak melihat ke bagian dada gadis itu. "Yang kamu pakai untuk nutupi dada." Lelaki itu berkata sambil memperagakan dengan dadanya sendiri dia merasa saat ini dia sedang menjadi seorang ayah yang mengajari anak gadisnya tentang sesuatu yang baru.
"Oalah. Kutang? Itu aku jemur di kamar mandi. Soalnya bau keringet, makanya Sinta cuci. Kalau di rumah, Sinta juga gak pake kok kalau malem. Soalnya kutangnya Sinta satu aja. Jadi cuci kering pake." Gadis itu menjawab dengan nada yang sabgat enteng dan riang. Persis seperti anak-anak yang tidak memiliki beban dalm hidupnya.
Mendengar penjelasan Sinta, Dewangga menjadi bingung sendiri. Di satu sisi kasihan karena hidup keluarganya sangat miskin, di sisi lain dia semakin jengkel karena Sinta sama sekali tidak mengerti perbedaan antara seorang gadis dan lelaki dewasa. Dia sama sekali tidak tahu mana bagian tubuh yang boleh diperlihatkan ke orang lain dan mana yang tidak. Dia jadi bertanya-tanya, apakah ibunya sama sekali tidak mengajari gadis itu?
Dengan langkah jengkel Dewangga masuk ke kamarnya dan mengambil jaket dari dalam lemari. Segera dia memakaikan jaket itu pada Sinta agar dia tidak lagi melihat pemandangan yang dia inginkan. Untung saja lelaki itu bisa mengendalikan diri, kalau tidak saat ini juga dia sudah menerjang tubuh Sinta dan memuaskan hasratnya sebagai pria dewasa.
"Sekarang tidurlah." Dewangga berkata sambil lalu karena tubuhnya merasa panas, gerah, dan ingin segera mandi. Begitu sampai di kamar mandi, dia melihat pemandangan yang yang tidak pernah ada di rumahnya. Yaitu pakaian, bra, dan celana dalam yang dijemur di rak khusus handuk.
Jadi, dia tidak memakai bra dan celana dalam? Ya, Tuhan!
***
Sinta sudah tidur pulas saat Dewangga keluar dari kamar mandi. Gadis itu juga mendengkur keras seperti tadi siang saat Dewangga melihat gadis itu tidur di sofa. Karena terburu-buru harus pergi ke kantor, sengaja dia tidak membangunkan Sinta hingga akhirnya peristiwa buruk itu pun terjadi. Ibu dan adiknya menganiaya calon istrinya.
Dewangga mendesah kemudian mengambil handuk kotor yang tadi diletakkan Sinta di atas kursi. Setelah memasukkan ke dalam keranjang yang ada di kamar mandi, dia mengambil mangkok bekas bubur Sinta dan membawanya turun ke dapur. Begitu selesai mencucinya, lelaki itu bergegas ke pos satpam untuk memarahi satpam yang berjaga di rumahnya. "Sudah sering saya bilang jangan biarkan ibu dan adik saya masuk rumah," kata Dewangga sabar. Tenaganya sudah habis dan dia juga lelah marena marah-marah terus.
"Ibu sama Non Mona maksa, Pak. Saya gak bisa nolak."
"Di mana kamu saat ibu dan adik saya masuk ke dalam?"
"A—anu, Pak. Ibu nyuruh saya beli bakso di depan sana."
Ya, Tuhan! Dewangga menepuk jidatnya. Dia memang tidak bisa menyalahkan satpam yang baru bekerja selama tiga bulan itu di rumahnya, tetapi tetap saja penjaga itu harus menerima konsekuensi dari perbuatannya. Bagi Dewangga, setiap perbuatan selalu ada bayarannya. Entah itu baik atau buruk.
"Sekarang pulanglah. Besok tidak perlu kerja di sini lagi. Untuk pesangonmu, sekretasis saya yang akan mengurusnya."
Satpam yang masih berusia tiga puluhan itu menunduk lesu karena kehilangan pekerjaannya, tetapi bagaimana pun juga ini adalah risiko pekerjaan.
"Terima kasih, Pak. Saya mohon maaf karena sudah mengecewakan Pak Dewa."
Dewangga menepuk bahu pemuda itu. "Bukan sepenuhnya salahmu," katanya pelan lalu membuka gerbang menggunakan remote control. Begitu satpam itu pergi, Dewangga menekan remote sekali lagi untuk untuk menutup.
Saat berjalan ke arah rumah, dia mengambil ponsel dari dalam saku celana dan melakukan panggilan ke Pak Maman. Supir keluarga Wijaya.
"Pak, koper milik Sinta taruh saja di rumah Nenek. Besok sekretaris saya akan mengambilnya di sana. Oya, taruh saja di bagasi mobil. Jangan sampai Mona dan ibu saya tahu."
"Baik, Den. Ada lagi?"
"Tidak, Pak. Terima kasih." Ia menutup teleponnya kemudian kembali melakukan panggilan pada sekretarisnya.
"Halo, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Terdengar suara seorang perempuan dari seberang telepon. Suara yang sudah berat karena mengantuk, tetapi dia paksakan agar tidak terdengar begitu.
"Kris, tolong hire dua bodyguard untuk rumah saya. Saya baru saja mecat satpam yang baru. Sekalian beri tahu apa yang harus mereka lakukan. Saya tidak mau kecolongan lagi."
"Baik, Pak. Mohon ditunggu, ya."
"Hmmm."
Dewangga menutup panggilan itu lalu melangkah ke dapur dan membuka kulkas. Setelah mengambil satu kaleng beer, dia langsung menenggak sekali habis. Badannya sedikit rileks dan kepalanya yang tadi terasa sangat berat, sekarang sedikit enteng.
"Pak Dewa?" Terdengar suara Sinta yang menuruni tangga sambil mengucek mata. Tadi dia memang tidur dengan pulas, tetapi setelah bangun untuk buang air kecil, dia tak dapat memejamkan matanya kembali. "Bapak tidak tidur?" tanya Sinta yang langsung duduk di sofa, tidak jauh dari tempat Dewangga.
"Uhm! Bau apa ini?" Sinta menutup hidungnya karena mencium bau beer. "Kayak bau jamu cap orangtua!" protes Sinta karena bau beer itu mengisi seluruh ruangan. Dia jadi ingat beginilah aroma rumahnya kalau Bapak habis minum jamu cap orangtua.
"Jamu? Hidungmu saja yang salah," goda Dewangga sambil menyunggingkan bibirnya.
"Gak, kok. Sinta gak pilek! Sinta tahu baunya karena Bapak sering minum ini," sahut Sinta yang masih tetap menutup hidungnya. "Bapak sering marah-marah kalau habis minum jamu!"
"Kamu yang dimarahi?" Dewangga bertanya penasaran. Jamu, tuak, oplosan, memang minuman keras yang kerap dikonsumsi di kampung-kampung karena harganya yang murah.
Sinta menggeleng cepat. "Tidak. Ibu yang dimarahi. Kadang-kadang juga dipukuli."
Setelah mengatakan hal itu tiba-tiba wajah Sinta berubah murung. Dia jadi ingat ibunya dan adik-adiknya. Sekarang tidak ada lagi yang menghibur ibunya saat dia sedih dan tidak ada lagi yang membantu meringankan pekerjaan. Melihat itu semua, entah mengapa perasaan Dewangga menjadi ngilu. Ia berdiri dari sofa dan duduk di sebelah gadis itu. "Kau rindu orangtuamu?" tanyanya sambil memeluk gadis itu dengan tiba-tiba.
0 Comments