Cerpen: Salah Paham.


Lomba cerpen morfeus

-Cerpen: Salah Paham-"Kamu gimana sih Ratih, masak sayur kok asin begini. Kemarin masak sayur asem pun rasanya asam sekali. Jangan sampai nanti kusuruh masak rendang kau masukkan kelapa tanpa diperas dulu jadi santan," omel ibu mertua setelah mencicipi sayur sop buatanku pagi ini. 

Aku menarik napas berat. Beginilah hidup dengan mertua, selalu saja apa yang kulakukan salah dihadapannya. Ini masalah sayur, dua hari lalu lantai yang katanya kurang bersih setelah ku sapu dan

kemarin masalah noda di baju yang tidak hilang setelah dicuci. 

"Kalau cuci baju walau pakai mesin tetap harus dikucek dulu pada bagian nodanya," gerutunya sambil mengucek noda di kaos suamiku yang terkena noda tinta. 

Kesal juga dengan Abim, kenapa sih baju itu harus di kasih tinta hingga merepotkan aku saja. Emangnya dia pikir enak apa di omelin mertua pagi-pagi cuma gara-gara noda sedikit.

"Ibu memang begitu orangnya, tegas. Sabar, mungkin karena kalian belum saling dekat saja," hibur Mas Abim ketika aku mengeluhkan kejadian hari ini.

"Kamu mah enak Mas, tidak disalahkan, tidak dikritik. Lah aku yang setiap hari selama dua puluh empat jam bersama beliau," gerutuku kesal. 

Seperti biasa, keluhan itu hanya seperti angin lalu saja dan yang sudah bisa kuduga sabar adalah solusi yang diberikan lelaki bermata teduh itu.

“Mas, gimana kalau kita pakai jasa aisten rumah tangga saja,” usulku kemudian. 

Aku mengusulkan begitu bukan tanpa sebab, sebagai kontraktor proyek suamiku itu penghasilannya lumayan besar. Seperti sekarang ini saja, sebulan lelaki itu bisa dapat puluhan juta setiap bulannya. 

“Buat apa sih pakai jasa asisten rumah tangga segala, ini rumah juga gak gede-gede amat. Penghuninya juga cuma kita bertiga saja,” tolak ibu ketika Mas Abim meminta izin untuk menggunakan jasa asisten rumah tangga seperti yang pernah kuusulkan.

“Ibu kan sudah tua, harus banyak istirahat. Kalau ada yang bantu kan enak, Bu,” Abim merayu setelah aku memberi isyarat padanya dari kejauhan. 

“Ibu kan gak ngerjain sendiri. Ada istrimu yang masih muda, masih kuat tenaganya. Apa dia yang minta kamu sewa asisten rumah tangga,” wanita itu beralasan diakhiri dengan sindiran dengan menyebut diriku.

Aku gelagapan terlebih ketika wanita itu menoleh ke meja makan tempat dimana aku berdiri saat ini. Saking kagetnya piring yang sedang kuangkat dari meja terlepas dan jatuh ke lantai.

Pranggg

“Begitulah kelakuan istrimu, lama-lama habis semua perabot ibu,” sindirnya kesal.

Mas Abim menepuk jidatnya sedangkan aku menunjukkan ekspresi hampir menangis.

Aku tidak berputus asa setelah usahaku yang pertama gagal. Usulan kedua kuungkapkan pada Mas Abim yaitu mengambil KPR.

"Cicilan rumah itu lama. Bisa sepuluh bahkan dua puluh tahun. Kalian mau di kejar hutang sampai jadi kakek nenek," suara ibu mertuaku yang datang tiba-tiba terdengar ketus. 

Ih kenapa sih wanita itu harus muncul di tengah pembicaraan kami. Bukankah tadi dia bilang sudah mengatuk dan mau tidur. 

"Tapi, Bu…" aku tidak melanjutkannya karena Mas Abim menyenggol tanganku pelan.

"Jadi orang tuh jangan maksain, gak sanggup beli ya sabar. Jadi orang kok sukanya ngutang," sindir wanita itu kesal dan kemudian ngeloyor keluar dari kamar kami.

“Jujur ya Dek, ibu memang begitu pembawaannya tapi orangnya baik kok,” tukas Mas Abim mencoba menyabarkanku.

Baik? Ih, apanya yang baik. Mas Abim bilang begitu karena dia memang ibunya, coba deh kalau dia jadi aku. 

Jujur aku merasa iri jika mendengar cerita dari teman-teman tentang mertua mereka yang tidak pernah ikut campur urusan rumah tangga anaknya. Seperti Desi yang tetap bisa bekerja setelah menikah dengan Pras atau Kania yang bisa tinggal terpisah dari mertuanya. Sedangkan aku sendiri, suram sepertinya hidup ini. 

Ibu mertuaku itu bukan cuma bawel masalah kerjaan saja, keuangan suami juga dia yang atur. Setiap bulan aku hanya dapat jatah uang jajan saja sedang belanja baik bulanan maupun harian dan pembayaran listrik dia yang atur. Wanita mana yang tahan mendapat perlakuan seperti itu dari mertuanya.

“Protes dong Rat sama suamimu, itu hakmu loh. Kamu kan istrinya,” usul Desi terlihat sangat kesal setelah mendengar ceritaku.

“Iya, aku setuju tuh sama Desy, masa kamu yang melayani Abim tapi ibunya yang di kasih uang,” timpal Kania membuat darahku makin mendidih.

Aku protes tentang itu pada Mas Abim pun percuma karena hingga pernikahan kami masuk usia satu tahun tidak ada yang berubah tetap semua ibu yang mengendalikan.

Hingga usia pernikahan kami masuk usia dua tahun, badai itu datang. Wabah korona yang membuat kehidupan semua orang morat-marit termasuk kami karena proyek Mas Abim terhenti. Tidak ada pekerjaan karena semua orang dianjurkan untuk berada di rumah saja. 

“Pusing aku Rat. Gaji suamiku kurang sedang cicilan hutangku banyak disana-sini,” cerita Desi dengan wajah muram ketika kami bertiga sedang melakukan video call.

“Sama aku juga Rat, Des. Ini sudah tiga bulan cicilan rumahku belum dibayar, satu bulan lagi gak di bayarkan bisa ditarik,” kali ini Kania yang mengeluh.

Pusing rasanya mendengar keluhan Desy dan Kania karena hingga bulan ke enam wabah tersebut menyerang Indonesia aku tidak merasakan dampak seperti yang dialami keduanya. Mengapa hal itu bisa terjadi? Ya, ini adalah berkat ibu mertuaku itu. Uang belanja yang selama ini diberikan Mas Abim dengan bijak diaturnya dan sisanya di masukkan tabungan suamiku.

“Bukan uang sisa belanja saja Dek yang di masukkan ibu ke tabungan ini. Setap bulan ibu menghitung pengeluaran jika kita punya asisten rumah tangga, cicilan mobil serta cicilan rumah ke dalamnya. Alasan ibu, kalau nanti uang itu terkumpul kita bisa membeli rumah dan mobil secara cash saja,” jelas Mas Abim .

Aku menarik napas panjang, ternyata perempuan itu sangat berpikiran matang tidak sezolim yang aku pikirkan selama ini. Dari penjelasan Mas Abim aku baru sadar kalau ternyata ibu sangat menyayangi kami. Wanita itu tahu kalau aku juga wanita yang sangat boros jika sudah pegang uang, itu sebabnya dia menyelamatkan hasil kerja keras putranya. Terbayang juga kalau lelaki itu menuruti semua permintaanku mulai dari ambil KPR, mobil dan asisten rumah tangga. 

Bagaimana kami membayar semuanya disaat kondisi seperti ini?

“Ini uangnya kalau untuk beli mobil sudah cukup Dik. Apa kamu masih minat untuk punya kendaraan itu?” Tanya Mas Abim kemudian.

“Pandemi gini punya kendaraan juga percuma Mas, mending simpan saja untuk kebutuhan kita karena Mas kan sedang tidak ada proyek,” usulku malu-malu karena merasa bersalah telah berprasangka buruk pada mertuaku selama ini.

Ya Tuhan, nikmatnya hidup tanpa punya cicilan hutang. Disaat suami hanya mendapatkan gaji pas-pasan aku masih bisa hidup tenang dan damai. Setelah itu, aku tidak tersinggung lagi dengan sikap ibu karena kutahu dia sebenarnya sedang mengajari menantunya menjadi istri yang baik.  Terima kasih Ibu mertua.


-Tamat-



Bio Penulis :

Saat ini author masih tercatat sebagai karyawati di salah satu perusahaan swasta di Indonesia. Walau pun cuma seorang cleaning service tetapi author sangat bangga dengan pekerjaannya tersebut karena mendapatkan banyak sekali pelajaran dari profesi yang sudah digelutinya selama lebih dari sepuluh tahun. Harapan ke depannya bisa menjadi penulis terkenal yang menghasilkan banyak uang dan semoga cita-citanya diundang podcastnya Om Deddy bisa tercapai. Hehe 

4 Comments

  1. Weh ky aq dlu bedanya sayur asem ku keaseman wkwkwkwk diomelin lah lo mau bunuh suamimu? Hahaha

    ReplyDelete
  2. Wah ada mas Abim juga di sini. Hmmm, sejak baca awal itu langsung diberikan konflik. Menarik!

    ReplyDelete