Bening. Bab 28-29

 

Penjara cinta sang taipan

Bab. 28

Kekuatan uang.


Privat jet milik keluarga Ramiro sudah mendarat di bandara internasional Soekarno-Hatta, Jakarta. Sejak 30 menit yang lalu.


Arga dan sahabatnya Raka sudah terlihat keluar dari pintu kedatangan yang langsung disambut dua orang pengawal yang ditugaskan untuk menjemput sang Tuan muda.


"Selamat siang Tuan muda. Selamat datang kembali di Indonesia."


"Hemm."


"Segera bawa barang-barang Tuan muda ke mobil. Kita langsung kembali ke rumah. Tuan muda harus segera beristirahat," ujar Raka kepada para pengawalnya.


"Kita langsung ke kantor saja!" sela Arga.


"Tapi Ga. Bukannya loe mau istirahat?"


"Kita langsung ke kantor," ucap Arga tak mau dibantah.


"Baiklah kita langsung ke kantor saja!" ujar Raka kepada para pengawalnya. Karena tidak ada pilihan lain baginya selain mengikuti perintah sang bos.


Walau kadang Raka masih sulit untuk memahami keinginan bos sekaligus sahabatnya itu yang selalu berubah-ubah dan terkesan labil.


Perjalanan dari bandara menuju gedung Ramiro group membutuhlan waktu kurang lebih 25 menit lamanya dengan kondisi jalanan yang lengang. Namun akan lebih memakan waktu lebih lama lagi jika mereka terjebak dalam kemacetan.


"Kirimkan salinan berkas perjanjian kontrak kerja sama dengan pihak Java's group ke alamat email gue sekarang!" titah Arga saat mereka masih berada di dalam mobil.


"Baiklah tunggu sebentar."


"Ga, loe yakin akan menerima tawaran kerja sama dengan pihak Java's group? Bukannya perusahaan mereka sedang berada di ambang kebangkrutan!" tanya Raka kemudian.


Tanpa menjawab sepatah kata pun Arga menoleh ke arah sahabatnya dengan senyum smirk dan pandangan yang susah diartikan.


"Bahkan si tua bangkah itu rela menyerahkan anak gadisnya sama loe hanya demi memenangkan tender ini."


Arga tampak mengangkat kedua bahunya acuh.


"Mereka sendiri yang memberi penawaran itu. Akan sangat rugi jika menolaknya begitu saja."


"Tapi-"


"Tugas loe adalah menyelidiki sejauh apa masalah krisis yang dialami perusahaan mereka. Jika semuanya memungkinkan kita bisa segera mengakuisisi perusahaan itu. Bukankah dunia bisnis memang kejam!"


Raka hanya bisa mendesah pasrah mendengar ucapan bos sekaligus sahabatnya itu. Karena ia tahu dan kenal betul sifat Arga yang sesungguhnya. Selain kejam dan arogan Arga juga termasuk pengusaha muda berdarah dingin.


Arga bahkan tak segan-segan menghancurkan siapapun yang menjadi lawannya. Hingga ia menjadi salah satu pengusaha muda yang paling ditakuti dalam dunia bisnis.


"Oke baiklah. Tapi gue masih ingin bertanya tentang suatu hal sama loe?"


Arga tampak mengangkat sebelah alisnya sebelum berkata.


"Apa itu?!"


"Bukankah loe pernah bilang sama gue akan segera menikah."


"Iya benar."


"Gue berusaha mempercayainya walapun itu susah. Katakan dengan jujur apa yang sedang loe rencanakan? Dan dengan siapa loe akan menikah?"


"Baiklah memang sudah saatnya loe tahu semuanya karena gue nggak mungkin menyembunyikan apapun dari loe."


"Baguslah kalo elo ngerti, karena kekacauan apapun yang loe ciptain pasti gue yang harus membereskannya." Raka tampak mencebik.


"Bukankah itu memang sudah menjadi tugas loe, Sahabatku!" cibir Arga.


"Dasar loe!"


"Sebenernya ini ide Mommy. Awalnya gue nolak, loe tau sendiri kan gua nggak suka apapun semua bentuk komitmen. Tapi setelah mendengar penjelasan Mommy gue akhirnya setuju karena nggak ada ruginya untuk mencoba."


"Jangan bilang ini hanya sebuah pernikahan kontrak?!"


"Yups, it's true!"


"Dan loe tahu nggak cewek seperti apa yang bakal gue nikahin nanti?" imbuh Arga.


Raka hanya menggeleng karena dia benar-benar tidak tahu. "Semoga dia bukan gadis baik-baik yang hanya akan menjadi bahan permainan, Loe!"


"Tebakan loe nggak pernah meleset. Benar dia seorang gadis kampung yang telah dibeli Mommy dari seorang germo. Namun sialnya tuh cewek cantik banget. Dan loe tahu? Malam itu gue hampir saja lepas kontrol, seandainya saja Alex nggak nelfon gue buat ngingetin untuk datang ke acara partynya Ferdinant yang diadain di Star club."


"Jadi gadis yang kalian bahas di rumah sakit malam itu adalah-"


"Yap! Gadis yang akan jadi mainan gue selama satu tahun ke depan!"


"Elo yakin dengan rencana loe ini, Ga?"


"Tentu saja. Memangnya kenapa?!"


"Tapi di sini loe ngorbanin cewek nggak berdosa, Man!"


"Apa peduli gue. Yang pasti tuh cewek juga udah nerima uang dari keluarga gue dengan jumlah yang nggak sedikit!"


"Yakin tuh cewek yang nerima uang-nya? Bukannya tadi loe bilang Nyonya Diana membelinya dari seorang germo."


"Entahlah, gue juga nggak peduli siapa yang udah nerima uang itu. Yang pasti tuh cewek udah dibayar lunas."


Raka semakin tidak menyangkah dengan apa yang telah didengarnya. Permainan orang kaya dan berkuasa benar-benar sangat menakutkan.


Namun, yang membuat Raka kepikiran saat ini adalah tentang gadis itu. Siapa sebenarnya gadis yang akan menjadi tumbal keserakahan majikannya itu.


Raka bertekad akan mencari tahu tentang identitas gadis itu. Karena terselip rasa iba tentang nasib gadis yang belum dikenalnya itu. Apalagi jika benar kalau gadis itu hanya seorang gadis lugu yang tidak tahu apa-apa. Pantaskah ia dikorbankan?


'Apapun yang terjadi aku harus secepatnya mengetahui tentang identitas gadis itu.'


*****


Di sebuah ruangan yang di dominasi dengan warna hitam putih terdapat seorang pria yang sedang mengabiskan waktunya dengan ditemani beberapa botol minuman beralkohol dan juga rokok.


Sesekali pria itu menyesap kuat nikotin yang terselip di antara jarinya dan menghembuskan asapnya ke udara hingga mengepul memenuhi ruangan.


Begitulah cara dia menikmati hidupnya sejak beberapa tahun terakhir ini. Usia senja yang seharusnya melakukan hidup sehat malah ia jadikan sebagai pecandu alkohol dan nikotin.


"Selamat malam Tuan. Nyonya Diana baru saja menelfon menanyakan keberadaan anda dan beliau juga bertanya apakah anda akan pulang malam ini?"


John datang mengganggu kesenangan sang bos yang sedang menikmati kesendirian-nya.


"Apa yang kau katakan padanya?!"


"Saya berkata bahwa anda berada di sini tapi saya belum memastikan tentang kepulangan anda kepada beliau."


"Bagus! Biarkan saja seperti itu. Tidak ada gunanya juga memberitahunya aku pulang atau tidak, karena aku tahu semua itu hanya kepura-puraannya saja."


"Kalo tidak ada lagi yang Tuan butuhkan saya pamit dulu. Tuan bisa memanggil saya kembali jika membutuhkan bantuan. Permisi!" Sang asisten pun keluar dari dalam ruangan bernuansa maskulin itu setelah membungkukkan tubuhnya sebentar.


Bahkan pria bernama John itu sempat mengedarkan pandangannya sekedar untuk melihat kondisi ruangan yang tampak penuh dengan foto perempuan cantik yang menghiasi setiap sudut dinding ruangan ini selama belasan tahun. Sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan ruangan pribadi sang bos yang ada di dalam apartemen ini.


Selepas kepergian John tadi mata Jordan tak lepas dari sebuah objek yang ada di depannya.


"Di mana dirimu sekarang, Cantik. Sudah terlalu lama kau bersembunyi dariku!" ucapnya seraya mengusap sebuah figura yang terdapat foto wanita cantik di dalamnya. Foto yang sama dengan ratusan foto yang menghiasi ruangan ini.


Bab. 29

Mencari informasi.


"Aku ingin kau mencarikan aku informasi tentang identitas seorang gadis yang akan segera menjadi calon istri Tuan muda!" ucap Raka pada seorang detektif swasta profesional yang telah ia sewa.


"Berikan saya sedikit saja petunjuk tentang gadis yang anda maksud itu. Fotonya mungkin," jawab pria berpakaian serba hitam itu.


"Sayangnya aku tidak punya. Dan aku juga tidak memiliki petunjuk apapun mengenai gadis itu." Raka tampak menghela nafasnya sejenak. "Bahkan namanya saja aku tidak tahu."


"Kalo seperti ini prosesnya akan sulit dan memerlukan waktu yang sedikit agak lama tapi saya akan mengusahakan yang terbaik, Tuan."


"Aku percaya dengan kinerjamu maka dari itu aku menghubungimu. Entah bagaimanapun cara yang akan kau gunakan nanti aku tetap yakin kau tidak akan pernah mengecewakan ku. Aku akan memberikan 50% pembayaran di awal dan akan melunasi sisanya jika kau sudah menyelesaikan misinya." Raka tampak menyerahkan selembar cek kepada pria di hadapannya.


"Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk menggali semua informasi mengenai identitas gadis itu."


"Sepertinya aku tahu kau harus memulai dari mana untuk menyelidiki masalah ini. Begini-"

Raka memperbaiki posisi duduknya agar lebih tegak sebelum melanjutkan penjelasannya.


"Akhir-akhir ini Tuan muda sering mengunjungi salah satu rumah di kawasan Jakarta Timur. Kau mulailah menyelidikinya dari sana. Cari tahu apa saja aktifitas yang terjadi di dalam rumah itu."


"Baik saya mengerti dan saya akan memulainya hari ini juga. Kalo begitu saya permisi!"


"Baiklah lakukan tugasmu dengan baik. Aku tunggu kabar baiknya."


Raka menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi selepas kepergian detektif swasta yang telah disewanya tadi.


"Arga Arga sekarang kekacauan apalagi yang akan kau buat. Tidak bisakah kau memberiku waktu tenang barang sebentar saja. Aku sungguh pusing dengan semua tingkah lakumu selama ini!" desahnya frustasi.


"Semoga orang itu bisa secepatnya memberiku informasi mengenai identitas gadis yang akan dinikahi Arga. Aku tidak mau ada seorang pun yang akan menjadi korban keserakahan keluarga Ramiro terutama Nyonya Diana. Wanita itu benar-benar sangat ambisius, kejam dan menakutkan."


Kring ... kring ... kring!


"Ya Tuan muda."


"Loe di mana Rak? Cepat kemari ada yang ingin gue bicarain sama loe!"


"Oke bos siap meluncur!"


Klik-


Sambungan interkom pun diakhiri, Raka pun bergegas meninggalkan ruangan untuk segera datang menemui sang bos di dalam ruangannya.


Di lantai paling atas Ramiro tower. Tepatnya di dalam ruangan milik Arga.


Tok ... tok ... tok!


"Permisi Tuan muda, apa ada yang perlu saya bantu?" tanya Raka yang baru saja keluar dari balik pintu.


"Nggak usah sok formal loe!" cebik Arga tanpa mengalihkan perhatiannya dari berkas-berkas yang memenuhi mejanya.


"Elah, memang begini kan seharusnya sopan santun yang baik dan benar, dilakukan oleh bawahan kepada bosnya. Gue nggak mau ya menyandang predikat sebagai bawahan durhaka kepada bosnya," ucap Raka sembari menaik turunkan kedua alisnya.


Pletakk-


Sebuah bolpoin mendarat tepat di pelipis Raka hingga membuat pemuda itu mengaduh kesakitan.


"Hobi banget sih loe ngelempar gue pake pulpen!" gerutunya sembari mengusap pelipis korban lemparan bosnya tadi dengan telapak tangan. "Kalo nggak benjol kanan benjol kiri gue. Nasib jongos gini amat dah!" imbuhnya.


"Gimana kuda yang gue pesen dari Belanda kemaren, Rak. Apa loe sudah mengurus prosedur dan perizinannya?"


"Semuanya sudah beres bos. Kita tinggal menunggu pengirimannya saja. Sabar dikit kenapa sih?"


"Gue kira loe lupa. Lama banget soalnya!"


"Gue bilang juga apa, sabar! Loe pikir ngedatangin kuda dari Belanda sama kayak loe beli dodol di mangga dua!" sewotnya.


"Bukannya mangga dua tempat grosir baju ya?" ucap Arga dengan polosnya.


"Bukan, jual kue cucur!"


"Apa itu sejenis makanan?" 


Arga tampak mengernyitkan keningnya bingung yang membuat Raka ingin sekali menertawakan wajah cengo sahabatnya itu.


"Serah loe deh. Pusing gue ngomong sama sultan. Elo nggak pernah kan campurin air ke dalam botol sampo yang hampir abis biar dapat digunain lagi pas tanggal tua?" tanya Raka mulai melantur.


"Belom, emang loe pernah?!" Arga kembali bertanya dengan polosnya.


"Astaga tentu saja. Gue ini rakyat jelata bukan sultan kayak loe, Ga. Eh tapi loe masih bisa ngupas buah salak 'kan?"


"Udah mulai gila loe yah? Paan sih nggak jelas banget!"


"Ha ha ha kenapa kita jadi alay gini ya. Pake acara ngomongin hal yang nggak penting segala."


Tawa kedua sahabat itupun meledak dan menggema di setiap penjuru ruangan yang untungnya sudah didesain kedap suara.


"Eh tapi gue jadi curiga nih-" Raka mulai menaik turunkan kedua alisnya hingga membuat Arga waspada karena sahabatnya itu pasti akan bertanya yang tidak-tidak.


"Apa lagi?!" gusar Arga yang terus mendapat godaan dari sahabatnya itu.


"Ini pertanyaan penting banget dan gue penasaran banget dengan jawabannya."


"Apa?!" Arga semakin gusar.


"Sebenernya loe tau nggak sih jalan menuju dapur rumah loe sendiri? Hwa ha ha ...!" Raka sudah tidak sanggup lagi menahan tawanya.


"Bangsat ... anjing ...!" umpat Arga kemudian ikut tertawa bersama sahabatnya itu.


Kali ini bukan bolpoin lagi yang mendarat di tubuh Raka tetapi buku yang cukup tebal Arga lemparkan ke arah sahabat laknatnya itu.


Sepertinya sudah lama sekali mereka tidak tertawa lepas seperti hari ini. Seperti waktu dulu sebelum mereka mengenal apa itu yang dinamakan masalah kehidupan. Seandainya saja bisa, mereka ingin kembali ke masa di mana mereka hanya dipusingkan dengan masalah tumpukan tugas kuliah.


Arga keluar dari gedung Ramiro group saat senja sudah mengintip dari ufuk barat. Langkah panjangnya membawa dia menuju parkiran khusus di mana mobilnya berada saat ini. Berkali-kali pemuda itu melirik jam tangan mahal yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.


"Sial! Gue telat!"


Bip-


Kunci otomatis mobil menyala setelah pemuda itu menekan tombol remotnya. Tanpa menoleh kanan kiri Arga pun langsung masuk ke dalam mobil sport-nya dan segera menginjak pedal gas meninggalkan basement Ramiro tower.


Tanpa sepengetahuan Arga ada seseorang yang sedari tadi mengawasi gerak geriknya sejak berada di parkiran basement. Sosok asing yang mengendarai mobil berwarna hitam itupun berusaha mengikuti ke mana mobil Arga pergi dari belakang. 


Super car yang dikemudikan Arga tampak membela jalanan yang selalu padat dengan lalu lalang kendaraan.


Arga melirik spion mobilnya beberapa kali karena ia merasa ada sesuatu yang tidak beres di belakangnya. Namun ia segera menepis pikiran tersebut.


"Mobil di belakang itu kelihatan aneh banget. Ah, mungkin hanya perasaanku saja," monolognya kemudian ia semakin menambah kecepatan mobilnya.


Setelah beberapa saat berkendara, akhirnya mobil yang dikendarai Arga memasuki sebuah gerbang rumah yang tinggi nan megah di salah satu kawasan elit daerah Jakarta timur.


Mobil yang sedari tadi membuntuti Arga pun ikut berhenti dan mengambil beberapa gambar dari dalam mobil.


"Aku menemukanmu," gumam pria asing itu sebelum membenamkan letak topinya agar lebih menutupi wajah.


"Baiklah cukup untuk hari ini. Aku akan kembali besok!"


Mobil hitam itupun segera meninggalkan tempat di mana ia berhenti tadi dan akan melanjutkan misinya esok hari.

0 Comments