Cerpen: Perihal Mertua

Lomba cerpen Morfeus


-Cerpen: Perihal Mertua-Pagi-pagi sekali, kamu dihubungi Rianti —teman yang akhir-ahkir ini akrab denganmu—lewat pesan WhatsApp. Dia ingin menemuimu saat itu juga. Dia merasa perlu berbincang denganmu segera untuk membahas sesuatu. Ketika kamu menanyakan perihal apa itu, dia tidak menjawab.


Nanti saja, tulisnya di pesan WhatsApp.


Usai menyudahi obrolan melalui pesan, kamu mengambil handuk, bergegas mandi. Pikirmu, pada saat Rianti datang, kamu sudah segar dan siap berbincang. Selama mandi, kamu sempat menduga-duga, apa yang ingin dibicarakan Rianti, tapi dari semua yang kamu pikirkan, tidak ada yang kamu yakini nantinya benar. Meski begitu jika kamu memilih salah satu dari dugaanmu itu, kamu memilih perihal rencanamu mendirikan kafe bersama Rianti. Pikirmu, karena hanya tentang itu yang kamu anggap serius.

 

Tepat sekali perkiraanmu, bukan tentang apa yang akan Rianti bicarakan, tetapi ketika kamu selesai mandi, persis pada saat itu dia datang. Setelah ganti baju dan mematut diri, kamu menemuinya di teras, lalu mengajaknya masuk di ruang tamu. Sementara pintu depan tetap kamu biarkan terbuka. Tanpa basa-basi kamu langsung menanyakan apa yang akan dia bincangkan. Dia tak segera menjawab, bahkan hening sempat menyergap di antara kalian. Karena hal itulah kamu sempat merasa tidak enak, dan karena itu pula, kamu langsung berpikir, mungkin apa yang akan Rianti bicarakan memang sebuah masalah.


"Aku ingin pulang," katanya.


"Hanya itu?" tanyamu.


"Kamu lupa? Kita kan baru saja membuat rencana," sahutnya.


Tentu saja kamu tidak lupa, bahkan apa yang Rianti katakan sesungguhnya sudah kamu duga. Dan ketika munculnya pernyataan itu bukan dari kamu, justru hal itulah yang kamu harapkan. Intinya kamu tidak ingin mengutarakan pernyataan tentang rencana kafe itu lebih dulu.


"Sampai kapan?" Pertanyaanmu itu sekaligus kamu maksudkan sebagai isyarat  bahwa kamu tidak berpikir bahwa dia tidak akan kembali.


Rianti tidak segera menjawab, dan kamu sudah memberinya pertanyaan lain, tentang mengapa keinginan pulang itu terkesan tiba-tiba. Dan untuk pertanyaan itu, temanmu dengan cepat memberi penjelasan, bahwa sebenarnya bukan tiba-tiba, hanya dia tidak mengira keinginan ibu mertuanya untuk membuka toko roti ternyata hendak diwujudkan sekarang.


"Lalu apa hubungannya denganmu?" tanyamu.


"Akulah yang diminta membantu,” jawab Rianti.


"Kamu diminta membantu mertuamu?"


Rianti mengangguk. "Aku minta maaf."

 

"Jadi kamu tidak...."


"Iya, akan seterusnya di sana." Bicaramu belum selesai, Rianti telah menyahut.


Ketika kamu sedang bingung bagaimana menanggapinya, seorang perempuan tua yang tidak kalian kenal masuk ke rumahmu tanpa permisi. Perempuan tua itu membawa dua plastik agak besar yang menurut pengakuannya berisi pakaian.


 Perempuan itu bilang, ia baru saja diusir menantunya karena dianggap telah mengganggu kehidupan keluarganya. Ia bermaksud menitipkan dua plastik kepunyaannya dan berjanji akan segera mengambil lagi bila urusannya telah selesai. Ketika perempuan itu menerangkan begitu, kamu dan Rianti tertegun. Diam tak bersuara, seakan-akan terkena sirep.


 Setelah perempuan itu berlalu dari hadapan kalian, barulah kamu dan Rianti saling pandang. Meski bagimu kejadian itu terasa aneh, tapi entah kenapa kamu seperti tidak menganggap hal itu masalah, dan Rianti juga tidak bertanya apa pun, dan kalian juga tidak lantas membahasnya. Bahkan kalian langsung kembali melanjutkan perbincangan yang tadi sempat terjeda.


Kamu berusaha mengingatkan kepada Rianti perihal dulu kamu memintanya datang karena ingin mengajaknya bekerja sama mendirikan kafe yang sekarang sudah bukan lagi sekadar rencana. Bahkan sebagian keperluan dan permodalan yang bersifat tetap sudah mulai kalian cicil. Ketika kamu mengingatkan hal itu, kamu berharap Rianti akan mengurungkan niatnya pulang, alih-alih dapat melanjutkan mewujudkan rencana membuka kafe itu.


"Adik suamiku sudah lulus, dan bekerja di luar kota,"sahutnya.


"Saudara yang lain?"


"Kakak perempuan suamiku tinggal di kota lain bersama keluarganya."


"Buka sendiri tidak berani?"


"Kupikir pertanyaanmu retoris, jadi tak perlulah kujawab."


"Lalu rencana kafe kita?"


"Itu pun sebenarnya kamu sudah punya jawabannya."


Tapi... Belum selesai kamu bicara, perempuan tua tadi datang lagi, juga tanpa permisi. Kali ini dengan menangis. Perempuan itu bermaksud mengambil dua plastik yang ia titipkan. Tapi sebelum berlalu, ia langsung duduk di hadapan kalian.


"Sebelum saya pergi izinkan saya cerita," katanya.

Kamu dan Rianti kembali seperti terkena sirep, tidak ada tanggapan apa pun. Sementara perempuan itu langsung bercerita. Ia baru saja kembali ke rumah menantunya untuk mengambil sesuatu yang tertinggal, tapi belum sempat ia mengambil barang itu, ia sudah kembali diusir, bahkan katanya menantunya sempat mendorong dan menampar dirinya.


 Perempuan itu sejenak berhenti bicara karena menangis sesenggukan dengan penuh derai air mata. Kondisi yang ada pada perempuan itu terasa semakin membuatmu tak mampu memberi tanggapan, dan bingung harus bersikap bagaimana.


Kamu hanya terpaku, demikian juga Rianti. Kalian hanya bisa mendengarkan ceritanya. Bahkan sampai waktunya perempuan itu permisi, kamu dan Rianti masih saja bengong. Mungkin kalian masih belum percaya dengan apa yang ia ceritakan.


 Tiba saatnya perempuan itu hendak meninggalkan rumahmu, dengan tetap dalam keadaan diam, kamu mengantarnya sampai di teras. Hanya sepotong kalimat singkat yang bisa terucap dari mulutmu mengiringi kepergiannya. "Hati-hati ya, Bu."


Ketika kamu kembali ke ruang tamu, hening seperti datang. Bahkan heningnya saat itu seperti telah melingkupi seluruh ruangan di rumahmu. Kamu tidak segera bicara, pun tidak segera melanjutkan obrolan dengan Rianti. Dalam situasi seperti itu, orang sering bilang, setan sedang lewat.


"Kamu percaya tadi tidak pura-pura?" tanyamu lirih.


"Sepertinya beneran. Sekilas wajahnya terlihat memar,” jawab Rianti.

Tapi sampai segitunya...."


"Iya, aku juga heran," sahut Rianti menimpali bicaramu yang sebenarnya mungkin belum selesai.


“Menantu itu...."


“Aku juga tak habis mengerti. Kita baru saja seperti orang goblok di hadapannya." Usai mengatakan begitu kamu tampak kebingungan.


"Iya,” tanggap Rianti.


"Apa perlu kita menyusulnya?" tanyamu.


"Bentar, bentar," sahut Rianti cepat.


"Kamu tahu siapa dia?" Rianti ganti bertanya.


Kamu menggeleng menanggapi pertanyaan Rianti, tapi kamu menerangkan bahwa alamat rumah yang dibilang perempuan tadi tidak jauh dari rumahmu. Jika kamu mau mencermati, pastinya kamu tahu siapa anak dan menantunya itu, atau setidaknya kamu pernah melihatnya.


"Karena itulah tadi aku menahanmu, dan bertanya tentang perempuan itu. Jika kita menolong, dan ada yang tidak berkenan justru kita bisa disalahkan," kata Rianti.


"Aku ngerti,” sahutmu singkat.


Lagi-lagi hening kembali hadir di antara kalian yang kali itu lumayan lama. Lebih lama dari hening sebelumnya, bahkan kamu sempat merebahkan badanmu pada sofa dan pandanganmu mengarah ke langit-langit ruang tamu. Sementara Rianti juga tidak segera bicara, mungkin dia merasa tidak enak hati denganmu, karena jika dia melanjutkan bicara perihal rencana kepulangannya, bisa jadi kamu akan menganggap dia telah bersiasat memanfaatkan situasi saat itu yang senyatanya memang lebih berpihak pada permasalahannya. 


"Uang hasil urunan sudah telanjur kita belanjakan. Begini saja, begitu aku sudah ada gantinya, aku langsung transfer uangmu," katamu memecah keheningan.


-Tamat-



***



Yuditeha. Penulis puisi dan cerita. Pegiat Komunitas Sastra Kamar Kata Karanganyar. Telah menerbitkan 17 buku. Buku terbarunya Sejarah Nyeri (Marjin Kiri, 2020), dan Tanah Letung (Nomina, 2020)


1 Comments