Suamiku Perkasa. Bab 77

 


"Roy, satu hari lagi. Dan kita akan kembali ke kota. Aku masih betah di sini." Gerutu Gera sambil menopang dagunya. Ia duduk santai di balkon hotel menikmati pemandangan desa yang sangat damai. 

Roy terkekeh dan berjalan mendekati Gera. Ia memeluk wanita itu dari belakang. "Aku bisa saja memperpanjang liburan kita. Tapi apa kau lupa kalau triplets pasti merindukan Mamanya?" 

"Iya. Aku egois sekali. Baiklah. Mungkin akan lebih baik jika lain kali kita pergi bersama mereka." Gumam Gera lemas. Ia lupa, kewajibannya sudah menanti di rumah. Anak-anak pasti sudah sangat merindukan dirinya juga Roy. 

Melihat Gera yang masih suntuk, Roy memiliki ide. "Bagaimana jika hari ini kita jalan-jalan sebelum packing. Besok pagi kita sudah harus kembali." 

"Kau mau mengajakku kemana?" Tanya Gera penasaran. "Aku akan mengajakmu ke daerah Sumba Barat Daya. Atau kita berangkat pulang dari sana. Jadi tidak jauh jika harus pulang pergi berwisata." Jawab Roy. 

Karena Gera sudah setuju, pagi-pagi sekali mereka berangkat menuju Sumba Barat Daya. Karena perjalanan yang panjang, Roy sudah menyiapkan stok makanan juga beberapa keperluan lain agar tidak merepotkan ketika dalam perjalanan. 

Siang menjelang sore, mereka sampai penginapan. Karena ingin sekali mengunjungi Danau Weekuri, Roy akhirnya memutuskan untuk menginap semalam lagi. "Tak apa, sayang. Anak-anak pasti akan mengerti." Kata Roy saat Gera mengeluh untuk menginap semalam lagi. 

"Kita akan pergi besok pagi-pagi, karena akses menuju lokasi yang cukup jauh." Terang Roy. "Sekarang istirahatlah!" Suruh Roy. 


***


"Roy, aku lelah." Keluh Gera saat mereka sudah setengah jalan. Beberapa kali Roy harus bertanya pada penjual-penjual souvenir di daerah sini. 

Roy menggendong Gera untuk melanjutkan perjalanan. "Jika kau mau, tidurlah. Aku akan menjagamu agar tidak terjatuh." Suruh Roy. Gera hanya mengangguk. 

Beberapa menit, mereka sampai. Gera hanya bisa menganga dan takjub akan apa yang ia lihat di depannya sekarang. "Big Wow!" Gumamnya. 

"Ini alasannya kenapa aku menyuruhmu membawa baju renang." Celetuk Roy memancing tatapan Gera. "Kau mengizinkanku memakai bikini?" Tanya Gera polos. 

Roy menjitak pelan kepala Gera. "Jangan pakai bikini. Kau gila! Itu juga milikku. Hanya aku yang boleh melihat isinya." 

"Lalu apa maksudmu menyuruhku membawa baju renang?" Jika seperti ini Gera terlihat begitu bodoh. Roy menghela napas panjang. "Ya nggak pakai bikini juga, sayang. Kamu bisa memakai baju dan celana pendek saja." Terang Roy sabar. 

Perdebatan kecil melengkapi liburan mereka hari ini. "Ingat, air danau jangan diminum. Ini air payau." Peringat Roy lembut. Gera hanya mengangguk, jika tidak sedang sebahagia ini, mungkin saja dia sudah marah-marah dan tak mau berbicara pada Roy. Beruntung kali ini dia sedang terkagum-kagum dengan pesona alam di Laguna ini. 

Puas bermain air, Gera mengajak Roy pulang karena waktu mereka untuk packing hanya sedikit. Mereka bisa istirahat di pesawat saja, pikir Gera. 

Sampai hotel, keduanya merasa tubuh mereka seakan remuk. Pegal sekali karena mereka berendam dan bermain air selama berjam-jam lamanya. "Aku merasa tulang-tulangku remuk, Roy." Keluh Gera sembari menggeliatkan badannya. 

"Same! Ayo istirahat. Semua sudah siap, termasuk oleh-oleh untuk orang rumah. Tinggal istirahat dan bersiap untuk kembali bertemu dengan triplets." Timpal Roy senang. Ia sudah tidak sabar ingin menemui anak-anaknya. Bermain dengan mereka, juga mendengar berbagai ocehan nyaring yang mereka lontarkan hampir setiap saat.

Roy sangat merindukan itu. Baginya sudah cukup quality time bersama Gera. Itu semua bisa dilanjutkan di rumah nanti. Ya walaupun terkadang dengan gangguan anak-anak. 


***

"Tante, Rico hilang! Kami sudah mencarinya kemana-mana tapi tidak ada!" Pekik Rio panik. Ray juga tak kalah paniknya, ia mengedarkan pandangan sejauh dan seteliti mungkin. 

Luisa langsung bergerak cepat mencari keberadaan Rico. Tidak biasanya Rico akan pergi sendirian tanpa saudara kembarnya. Ini aneh. Pasti ada yang tidak beres. 

"Luis, aku mohon bantu aku mencari Rico. Dia hilang. Aku sudah tidak tahu harus mencarinya kemana lagi." Isak tangis Luisa mengiringi pencarian Rico. Semua orang dikerahkan, termasuk anak buahnya Roy juga David. Mereka berpencar dan membagi tugas. 

"Tuhan, bantu aku! Gera bisa marah padaku. Apalagi Roy, ia bisa murka dan membunuhku." Cicit Luisa sedih. Matanya sembab dan merah karena sudah menangis terlalu lama. 

Ray dan Rio sudah diantar pulang duluan menuju rumah David. Mereka menangis tersedu-sedu meratapi kejadian ini. Walaupun sering beradu mulut, bagaimanapun juga mereka tetap saudara kembar. Memiliki kemiripan hampir dalam segala hal. Satu sedih, semuanya sedih. 

"Luisa, ayo kuantar kau pulang. Ini sudah malam. Kau bisa sakit nanti." Bujuk Luis. Namun Luisa menggeleng keras. 

"Ti-tidak, Luis. Ini semua salahku. Ini semua karena ke-teledoran ku yang tidak menjaga mereka dengan be-nar. Gera bisa saja mem-bunuhku na-nti." Bantahnya dengan suara terbata-bata. Ia masih terisak parah sekarang. 

Ia tidak menangis karena takut pada Gera dan Roy. Hanya saja dia membayangkan bagaimana Rico akan bertahan diluar sana. Bersama siapa. Luisa mengingat jika sejak tadi siang Rico belum juga makan. Itu membuatnya semakin tertampar. "Ini semua salahku, Luis." Gumamnya dengan air mata yang masih membanjiri wajahnya. 

"Tenanglah. Kita bisa menyelesaikan semuanya baik-baik. Dan yakinlah, kita bisa melawan semuanya." Luis berusaha menenangkan Luisa dengan memeluknya. Namun wanita itu tak kunjung tenang karena pikirannya tertuju kemana-mana. Ia masih menangis tersedu-sedu.

"Sekarang kita pulang, selanjutnya aku dan yang lain akan mencari Rico sampai ketemu." Bujuk Luis. Namun Luisa menggeleng. Ia tetap menolak keras untuk pulang. 

Luis benar-benar pusing harus berbuat apa. "Luisa, tolong jangan egois. Kau membuat semuanya menjadi semakin sulit. Sekarang aku mohon, pulang. Ray dan Rio menunggumu di rumah. Hanya kamu yang bisa menenangkan mereka, Luisa. Pak David tidak akan bisa karena kamu yang sudah terbiasa menemani mereka."

Luisa mengangkat wajahnya menatap Luis. "Tapi tolong, berjanjilah padaku kau akan menemukan Rico!" Luisa berusaha membuat persetujuan. Luis mengangguk setuju. Di samping semua masalah ini, ia juga tidak mau saudaranya kenapa-kenapa. 

Saat si kembar L sudah sampai rumah David, situasi di rumah itu sangat tegang dan kacau. Ray dan Rio yang tak kunjung berhenti menangis, juga David yang panik dengan keadaan cucunya yang hilang. "Tenangkanlah mereka, Luisa. Aku percaya kau bisa." Suruh Luis sembari mengangguk meyakinkan Luisa.

Dengan langkah lemah dan tubuhnya yang masih terguncang karena isak tangis, Luisa menghampiri mereka. "Maafkan aku, Pak. Ini semua salahku." Lirih Luisa. Ray dan Rio berlari berhamburan memeluk Luisa. 

David menggeleng, "No, Luisa. Ini sama sekali bukan kesalahanmu. Ada oknum dibalik semua ini. Aku yakin atas kecurigaanku, Luisa. Aku sangat yakin." Ujar David dengan napas terburu-buru. 

"Ray, katakan apa yang kau lihat pada Paman Luis. Mungkin saja itu semua bisa mempermudah pencarian adikmu." Suruh David panik. 

Luis mendekati Ray yang masih terisak sembari menyeka air matanya. "Jangan menangis lagi, sayang. Percayalah. Paman akan menemukan Rico secepatnya. Jangan cemas." Hibur Luis. Ray hanya mengangguk lemah. 

"Katakan pada Paman, apa yang terjadi sebelum Rico terpisah dari kau dan Rio?" Tanya Luis perlahan. Ray mengangguk dan mengangkat wajahnya melihat Luis. 

"Saat itu Ray dan Rio sedang duduk di kursi taman. Kami terus saja melihat ke arah Rio yang sedang menghampiri Ibu-Ibu yang terjatuh di pinggir jalan. Kami tahu dia memang orang yang sangat baik. Makanya membiarkan dia pergi sendirian karena hal itu sudah biasa terjadi hampir setiap kali kami keluar rumah. Ray mengajak Rio pergi membeli es krim untuk diberikan pada Rico karena dia sudah berbuat baik. Kami meninggalkannya sendirian. Lalu setelah kembali, Rico bersama Ibu itu sudah hilang dan tak ada di sekitar Taman." Tutur Ray menerangkan. Ia menyeka air matanya kasar. "Maafkan Ray, Paman. Ini semua salah Ray. Ray tidak bisa menjaga Rico dengan baik." Tambahnya lagi. 

Mendengar penuturan Ray, Luisa semakin tertampar dan merasa bersalah. Ia merasa seakan dirinyalah dalang dari semua ini. "Tidak, sayang. Tentu saja ini bukan salah kalian." Hibur Luis sambil menghapus air mata Ray yang masih terus keluar. 

"Bisa kau beritahu Paman ciri-ciri Ibu yang Rico tolong?" Tanya Luis. Kini Rio yang maju mendekati Luis. 

"Dia sedikit gemuk dengan tubuh pendek. Kulitnya putih dan rambutnya sedikit beruban. Yang paling Rio ingat, Ibu itu memiliki tompel yang sedikit besar di bagian pipi kanannya." Terang Rio memberikan penjelasan. 

David sedikit berlari dan memeluk dua cucunya. "Kakek, kasihan Rico. Bagaimana keadaannya sekarang. Pasti dia belum makan." Lirih Ray sedih. Dia tahu adiknya tidak bisa telat makan, dan memang Ricolah yang paling sering mengeluh lapar diantara mereka. Hal itu yang terngiang-ngiang di pikiran Ray juga Rio. 

"Tak apa, setelah Rico ketemu, Kakek akan mengajak kalian makan sepuasnya. Apapun yang kalian mau." Kata David berusaha menghibur dua anak itu. Namun Ray menggeleng. "Tapi Rico entah ada dimana, Kek." Cicit Rio. 

David menyeka air matanya dan tersenyum. "Rico akan segera ditemukan, sayang. Sekarang pergilah tidur bersama Tante Luisa." Suruh David. Keduanya mengangguk setuju dan menuju kamar bersama Luisa. 


***

Gera dan Roy sampai rumah dengan keadaan tubuh terasa remuk dan pegal. "Kids, Mama dan Papa pulang..." Seru Gera dengan suara sedikit keras. Ia tak sabar ingin bertemu dengan anak-anaknya. Sembari membawa beberapa paper bag berisi oleh-oleh untuk mereka. "Mama sudah membawakan kalian oleh-oleh." Serunya lagi dengan ekspresi riang. Sementara Roy langsung merebahkan dirinya di sofa ruang tamu. 

"Sayang, kelihatannya rumah sangat sepi. Tumben sekali." Roy menimpali Gera yang berteriak sendiri sejak tadi. 

"Aku akan ke belakang dan bertanya pada Bi Iem dulu." Kata Gera. Perasaannya mulai tak enak, entah karena apa. 

Dengan sedikit terburu-buru Gera menuju ruang belakang dan menghampiri Iem yang sedang membersihkan taman bermain anak-anak. "Bi, orang-orang pergi kemana? Kenapa sangat sepi? Papa kemana?" Tanya Gera bertubi-tubi. 

"Masuk dulu, Nak. Nanti Bibi jelaskan di ruang tamu." Ajak Iem menggandeng Gera. Tentu saja Gera dibuat semakin bingung dengan jawaban Iem yang seperti itu. Pikiran buruk tak bisa ditepis dari kepala Gera. Sebenarnya apa yang terjadi selama mereka pergi? 

0 Comments